SESEDERHANA INILAH CARAKU BAHAGIA....

Susilo Wati 13 April 2015

Semilir angin malam ini membuat buku kecilku lebih menarik daripada laptop yang sedari tadi menyala. Kamu tahu apa yang paling kusuka saat malam cerah seperti ini? Tidak lain hanya sekedar melihat jutaan bintang yang bergelantung di langit tanpa memberi sejengkalpun ruang kosong di sana. Memang pemandangan seperti ini kerap kali aku temukan di bumi Khatulistiwa ini, tepatnya di desa berbukit tempat aku tinggal. Sangat sederhana tapi entah mengapa setiap aku melihatnya ada kepuasan sendiri yang kurasa.

       Di sini bahagiaku sederhana. Kejutan-kejutan kecil yang alam ataupun malaikat kecil berikan padaku cukup membuatku bahagia.

Aku bahagia saat daun ubi masih terhampar di belakang rumahku, pertanda selalu ada sayur alternatif dikala aku malas ke ladang. Maklum saja, daun ubi merupakan teman nasi paling setia saat di desa tidak musim sayur, terlebih saat musim panen seperti ini.

Aku bahagia saat mencari durian di bukit dan menemukan buah berduri itu di semak-semak dengan jerih payahku sendiri. Di desaku durian milik umum, siapapun boleh mencari asal sudah jatuh dari pohonnya.

Aku bahagia saat Hp yang kugantungkan di tiang 3 jari (tiangnya selebar tiga jari) depan rumah dinasku berbunyi, pertanda ada sinyal yang sudi menyangkutkan diri di hp senterku meskipun hanya satu balok. Maklum saja, di desa hanya spot tertentu yang ada sinyal, itupun kalau beruntung.

Aku bahagia saat kata-kata “oh piya” (oh begitu) keluar dari mulut para malaikat kecilku dengan senyum cerianya usai aku menerangkan pelajaran

Aku bahagia melihat para malaikat kecilku yang bergigi ompong (kebanyakan kelas l) tersenyum riang dengan percaya dirinya menunjukkan giginya padaku.

Aku bahagia bisa bercengkeramah dengan warga di sini sembari berujak sayur di depan teras rumah (di sini susah kalau mau berujak buah, lebih ngetrend rujak sayur)

Aku bahagia bisa menari dengan hujan sembari saling berlempar lumpur dengan para malaikat kecilku di lapangan depan rumah

Aku bahagia bisa berlarian lalu menyeburkan diri ke sungai usai tersengat teriknya sang surya di bumi khatulistiwa meskipun aku tidak bisa berenang (sungainya dangkal, dan aku cuma nyebur ke pinggir...haha)

Aku bahagia saat motor yang kukendarai berhasil melintasi satu per satu jembatan kayu saat ke desa atau ke kota, maklum saja jembatan kayu di sini sangat memprihatinkan. Tersusun dari kayu lapuk dan lubang besar ada di sana sini.

Aku bahagia saat ke kota ada orang dengan baik hatinya menawarkan tumpangan gratis saat aku tidak bawa motor ( Motor yang aku bawa merupakan motor bersama, jadi pemakaiannya digilir).

Aku bahagia saat melihat senyum semangat para malaikat kecilku dan berlarian mengerubutiku untuk bersalaman di pagi hari. Suasana ini mungkin akan sangat aku rindukan nanti di saat pagiku hanya disambut senyum sang surya.

Aku bahagia mendengar teriakan malaikat kecilku berlarian dari sudut lapangan menuju rumah dinasku dengan cahaya senter di kepalanya dengan semangat 45 mengikuti sesi cerdas cermat di malam hari. Maklum saja, di desa listrik kerap kali mati, apalagi musim hujan kayak gini. Bahkan sering seharian penuh listrik padam.

Aku bahagia bisa duduk santai di beranda rumah kala senja datang sembari menikmati ubi rebus sembari menunggu sinyal datang.

      Sederhana bukan? Ya, bahagiaku memang sederhana, sesederhana caraku menikmati indahnya malam ini. Tapi dalam kesederhanaan inilah aku bahagia. (Desa Kepala Gurung, Kec. Mentebah, Kapuas Hulu, 27 Maret 2015 pukul 20.35)


Cerita Lainnya

Lihat Semua