Lem Kertas Untuk Nova
Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 7 Februari 2015Semester baru. Itu berarti semangat baru. Dan, Jadwal Pelajaran yang baru pula.
Untuk pertama kalinya, saya melihat perubahan pada anak-anak Kelas III yang merupakan perwalianku. Mereka tiba-tiba menjelma menjadi anak yang begitu manis dan patuh kepada gurunya.
Puji syukur, sekolah kami akhirnya mendapat bantuan renovasi dari pemerintah provinsi. Meski hanya terbatas pada Kelas I, Kelas II, dan Kelas III yang berada dalam satu gedung. Kelas selebihnya masih menunggu rejeki kue pembangunan.
Untuk sementara waktu, Kelas kami menumpang ruangan di Kelas VI. Hingga nanti renovasi selesai, anak-anak harus bersabar masuk sekolah pukul tujuh pagi, dan pulang pukul sepuluh.
Pada kenyataannya anak-anak tetap tidak bisa dipaksakan semua datang sepagi itu. Apalagi jika belum sarapan pagi. Memajukan jam sekolah sama saja dengan memajukan lebih awal jadwal bangun pagi dan sarapan pagi mereka. Mereka sudah terbiasa dengan jam rutin: pukul setengah delapan.
Sebelum memulai aktivitas, kami berdoa bersama-sama. Dipimpin oleh Kelvin, muridku yang bertugas piket.
Saya memulai dengan menuliskan jadwal pelajaran baru untuk semester dua. Anak-anak dengan sigap mengambil buku dan pena dari dalam tasnya masing-masing.
Setelah selesai, Nova bertanya kepada saya.
“pa’ guru ada punya lem kah?” ia bertanya menyelidik.
“Bapak guru tidak bawa lem, nak” Kebetulan saya tidak membawa lem stick yang biasa kuselipkan dalam tas.
“iya, pa’ guru tidak apa-apa.”
Saya tidak bertanya lebih lanjut lagi.
Nova hanya diam. Tidak juga menunjukkan raut kecewa.
“Kalau Nova mau, nanti bapak guru ambilkan di kantor guru.”
“Tadi bapak lihat ada, nak.”
“iya pa’ guru.” kata Nova mengakhiri.
Saya kembali melanjutkan pelajaran. Kemudian, anak-anak mengerjakan tugas yang saya berikan. Seperti yang telah saya katakan. Anak-anak terlihat jadi semakin baik sikapnya. Mereka mengerjakan dengan benar-benar serius.
Sementara anak-anak bekerja, saya menuju kantor Kepala Sekolah yang juga berfungsi sekaligus Ruang Guru. Sejurus saya menemukan lem kertas di atas meja guru. Saya lalu mengambilnya dan segera kembali ke dalam kelas.
***
Sambil berjalan memasuki kelas, saya menenteng sebuah lem kertas ukuran sedang.
“Ayo, tadi siapa yang mo pinjam lem?”
“saya pa’ guru” Iyang unjuk tangan.
“saya pa’guru” Paulus juga.
“saya pa’guru” Kostan ikut pula.
“saya pa’ guru” semua angkat tangan.
Hampir serempak, anak-anak semua mengangkat tangannya.
Mereka semua membutuhkan lem kertas. Anak-anak ternyata masih begitu malu untuk mengungkapkan kebutuhannya. Saya kaget bercampur heran.
“Hehhhh?”
“Tadi kan cuma Nova yang minta pinjam lem kertas ke bapak.”
Anak-anak diam. Masih sambil tangan kanannya terangkat tinggi-tinggi.
“Iya pa’ guru. Tapi kitorang semua mau pake itu lem.” balas Nova mewakili jawaban teman-temannya.
Saya baru sadar. Di tangan kiri semua anak-anak, telah tersedia kertas yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk wadah kotak kecil.
Akhirnya, lem itu saya serahkan kepada Nova.
Seakan mengerti dengan keadaan, muridku yang lain, Ari, mengambil satu batang lidi untuk mengeluarkan lem tersebut dari wadahnya. Kemudian diserahkannya kepada Nova.
Mulailah Nova dari ujung bangku menuju ke bangku yang lain. Mencoba mengeluarkan lem kertas tersebut dengan lidi. Nova membagikan dua gelung yang menempel pada lidi untuk setiap teman-temannya.
“Nak, akan kamu apakan lem itu sebenarnya?” tanya saya di sela-sela acara pembagian lem.
“pa’ guru kitong mau tempel jadwal pelajaran di rumah.” muridku, Sipora, menimpali.
Sungguh saya tak mengira tujuannya untuk itu. Lem kertas yang saya pikir sebagai barang yang sederhana dan biasa-biasa saja, di mata anak-anak, itu merupakan benda yang luar biasa. Meski hanya dua kali setahun mereka menempelkan jadwal pelajaran di rumah. Itu berarti, minimal mereka membutuhkan dua kali membubuhkan lem kertas.
Saya tidak sempat melihat seberapa banyak isi lem kertas tadi. Barangkali memang cuma sedikit saja. Lem kertas itu ternyata sudah habis ketika Nova selesai membagikan pada Ari, sebagai anak yang terakhir mendapat jatah.
“Nova, biar lem-nya sedikit nak, tapi kamong bagi dua saja dengan Ari. Tidak apa-apa to?” saya mencoba menengahi.
Nova diam saja. Tidak menunjukkan raut kecewa ataupun menyesal.
Lain halnya dengan Ari, ia memerlihatkan wajah ketidaksetujuannya untuk membagi lem yang memang sedikit itu. Meski Nova sudah berbaik hati membagi semua lem yang ada.
“tidak usah pa’ guru. Terima kasih.” Nova hanya tersenyum.
Kami tertahan, berpikir, dan saling memandang beberapa saat. Jujur, saya juga bingung. Bagaimana cara agar Nova tetap mendapatkan bagian lem kertas. Hingga akhirnya, muncullah hal tidak terduga yang membuat saya terenyuh.
Elsina mengeluarkan satu wadah kertas berisi lem kertas dua gelung lidi dari dalam laci mejanya. Lalu diserahkannya pada Nova.
Saya terkejut.
Diam-diam, teman-temannya yang lain, sebenarnya telah menyiapkan bagian lem kertas untuk Nova. Barangkali Nova tidak menyadari ketika membagikan lem.
Nova pun tersenyum. Senyum tulus dan lepas.
Mungkin ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia telah berbuat baik dengan membagikan lem kertas yang sedikit itu kepada seluruh teman-temannya. Dan Ia pun mendapatkan teman-teman luar biasa yang telah memperhatikan dan selalu mengingat dirinya.
Barangkali, itu hadiah untuk Nova. Tidak banyak. Hanya lem kertas dua gelung lidi.
Dari Nova, saya jadi tersadar akan sebuah ‘kebutuhan’ untuk dicukupi. Anak-anak meminta karena mereka perlu dan butuh. Bukan karena sebuah ‘ketamakan’ untuk dilebihi. Seperti orang-orang di luar sana.
Terima kasih, Nova. Terima kasih, anak-anakku Kelas III.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda