Gadis Kecil Transmigran

Sri Lindawati 7 Februari 2015

Pernah membayangkan hidup dan tinggal jauh dari kampung halaman dan sanak saudara. Pernyataan ini mungkin terdengar mudah untuk dijalani bagi para orang dewasa yang sengaja memilih merantau untuk bekerja tetapi rasanya bukan menjadi pilihan yang mudah bagi anak-anak usia sekolah yang harus ikut merantau juga secara otomatis bersama orangtuanya. Pulau Kalimantan memang menjadi salah satu tujuan merantau para transmigran dari Pulau Jawa untuk mengadu nasib. Potensi lahan yang luas membuat banyak perusahaan sawit menamkan modal di sini dengan membuat perkebunan sawit, pun di desa kami, di wilayah Kecamatan Silat Hilir Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Kamis pagi, suara bus sekolah sudah terdengar dari dalam rumah, pertanda anak-anak dari perkebunan sawit sudah datang. Rutinitas ini berlangsung hampir setiap hari, mereka dijemput dan diantarkan oleh fasilitas bus sekolah yang disediakan oleh perusahaan sawit. Bahkan di musim hujan belakangan ini, beberapa kali mereka harus jalan kaki selama 1 jam karena bus sekolah tak mampu sampai ke sekolah karena jalanan yang rusak. Sama seperti hari biasanya, lepas istirahat kedua, aku mengajar pelajaran agama islam di kelas VI. Walaupun hanya dua orang murid yang ku ajar tapi mereka selalu semangat. Saat aku menjelaskan, tiba-tiba Dilla berbisik “Bu, belajarnya yang lama”, “memang kenapa?”, jawabku.  Hari ini adalah hari terakhir aku belajar agama bu, minggu depan sudah tidak disini lagi karena harus pindah. Niat kepindahan salah satu muridku ini memang sudah kuketahui beberapa bulan lalu, tapi kupikir dia akan pindah lepas ujian kelulusan namun ternyata dipercepat karena kondisi tertentu.

Kilas balik pertama bertemu dengannya adalah saat dipanggil oleh salah seorang guru di sekolah kami karena ia mendapat juara pertama di kelas V. Gadis kecil itu bernama Agta Dilla Desita Nanda, gadis imut kelahiran Pati Jawa Tengah. Yah...iya begitu spesial, karena dengannya aku belajar untuk semakin bertahan di tempat perantauan. Ia tinggal bersama ratusan pekerja sawit yang berasal dari Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Lokasi permukiman perkebunan sawit memang disediakan untuk para pekerja beserta keluarganya, biasanya mereka sudah bangun pukul 3 pagi untuk bersiap memulai aktivitas pukul 5 pagi.

Dua hari menjelang hari terakhirnya di sekolah, aku sempatkan berkunjung ke rumahnya di pondok sawit yang ditempuh dalam 1 jam menggunakan bus sekolah. Malam hari, aku ajak dia sholat di surau dekat rumah, lalu sambil berjalan ku tanyakan padanya, Bagaimana perasaan dilla tinggal disini?, dengan suara lirih ia katakan senang juga sedih bu, karena sepi tapi tidak masalah selama masih dengan ayah dan Ibu. Dirumahnya juga aku banyak mengobrol dengan kedua orangtuanya, bercerita tentang kisah perantauan mereka dan disana aku tahu bahwa Dilla sudah sudah 4 kali pindah sekolah demi selalu bersama dan menemani kedua orang tuanya yang merantau jauh dari kampung halaman. Sebenarnya dia bisa saja tidak ikut merantau dan tinggal bersama neneknya di kampung, namun kedua orangtuanya menyampaikan bahwa dia tidak mau ditinggal bapak dan Ibunya.

Di sekolah Dilla salah satu anak paling berprestasi di kelas, baru saja aku berniat akan membawanya ikut perlombaan PORSENI di kecamatan kami, tapi dia harus pergi lebih dulu. Malam itu ia menemuiku bersama dengan ayah dan ibunya berpamitan untuk terakhir kali. Ku sampaikan dan titipkan doa melalui surat untuk selalu semangat belajar. Pelukan hangat menutup perjumpaan fisikku terakhir kali itu, memanggil lalu memeluknya dan terus berdoa bahwa dia akan terus melanjutkan mimpinya dimanapun.

#Ketangguhan itu tidak mengenal usia...


Cerita Lainnya

Lihat Semua