Mereka Tak Butuh Nasehat

Sonya Winanda 25 Mei 2015

Siswa yang tadinya selalu ijin pipis namun tak pernah kembali hingga  bel istirahat berbunyi, kali ini terlihat duduk manis di kelas. Sepertinya mereka terpengaruh suasana kelas yang menegangkan. Ujian Akhir Sekolah (UAS) memang tinggal menghitung minggu. Mereka belajar dengan serius. Lebih serius dari biasanya.

Mereka lebih rajin datang ke rumah untuk les. Terutama mata pelajaran matematika yang selalu mereka hindari. Mungkin anak-anak itu sedang berusaha menghadapi ketakutan mereka sendiri. Jadwal les tidak tentu. Kadang siang sehabis pulang sekolah, kadang malam hari. Pelajaran tambahan tersebut biasanya berakhir pukul dua siang. Lalu mereka bersiap berangkat sekolah lagi di Madrasah Diniyah Ulum (MDU). Sekolah kedua itu selesai pukul empat sore. Saking semangatnya, mereka kerap langsung menuju rumahku untuk lanjut les. Tak lupa membawa kue-kue untuk menemani kami belajar.

Tapi entah mengapa keheningan itu membawa kesan suram di kelasku. Beberapa anak terlihat kehilangan semangat. Mereka mengerjakan soal ‘asal’ selesai atau mencontek tetangga sebelah. Mereka jarang bercanda lagi.

Sebetulnya aku bersyukur akhirnya setelah hampir satu tahun mengajar, anak-anakku yang super hiperaktif itu bisa tenang. Padahal biasanya keributan mereka tak bisa dihentikan. Sudut kiri dan sudut kanan selalu bersahut-sahutan. Yang satu melempar lelucon, yang lain menambahi, selebihnya tertawa sehisteris yang mereka mampu.

Kadang mereka main kelereng bahkan voli di kelas. Ya di kelas. Bahkan saat Guru sedang menerangkan. Barangkali ada yang memberi nasehat bahwa anak-anak tersebut kurang kegiatan sehingga berperilaku demikian. Sebelumnya mereka telah diberi kegiatan yang menguras fisik dan pikiran guna menghantar pemahaman mereka ke pelajaran inti. Akan tetapi, setelah kegiatan tersebut usai, mereka kembali ribut. Alhasil Guru kadang seperti bicara pada bangku kosong.

Itu dulu, kini suasana kelas terasa mencekam. Ini bisa jadi disebabkan oleh ketakutan jika tak naik kelas. Bukan apa-apa, mereka hanya ngeri membayangkan harus mengulang satu tahun lagi kelas V dengan Guru yang ... ah sudahlah.

Aan, salah seorang muridku yang selalu punya ide aneh tiba-tiba bicara saat kelas diam. “Bu, saya mulai kelihatan tua belajar terus. Ayo main ke pantai!”

Aku sontak tertawa mendengar kata-katanya. Segera siswa-siswa yang lain heboh menyetujui usul Aan. Aduh, bagaimana ya, aku bukannya tidak setuju namun membayangkan jalan kaki selama dua jam mendaki bukit, melewati sungai dan sawah sudah membuat  ngos-ngos-an. Beda dengan kaki-kaki lincah anak gunung itu, kakiku terlihat berat. Maklum sudah jarang sekali olah raga. Emak angkat pun di rumah selalu menyuruh  makan dan makan terus. Alhasil selama di penempatan, berat badanku naik sembilan kilogram. Horor.   

“Ayolah, kan Ibu mau pulang ke Padang. Nanti kita buat degan dan cari nanas hutan.” Ah, mendengar rayuan anak-anak yang akan membuatkan es kelapa muda langsung dipetik dari pohonnya dan nanas hutan paling sedap itu aku tak kuasa menolak.

Kami sekelas pun segera berangkat. Aku betul-betul menikmati perjalanan. Sepanjang jalan mereka bercerita macam-macam. Seorang anak bercerita tentang Ayahnya. Ia ditinggalkan sejak bayi ke Malaysia lalu kawin lagi di sana. Jangankan memberi uang untuk kebutuhan sehari-hari, menjenguk saja tak pernah. Sementara itu sang Ibu juga bekerja menjadi buruh dan menikah lagi. Ia pun tinggal bersama sang suami. Kini anak itu diasuh nenek yang sudah dianggapnya seperti Ibu.

“Kamu tidak rindu sama Bapak?” tanyaku.

“Enggak, Bu. Saya benci dia.” Jawabnya pendek. Lalu kami berdua sama-sama diam, larut dengan pikiran masing-masing. Mungkin sebetulnya rindu itu sudah penuh ingin mendesak keluar namun terpaksa ditekannya dalam-dalam. Sebab tak  ada gunanya. Ia hanya akan mendapati kecewa. Makin tinggi harapan, makin sakit rasanya jatuh ketika harapan itu tak terjadi. Ia telah sampai pada pemahaman tersebut pada usia yang amat muda.

Aku urung memberinya nasehat saat itu. Ia terlihat emosional. Terlebih lagi aku tak mampu benar-benar memahami apa yang telah ia lalui kecuali aku ditimpa hal yang sama. Aku akan mencari waktu yang tepat nanti.

Setelah diam yang cukup lama, tiba-tiba ia bicara. “Meski nanti Ibu tidak di Bawean lagi, Ibu akan sering menelepon saya dan datang ke sini kan, Bu? Tidak seperti Bapak.” Suaranya lemah sambil menatap kakinya yang masih melangkah.

Aku seperti ditampar saat mendengar kata-katanya barusan. Aku meraih tangannya. Kami berjalan bergandengan. “Tentu, Ibu pasti ke sini lagi melihat kalian yang makin pintar.” Ia tertawa lalu bersorak pada teman-teman yang lain.

“Kanak, Bu Sonya nanti mau ke sini lagi lho!” anak-anak yang lain ikut berseru senang. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan riang.

Anak-anak barangkali akan melupakan nasehat-nasehat klise khas orang dewasa. Tapi mereka tak akan melupakan pengalaman. Mereka akan selalu ingat dengan siapa mereka menghabiskan waktu.

  

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua