Pak Guru

Avina Nadhila Widarsa 14 September 2014

Di sekolah saya ada dua Pak Guru. Pak Guru pertama adalah Pak Safi Bira, atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Engku Safi. Beliau adalah kepala sekolah SDN Torosubang yang sudah menjabat sejak SD ini pertama kali berdiri, tahun 2008. Pak Safi adalah mantan guru SDN Bajo yang dipindahkan ke SDN Torosubang karena dibukanya SD lain di desa sebagai dampak membludaknnya jumlah murid di SDN Bajo. Pak Safi sudah bertugas menjadi guru SD selama puluhan tahun. Bahkan, para guru yang mengajar di SD-SMP-SMA yang ada di Bajo saat ini hampir semua mantan murid pak Safi. Tidak terkecuali mama piara saya.

Mama piara saya bercerita, dulu Pak Safi adalah guru yang tegas. Ia juga yang menjadi pengajar di SMP terbuka, saat belum ada SMP di desa. Banyak yang merasa, sejak menjadi kepala sekolah Pak Safi menjadi berubah. Ia tidak rajin masuk seperti dulu. Ia juga enggan mengajar di kelas lagi. Berbagai masalah yang menyangkut dana BOS menambah catatan hitamnya di masyarakat.

Jabatannya sebagai kepala sekolah sempat terancam beberapa kali. Terakhir, dana BOS SDN Torosubang sempat dipending, tidak diberikan rekomendasi untuk dicairkan. Hal inilah yang menyebabkan pak Safi kalang kabut. Artinya, keputusan dinas pendidikan untuk men-non-job-kan beliau tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan. Namun, entah apa yang terjadi, Pak Safi kembali ke sekolah dengan membawa dana BOS yang berhasil dicairkan.

Beliau berubah. Ya, sejak saat itu beliau menjadi terbuka soal penggunaan dana BOS. Beliau bercerita berapa jumlah dana yang didapatkan, apa saja pengeluarannya dan lain sebagainya. Beliau menjadi lebih aktif dalam kegiatan pengembangan minat dan bakat para siswa. Minggu lalu, SDN Torosubang mengadakan latih tanding sepakbola dengan mengundang SD dan SMP lain. Pak Safi mendukung penuh acara ini dengan menjadi wasit dan memimpin forum keberlanjutan latih tanding sekaligus silaturahmi guru-guru. Beliau juga mulai membenahi sekolah. Mengecat ulang kantor guru serta ruangan kelas 1 dan kelas 2. Beliau juga mengganti kunci ruang kelas 1 dan kelas 2 yang sudah rusak. Beliau bahkan sudah memasang papan nama kelas yang saya sarankan. Beliau sadar, Indonesia Mengajar tinggal satu tahun lagi hadir di SDN Torosubang. Semoga kesadaran ini berkelanjutan dan terus meningkat dari hari ke hari. Amin...

Pak guru yang kedua adalah Pak Harun. Beliau lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Ustad Harun, sebab beliau adalah guru agama. Pak Harun adalah wali kelas 6 yang sudah menjadi guru di SDN Torosubang sejak ia pindah ke desa Bajo, mengikuti istrinya, Ibu Wiya yang memang asli orang Bajo. Pasangan pak Harun dan Bu Wiya adalah dua guru yang paling rajin di sekolah. Namun, semenjak mereka mengambil anak, keduanya menjadi jarang masuk sekolah. Apalagi jika hujan turun, pak Harun dipastikan tidak masuk sekolah karena memperbaiki rumahnya yang biasanya tertimpa longsor. Maklumlah, rumah mereka terletak di atas gunung, di sebelah tebing. Tidak heran rumahnya sering tertimpa tanah longsor jika hujan deras turun mengguyur desa Bajo.

Pak Harun juga masih sering menggunakan "kekerasan" kepada anak-anak. Beliau masih suka menghukum anak-anak dengan menggunakan tongkat kayu. Pernah suatu waktu hanya beliau yang datang ke sekolah, sebab kesal dengan anak-anak, semua anak kelas 6 jadi sasaran amarah beliau.

Di balik sikapnya yang keras, sebetulnya pak Harun sangat baik dan lembut hatinya. Ia juga yang "menangis" saat saya berbicara hati ke hati tentang ketidakhadirannya di sekolah. Ia betul-betul seorang pendidik. Ia saat ini sudah menjadi orang yang bisa menerapkan positive discipline.

Ia menggunakan "Tepuk Diam" dan menghukum anak-anak dengan cara yang lebih positif. Bagi mereka yang saat apel tidak bisa diam, Pak Harun tidak memulangkan mereka langsung, melainkan "dijemur" terlebih dahulu di bawah terik matahari. Yah, setidaknya beliau sudah tidak memukul anak-anak.

Suatu pagi, kedua guru ini bercerita, bagaimana perjuangan mereka dahulu untuk bersekolah. Pak Safi dan Pak Harun kebetulan berasal dari Kayoa, pulau lain yang berjarak 2 jam dari Ternate. Pak Safi adalah lulusan SPG di Ternate, sementara pak Harun berkuliah di STKIP Kie Raha di Ternate. Mereka bercerita, saat itu mereka masih mendayung menggunakan koli-koli (perahu sampan) untuk sampai ke Ternate. Mereka membutuhkan waktu hingga dua malam untuk sampai ke Ternate. Sampai di Ternate, penderitaan belum berakhir. Mereka tinggal di penampung yang terkadang memperlakukan mereka layaknya pembantu rumah tangga tambahan. Oleh karena itu, mereka berharap para siswa yang telah mendapatkan fasilitas pendidikan lebih baik dari mereka merasa bersyukur.

Wow. Saya yang mendengar cerita itu tidak bisa berkata apa-apa. Saya salut dengan perjuangan mereka. They are the real fighters!


Cerita Lainnya

Lihat Semua