Kutukan Tak Tao

Sonya Winanda 15 September 2014

Apa itu Tao? Semacam filsuf Cina? Atau istilah dalam bahasa Cina lainnya? Bisa jadi, tapi ‘tao’ yang saya maksud di sini sedikit berbeda. Tao adalah bahasa Bawean yang artinya tahu. Maka ‘tak tao’ berarti ‘tak tahu’.

Dua kata itu adalah kalimat favorit murid di sekolahku. Apapun pertanyaannya, susah ataupun mudah, mungkin bisa dijawab atau tidak, diucapkan dengan nada lembut,biasa ataupun kasar, seperti ada mesin otomatis di pita suara mereka, bocah-bocah itu akan kompak menjawab, “Tak tao, Bu!”

Ya, kata ini bagai kutukan buatku. Dulu, sewaktu kecil, ya, kira-kira seumuran mereka, apapun pertanyaan Ibuku akan kujawab dengan “Tak tahu, Ma!” padahal ‘tak tahu’ tak berarti tidak tahu atau tidak mengerti dalam arti yang sebenarnya. Melainkan malas menjawab, malas menjelaskan, malas bicara lama-lama dengan Ibu karena ujung-ujungnya adalah nasehat bertubi-tubi dalam durasi yang tidak bisa dipastikan. Maka cara tercepat dan mudah adalah dengan bertamengkan kalimat tak tahu.

Kini, dua kata itu menghantuiku setiap waktu.

“Jika ada Gunung berapi di sekitar kita apakah itu berbahaya?” ucapku setelah menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan gunung berapi terbanyak di dunia.

“Iyaaaaa,” jawab mereka kompak bagai koor.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Tak tao!” kalimat penutup yang sukses membuatku menutup muka.

“Coba dipikirkan dulu, jangan langsung dijawab tidak tahu,” balasku dengan nada yang berusaha disabar-sabar-kan.

“Sudah dipikir tadi, Bu. Tapi tak tao ya tak tao,”

Ah, sudahlah!

Anak-anak di sekolahku tak terlalu suka memakai sepatu ke sekolah. Favorit mereka adalah sendal dengan bahan baku karet semacam crocs. Tapi tentu bukan crocs yang harganya hampir jutaan yang mungkin sedang kamu pakai. Ini hanya crocs-crocs-an yang bisa didapatkan di pasar dengan harga 20-30 ribu saja. Para guru sudah sangat cerewet sekali menyuruh mereka agar selalu mengenakan sepatu dan berpakaian rapi. Berbagai cara ditempuh. Mulai dari melarang murid yang tidak bersepatu masuk kelas sampai ceramah tanpa henti. Mereka putus asa. Karena sangat penasaran dengan kebiasaan ini, aku pun bertanya.

“Kenapa tak mau pakai sepatu ke sekolah?”

“Tak tao, Bu!” oke, sip.

Namun kata ‘tak tao’ tentu tak muncul tiba-tiba di kalangan anak-anak. Kebiasaan ini semacam kutukan turun-temurun dari generasi ke generasi. Demikian jelas amak, orang tua angkatku di pulau Bawean. Umurnya sudah 50 tahun dan ia berhasil lulus SD, yang mana dikategorikan cukup berhasil dijamannya. Ia bercerita sering tak masuk sekolah untuk membantu orang tuanya di sawah, memberi makan ayam dan sapi serta mengasuh adik-adiknya yang masih bayi. Dulu ia pun kerap menjawab ‘tak tao’ saat ditanya guru di sekolah.

“Kenapa dulu Amak juga sering menjawab tak tao?” tanyaku berniat mewawancarainya.

“Tak tao, Bu!” Jawabnya langsung tanpa jeda. Aku hanya tertawa kering.

Sepertinya kutukan ini harus kutanggung lebih lama. Doakan aku tabah sampai akhir. Amin. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua