Jembatan

Angga Oktra Pria Fambudi 25 Mei 2015

Selepas sekolah aku dan anak – anak pulang bersama – sama seperti biasanya. Aku berjalan dibelakang dengan tas dipunggungku sedangkan anak – anak asyik mengobrol secara bergerombol di depan dan belakangku.  Ditengah obrolan mereka sempar kulihat adanya sebuah kode bisik – bisik antara gerombolan satu dengan yang lainnya. Satu orang mengkode lainnya begitu sampai beberapa kali sambil mereka melihatku malu. Aku melihatnya menjadi penasaran kemudian aku pancing mereka untuk berbicara.

                 “ Ada apa kah dari tadi main kode begitu?” bIcara sudah..

Setelah aku berkata begitu baru ada salah seorang anak yang memberanikan dirinya untuk menyampaikan maksudnya.

                “ Pak Guru sbentar katorang mandi – mandi di jembatan e dengan anak- anak!”

                “ Oh, ayo sudah. Jam tiga saja e biar matahari agak turun sedikit jadi tidak terlalu panas!”

                “ Iya pak guruuu!” sorak mereka ramai

                Aku sedikit heran dengan mereka, padahal ini bukan kali pertama kami berenang dan bermain air dijembatan kampung. Tapi yasudahlah yang penting aku sudah tahu kemauan mereka. Sesampainya dirumah aku langsung mengistirahatkan badanku sejenak terus makan untuk kemudian menunggu jam tiga datang. Sambil menunggu aku memutuskan untuk membaca buku di para – para (tempat duduk dari kayu) sebelah rumah di bawah pohon nangka. Sekitar setengah jam aku membaca buku sampai kemudian aku tertidur di para – para bawah pohon itu karena saking enaknya udara sejuk pada siang hari itu.

                Cukup lama aku tertidur sampai kemudian aku mendengar suara anak – anak berbincang disebelahku dengan suara agak lirih. Aku terbangun dan kulihat para muridku sebagian sudah di sebelahku menunggu aku bangun.

                “ Hore …Pak Guru su bangun, mari sudah pak guru katong pi jembatan..”

                “ Oh iyo!” jawabku dengan setengah sadar. Setelah itu aku langsung masuk kedalam rumah untuk mengambil google dan snorkel ku untuk bermain di jembatan.

                Sesampainya dijembatan kamipun langsung loncat ke air laut yang warnanya masih biru tersebut. Dijembatan kulihat anak – anak mulai lari untuk kemudian berloncatan turun ke air laut. Ada juga yang mendayung dengan santainya di bawah jembatan dengan sampan kecilnya. Melihat hal tersebut aku memutuskan untuk bergerak menuju sisi utara kampung menggunakan sampan untuk melihat terumbu karang yang masih tertata rapi disana. AKu mendayung perlahan sampai kemudian kulihat semua anak – anak mengikutiku dengan berenang di belakang sampan yang kudayung dengan lambat. Sesampainya dilokasi permainan pun dimulai.

                “ Byur, Byuur, Pak Guru kesini!! Ada nemo” teriak mereka

                “ oh iyo nak sebentar.” Akupun langsung berenang menuju arah teriakan tersebut untuk kemudian ikut menikmati keindahan karang ditempat itu.

                “ Bagus e…” teriakku

                “ hahahahae, iyo Pak Guru”

               Setelah cukup lama bermain dengan ikan dan karang ditempat itu akupun memutuskan untuk menepi dipantai. Dipantai aku dan anak – anak berbaring dibawah pohon kelapa sambil menikmati kelapa yang telah dipetik oleh mereka. Kemudian ditengah asyiknya menikmati kelapa salah seorang muridku bertanya.

                “Pak Guru, di Jawa ada yang macam begini e?”

                “ ada toh, pantai kan dimana – mana ada!”

                “Bukan pantai pak guru”

                “Baru? (lalu) apa?”

                “Mandi dengan air garam macam sekarang terus makan kelapa begini!”

                “Tidak ada nak, rumah Pak Guru jauh dari pantai. Baru disini saja pak guru bisa main puas dipantai terus makan kelapa sampai puas”  jawabku lirih

                “Kalau begitu sering – sering sudah pak guru kita mandi air garam begini. Apalagi Pak Guru juga su mau pulang toh”

                “ Kau atur sudah”

               Demikian jawabku mengakhiri percakapan dengan anak –anak. Kemudian kamipun pulang karena hari sudah semakin sore. Puas rasanya bermain dengan anak – anak hari ini. Dalam perjalanan pulang mereka berebut menggandeng tanganku di kanan dan kiri. Aku sedikit bingung apa maksud dari hal ini karena tak seperti biasanya mereka menggenggam tanganku erat seperti ini ketika kami pulang bermain. Akupun hanya berujar dalam hari, “ mungkin mereka semakin cinta dengan gurunya” bisikku dalam hati sambil tertawa kecil. Yah semoga saja, dan semoga juga ini bukan ucapan perpisahan yang mereka coba ucapkan kepadaku di satu bulan terakhirku di Kampung Tarak ini. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua