Agama (adalah) Keluarga

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 9 Februari 2015

If you want to make peace the world, you have start with the children | Gandhi

Satu hal yang dipegang teguh oleh semua masyarakat Fakfak. Semboyan “Satu Tungku Tiga Batu.” Anak-anak pun tahu.

Saya mendengar istilah tersebut pertama kali dari Om Mahmud Labiru. Sewaktu penyambutan kedatangan kami di Bumi Pala ini. Beliau tokoh masyarakat Fakfak. Beliau seorang Muslim.

Kerukunan hidup beragama menghiasi keseharian kota ini. Islam, Katolik, dan Protestan. Dari dulu-dulu, Raja-Raja di Petuanan Adat Fakfak, telah menetapkan sebuah aturan unik. Agar setiap keluarga membagi anggota keluarganya ke dalam tiga agama besar: Islam, Katolik, dan Protestan.

Sehingga hampir dapat dipastikan, setiap keluarga Muslim, memiliki saudara yang beragama Katolik dan Protestan. Dan sebaliknya pula, setiap keluarga Katolik dan Protestan, mempunyai saudara beragama Islam.

Agama menjadi erat hubungannya dengan keluarga. Atau mungkin bisa saya simpulkan, agama adalah keluarga itu sendiri. Menjadi darah dan daging yang menyatu dalam setiap hubungan kekeluargaan.

Hari-hari besar keagamaan diramaikan oleh tiga pemeluk agama yang berbeda di dalam satu rumah. Rahasianya? “Satu Tungku Tiga Batu.”

Dan, seperti kata Gandhi, semua harus bermula dari anak-anak. Waktu camp, kami diajarkan tips mengkomunikasikan perbedaan agama pada anak-anak.  

“Ajarkan mereka bahwa perbedaan agama itu ibarat memilih warna.”

Anak-anak bebas memilih warna yang ia sukai. Sesimpel itu. Perdebatan bukan pada warna yang paling bagus. Atau agama yang paling benar. Tapi kepada alasan mengapa anak memilih warna itu? Karena putih itu bersih. Karena kuning itu cerah. Karena hijau sedap dipandang.

Harapannya, anak-anak bisa saling mengerti satu sama lain. Anak-anak memilih sendiri kesukaan warnanya, berarti menunjukkan kerelaannya akan pilihan teman-temannya yang lain tanpa perlu saling mendebat. Sebab masalahnya sudah selesai.

Cenderung, gambar yang bagus adalah gambar yang menyimpan beragam warna. Lantas warna tersebut mengkombinasi sedemikian rupa sehingga mewujud lukisan yang indah dipandang. Barangkali, proses meramu dan merawat perbedaan warna itulah yang sering kita namakan sebagai HARMONI.

Di Fakfak, anak-anak merawat HARMONI itu lewat “Satu Tungku, Tiga Batu.”

Apa Maknanya?

Agama sengaja dijadikan dekat dengan keseharian. Dekat dengan diri sendiri. Bahkan menyentuh sisi paling dalam dari sebuah rumah: Dapur. ‘Tungku’ yang menjadi inti dapur, sekaligus tempat asap mengepul dan sumber segala kenyamanan di dalam rumah, dijadikan perumpaan yang sangat baik. Barangkali itulah bentuk kearifan  yang mungkin sulit saya temukan di tempat lain di Indonesia.

‘Tungku’ tersebut bukan dua atau tiga. Hanya satu. ‘Satu Tungku.’ Perbedaan tidak menjadikan orang-orang dalam rumah berselisih hanya karena urusan hidup dan perut. Justru, penyatuan itu terjadi di dapur.

Lalu dalam ‘Satu Tungku’ tadi, terdapat ‘Tiga Batu.’ ‘Satu Tungku’ yang merupakan satu-satunya ‘Tungku’ itu, ternyata menghasilkan ‘Tiga Batu’ yang mencerminkan tiga pemeluk agama yang berbeda.

Jadi ‘Batu’ itu sebenarnya satu. Dimiliki oleh setiap keluarga. Kemudian ‘Satu Batu’, dipecah lagi menjadi ‘Tiga Batu’ karena kepala keluarga pastinya akan mementingkan setiap anggota keluarganya. Jangan sampai ada yang tidak kebagian.

Pemisahan ini didasarkan pada hak setiap anggota keluarga. Bukan karena perbedaan agama.  Bagi masyarakat Fakfak, inilah penghormatan setinggi-tingginya pada setiap anggota keluarga dalam rumah.

Pesan ini tidak henti ditanamkan para tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pejabat pemerintah. Dari cerita yang saya dengar, sampai di kampung-kampung terjauh di Fakfak, mereka menerapkan tingkat toleransi yang tinggi. Panitia pembangunan Masjid terdiri dari saudara-saudara sendiri yang Katolik dan Protestan. Begitupun sebaliknya.

Kitorang ini di Fakfak, begitu sudah.”

“Bagian dalam (Ibadahnya), kitorang pu urusan masing-masing. Tapi bagian luar (fisik bangunannya), kitorang sama-sama pu urusan.” kata seorang warga.

Sebuah sikap yang demikian elegan. Sebab sejatinya, mereka punya sumber makan dari ‘Satu Tungku’ yang sama.

Apa Buktinya?

Saban sore, saya menghabiskan waktu sore di sekolah dengan anak-anak. Pukul empat hingga menjelang pukul enam sore, kami membaca buku dan berkegiatan di Perpustakaan Sekolah. Rutinitas itu membuat saya harus menunaikan shalat Ashar di dalam Perpustakaan.

“Awas, kamorang semua jangan ribut, pa’ guru ada ibadah.”

Hanya sekali instruksi dari Pentus –murid kelas 5-, anak-anak di Perpustakaan terdiam tanpa suara. Anak-anak “me-nol-kan” suaranya demi ketenangan ibadah bapak gurunya. Tak pernah sekalipun saya shalat, mereka menimbulkan suara.

Beberapa anak bahkan telah bersiaga di depan pintu perpustakaan mewanti teman-temannya agar tidak bersuara sedikitpun ketika masuk.

Padahal saya tidak meminta mereka untuk diam tanpa bunyi sama sekali. Tapi yang terjadi, mereka benar-benar patuh untuk menjaga kenyamanan saya beribadah.

“Pa’guru, kitong beda agama, tapi baek, tidak apa-apa pa’guru.” kata Pentus di hari-hari pertama kedatangan saya.  

Makanya, perpustakaan menjadi tempat paling tenang. Meskipun anak-anak ramai, tapi senyap ketika saya mengerjakan shalat.  

Sikap mereka yang begitu toleran, menenangkan hati saya. Anak-anak mendamaikan hati saya. Anak-anak menghilangkan perasaan bersalah saya menggunakan perpustakaan sepuluh menit setiap sore.

Mungkin, anak-anak ingin menegaskan bahwa mereka akan menjaga bapak gurunya selama beribadah.

Bagi saya, mereka telah menjelma menjadi pencipta perdamaian. Perdamaian yang dimulai dari hati, lalu menjalar ke hati orang-orang lain.  

Secara tidak sadar, anak-anak telah membentuk ingatan kolektif yang bermutu ke dalam pikiran mereka sendiri. Semoga, ingatan tersebut akan mengekalkan semboyan ini di dalam dada-dada mereka: “Satu Tungku Tiga Batu.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua