Kuliah Atau Menikah?

Sonya Winanda 15 September 2014

Bibirnya bergetar, matanya merah akibat desakan air mata. Tangisnya pecah saat ia mencium tangan sang nenek yang sedari tadi berdiri mematung di sisi kanan mobil pengantar. Perempuan yang sudah uzur itu tak sedikit pun mengedurkan pelukannya, sementara sirine kapal meraung-raung, tanda perpisahan tiba.   

Suasana haru demikian pekat saat Nanik, penerima beasiswa penuh Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) berpamitan pada keluarganya untuk berangkat ke Jakarta, Kamis (28/8).  “ate-ate, parajin abelajar, jhe sampe atinghel sembejheng,” bisik sang nenek dalam bahasa Bawean yang berarti hati-hati, rajin belajar dan jangan meninggalkan solat.

Usianya 18 tahun. Ia anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya masih duduk di bangku sekolah, masing-masing di Tsanawiyah dan TK. Sejak lahir ia tinggal di sebuah pulau kecil kurang lebih berukuran 400 ribu meter persegi,  bernama Gili. Di peta dunia, pulau tersebut tak terlihat. Dalam peta Indonesia pun hanya berupa titik kecil tanpa nama. Gili dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari Pulau Bawean dengan menggunakan kalotok. Pulau Bawean dikenal juga dengan julukan pulau putri. Konon katanya, nama tersebut tercetus karena mayoritas penghuni pulau ini adalah perempuan. Para lelakinya pergi berlayar mencari nafkah hingga negeri seberang seperti Malaysia dan Singapura.

Baik Bawean maupun Gili, keduanya tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Gresik. Gresik dan Bawean hanya berjarak kurang-lebih 120 km perjalanan laut. Atau dapat di tempuh selama empat jam dengan kapal cepat dan 12 jam kapal lambat. Kapal hanya ada tiga kali dalam seminggu. Itupun belum tentu layar tepat waktu. Tergantung keputusan Syahbandar. Jika ia menyatakan gelombang dan angin aman, maka penumpang bisa bernapas lega. Sebaliknya, jika cuaca buruk, bersiaplah memutar langkah.

Kaum perempuan, khususnya di Pulau Gili, kebanyakan memutuskan menikah di usia muda. Bahkan menikah selepas Sekolah Dasar atau Menengah adalah hal biasa. Demikian diungkapkan Teguh, Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang bertugas di sana. “Sangat jarang putra-putri Gili melanjutkan sekolah hingga tingkat Universitas. Mereka terkendala biaya dan terbatasnya akses informasi.”

Jika tak ada generator, Gili hanya ditemani cahaya bulan dan bintang di malam hari. Masyarakat di sana belum pernah menikmati aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pulau yang berpenduduk sekitar seribu jiwa tersebut hanya dialiri listrik dari pukul 18.00 hingga 22.00 WIB. Sumber listrik berasal dari dua generator besar milik pribadi warga,  Wakir dan Masyur. Setiap orang membayar sebesar 100-150 ribu per bulan. Sinyal handphone pun hanya ada di titik-titik tertentu. Maka setelah listrik pudur, warga memilih tidur.

Dibalik segala keterbatasan tersebut, beberapa putra-putri Gili tetap bersemangat melanjutkan pendidikannya, termasuk Nanik. Ia baru saja lulus dari Madrasah Aliyah (MA) Hasan Jufri, Bawean. Menurut Gus Ali, Kepala MA Hasan Jufri, Nanik adalah salah satu siswanya yang berbakat. Ia bahkan aktif mengikuti perlombaan pidato berbahasa Arab.

Namun ia tak berani bermimpi terlalu besar. Ia takut membebani sang Ibu. Semenjak sang Ayah meninggal dunia tahun 2010 yang lalu, sehari-hari ia membantu Ibunya, Haliyah, berjualan makanan ringan di sebuah Madrasah tak jauh dari rumahnya. Begitulah cara sang mereka bertahan hidup. Maka ia menelan dalam-dalam keinginannya untuk kuliah, termasuk cita-citanya menjadi guru.  Namun siapa sangka, ia dinyatakan lulus sebagai mahasiswa (UAI) jurusan Sastra Arab. Ia senang tak terkira mendengar kabar tersebut. Tadinya, jika ia tak lulus, pilihannya adalah menikah.

Namun beasiswa tersebut hanya menanggung keseluruhan biaya SPP. Untuk biaya pendaftaran, transpor, akomodasi dan biaya hidup harus ditanggung sendiri oleh mahasiswa. Haliyah yang semula sangat mendukung putrinya untuk kuliah mulai cemas. “Nanti Nanik tinggal di mana? Di Jakarta pasti serba mahal, tidak seperti di sini.” Ungkapnya khawatir (25/8).

Mendengar hal ini, komunitas peduli Bawean yang digawangi oleh Ali Azhar dan Basit gerak cepat memberi bantuan sebesar Rp 1 juta untuk meringankan beban Nanik. Para pengajar muda Indonesia Mengajar penempatan Bawean pun turut menyebarkan kabar tersebut di sosial media untuk mencarikan kakak atau orang tua angkat sekaligus  menggalang dana. Usaha tersebut tak sia-sia. Terkumpul dana sebesar Rp 4,1 juta. Uang tersebut dipergunakan untuk biaya pendaftaran awal Rp 1.750.000. Sisanya untuk biaya transportasi ke Jakarta dan biaya hidup selama sebulan pertama di Jakarta.

Dalam waktu singkat, berdatangan para relawan dari Bawean maupun luar Bawean yang berpartisipasi baik dari segi materi maupun tenaga. Para relawan ini menamai diri mereka ‘Sahabat Nanik’. Mereka mulai mengatur rencana proses antar jemput Nanik saat tiba di Ibu Kota, memperkenalkan rute dan tranportasi umum Jakarta, menemani Nanik membeli beberapa kebutuhan kuliah, termasuk mencarikan tempat tinggal selama empat tahun kedepan. Kepala Dinas Pendidikan, Nadlif pun ikut membantu. Demikian banyaknya pihak yang peduli, menepis keraguan Haliyah melepas si sulung. Ia bahkan ikut mengantar Nanik ke Jakarta ditemani Pak Bul, guru Nanik di SDN 02 Sidogedongbatu, Gili.

 Nanik, Haliyah dan Pak Bul memang masih terlihat cemas saat masuk ke dalam bus Pahala Kencana tujuan Terminal Lebak Bulus (28/8), namun ada gurat optimis di sana. Memang tak seorang pun mampu memastikan kejadian di masa depan. Mungkin Nanik akan kesulitan dalam perkuliahan atau adaptasi, mungkin ia akan sering bersedih karena rindu pada sang Ibu dan kampung halaman, mungkin juga sempat terlintas kata menyerah. Lalu siapa yang tahu jalan yang akan ia pilih setelah ini. Toh tak ada yang pasti di dunia ini, bukan? Tapi setidaknya, ia dan keluarga telah menjadi satu dari sedikit masyarakat Gili yang mengambil langkah berani melompati batas diri. Setiap orang memiliki keterbatasannya sendiri. Namun yang mampu meraih mimpi bukanlah orang pintar, melainkan yang tak pernah menyerah.       

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua