info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Ya Itu Maksud Saya!

Prawinda Putri A 14 September 2014

Bahasa. Hal yang satu ini selalu menjadi kendala Pengajar Muda dimanapun dia di tempatkan. Tidak peduli apakah Pengajar Muda tersebut lulusan Universitas terbaik di dunia, ataupun putra Menteri Pendidikan sekaligus. Namun namanya kendala, tentu tidak selamanya tidak dapat di atasi.

Begitu pula dengan yang saya alami ketika pertama kali menginjakkan kaki di dusun tempat saya bertugas. Roaming. Itulah yang saya rasakan. Lokasi penempatan saya berada di Desa Danau Gerak kecamatan Semende Darat Ulu. Orang-orang disini tidak mengenakan Bahasa Palembang, tapi bahasa Semende. Kalau di Palembang atau Muara Enim mereka berbicara dengan “o” tapi di Semende kami menggunakan “e” seperti “Due”, “Saje”, “Mane”, dan sebagainya. Sedikit mirip dengan Bahasa Malaysia. Mungkin karena itulah anak-anak disini gemar sekali menonton Upin Ipin.

Ketika bulan puasa lalu, ada seorang anak kecil masuk ke rumah. Saat itu Ibu Housefam saya sedang tidak ada.

“Bu, minta pedas” anak itu bilang.

Saya pikir “pedas” itu cabe. Saya beri dia cabe. Kebetulan cabe merah melimpah ruah disini.

“Bukan Bu. Pedas.” Ujar anak itu lagi.

Saya garuk-garuk kepala. Tiba-tiba anak itu meraih Jahe yang berada di dalam lemari.

“Itu Jahe” ujar saya.

“Pedas” dia bilang lagi.

“Iya, jahe memang pedas.” Ujar saya makin bersikukuh.

“Ini pedas” anak kecil itu ngotot.

Saya garuk-garuk kepala. “Iya, jahe emang pedas” saya tidak mau kalah.

Tidak lama Ibu Housefam saya balik. Saya cerita tentang anak yang minta Pedas. Ternyata, disini Jahe itu disebut pedas. Saya mendadak mengheningkan cipta sejenak. Pasti anak itu menganggap saya aneh atau apalah.

Anak itu memegang Jahe sambil menatap saya heran. Sepertinya dia berpikir “Ya itu tadi maksud saya! Jahe! Ibu tau jahe kan?”

Ada lagi cerita ketika saya hendak ke Kabupaten dengan PM 6 saat masa transisi. Saat itu kami menunggu “Taksi” atau Angkutan Desa di dusun bawah (Berhubung tidak ada Angkutan Desa yang sudi masuk ke dusun saya). Saya menunggu di bawah rumah mantan kades. Kebetulan disana rumahnya rumah panggung semua.

“Pucuk” Kata istri mantan kades tersebut.

Saya nyengir polos.

“Pucuk” ujar Ibu itu lagi.

Langsung saya teringat dengan iklan Teh Pucuk harum di TV yang menampilkan ular-ular gemuk berwarna hijau yang hendak ke pucuk daun teh sambil bilang “Pucuk...Pucuk....Pucuk....”

Apa sebenarnya maksud beliau bilang Pucuk? Apakah beliau ingin minum Teh Pucuk Harum? Ataukah beliau ngefans dengan ular hijau gemuk di iklan tersebut. Jawaban manakah yang benar?

Ternyata... Maksud beliau berkata “Pucuk” adalah saya disuruh naik dan menunggu diatas. Karena pucuk disini berarti atas. Ealah....

Di Sumatra Selatan ini juga orang-orang memanggil angkutan, atau “angkot” kalau di kota saya dengan “Taksi”. Adalah kejadian satu hari sebelum kami melepas kepergian PM 6 kembali ke Jakarta. Saat itu kami berada di sebuah Mal di Palembang. Dari Mal, kami ingin menuju ke rumah teman untuk bermalam disana.

“Kita nyegat Taksi aja” kata salah seorang kawan saya.

Saat itu posisi kami di depan Mal persis. Mendengar kata “Taksi” saya langsung berdiri di dekat Taksi merk Burung Biru yang sedang parkir. Saya berpikir dalam hati, tumben nih anak-anak pada mau naik Taksi. Mentang-mentang di kota kali ya? Mungkin kalau naik Taksi juga bisa urunan, jadi tidak terlalu mahal.

“Kamu ngapain disitu?” teman saya meneriaki.

Saya mengangkat bahu bingung. Kan katanya naik Taksi. Ini ada banyak Taksi parkir.

Tak lama teman saya menarik tangan saya dan menunggu persis di depan jalan raya, lalu menaiki angkutan umum. Sepertinya, teman saya beradaptasi lebih cepat dibandingkan saya.

Dua bulan disini alhamdulillah saya sudah banyak paham dengan bahasanya. Kunci utamanya adalah kita harus menjadi pendengar yang baik. Saya bahkan mencatat kosakata disni dan sering berinteraksi dengan anak-anak.Karena sesungguhnya anak-anak adalah guru yang paling baik untuk mempelajari bahasa daerah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua