Hidup Rukun dalam Keberagaman

Surahmansah Said 7 Oktober 2011

Kata Bhinneka Tunggal Ika tentunya tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia yang kaya akan budaya, keanekaragaman suku dan perbedaan keyakinan. Kata ini memberikan arti yang sangat dalam dan tentunya bisa dimengerti oleh sebagian besar rakyat kebanyakan. “Berbeda-beda tapi satu jua” itulah semboyan bangsa ini.

 Ditengah-tengah keberagaman yang mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat, semboyan ini dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan dalam menjalankan segala aktivitas masyarakat yang multikultural sehingga salah satu cita-cita leluhur bangsa ini yang termaktub dalam Pancasila sila ke-3 dapat tercapai yakni “Persatuan Indonesia”. Namun pada kenyataannya, untuk menciptakan hal ini tidak begitu mudah. Coba kita menengok kebelakang, masih terbayang dalam benak kita berbagai konflik yang terjadi di berbagai pelosok bangsa ini. Sebut saja Konflik Maluku, Poso, Sampit, Sambas, dll. Semuanya itu karena persoalan fanatisme suku dan agama. Penyebabnya pun sepele namun efeknya dapat menghilangkan ratusan nyawa yang tidak berdosa.

Apakah semua ini hanya dijadikan sebagai catatan kelam di masa lalu bangsa ini tanpa kita belajar untuk menginstropeksi diri ?

Apakah kita masih bisa  merasa optimis bahwa kedepannya bangsa ini dapat hidup rukun tanpa ada lagi konflik yang mengatasnamakan fanatisme suku atau keagamaan ?

Mungkin pertanyaan diatas merupakan dua dari segelintir pertanyaan yang bisa timbul atas persoalan ini. Saya yakin, kita sebagai warga negara yang baik harusnya mempunyai jawaban yang sama atas pertanyaan tersebut, bahwa keoptimisan itu pasti ada karena pada dasarnya manusia berkeinginan untuk hidup tentram dan damai tanpa ada gangguan disekitarnya.

Sebagai sebuah contoh potret prilaku masyarakat yang penuh dengan kedamaian ditengah-tengah keberagaman dan berbagai perbedaan adalah di Desa Landau Badai daerah penempatan saya sebagai Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar. Perbedaan agama dan suku yang terdapat dalam satu lingkup wilayah perdesaan ini, bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk berbaur satu sama lain dan saling bahu membahu dalam beraktifitas. (Suku dayak dan melayu, Agama Islam dan Kristen merupakan mayoritas di daerah ini).

Selama hampir 4 bulan saya berada diwilayah ini, sikap saling menghargai, tenggang rasa, hidup rukun dan gotong royong diantara sesama merupakan hal yang lumrah. Tidak ada sekat diantara mereka, karena pada dasarnya mereka berpikir bahwa mereka itu berasal dari nenek moyang yang sama sehingga persaudaraan itu harus tetap dijaga meskipun terdapat perbedaan keyakinan.

Perbedaan itu hal yang biasa, yang terpenting mengedepankan Persatuan dan kesatuan Bangsa.

 

*********************** Landau Badai, 5 Oktober 2011 ***********************


Cerita Lainnya

Lihat Semua