Kargo

Sonya Winanda 30 Mei 2015

Di Bawean, kargo bukan sekedar mobil pengangkut yang berisi barang-barang dari negeri seberang. Ia adalah adalah bukti bahwa pengorbanan meninggalkan kampung halaman tidaklah sia-sia. Ia adalah harapan bagi para muda yang tak tahu harus apa. Dan yang terpenting, ia adalah penanda bahwa mereka yang ditinggalkan tak pernah dilupakan.

Kedatangan kargo tak bisa ditebak. Kadang sekali sebulan. Bisa jadi sekali tiga bulan. Bahkan hanya satu kali jelang puasa atau lebaran. Sebelumnya mungkin warga telah menerima kabar bahwa saudara di Malaysia atau Singapura mengirim satu dua barang ke kampung. Tapi tetap saja hari pastinya selalu jadi misteri. Apalagi sinyal handphone yang sulit. Informasi sering datang terlambat.

Tapi anak-anak selalu punya caranya sendiri mendapatkan informasi. Mereka seperti punya radar canggih.  Beberapa saat sebelum kargo datang, mereka sudah berkumpul di satu titik. Rona bahagia tak mampu disembunyikan. Menebak-nebak isi kargo menjadi permainan mengisi waktu sebelum yang dinanti betul-betul muncul. Membayangkan apa yang diberikan ayah, kakak, kakek atau nenek mereka tentu mendebarkan. Mereka akan berlari-larian mengejar mobil kargo sambil bersorak-sorak riang.

Isi kargo bervariasi. Hampir semuanya barang-barang made in Malaysia dan sekitarnya. Maka kalau membaca keterangan di kemasannya kerap membuat saya tersenyum kecil. Maklum, bahasa Melayu, meskipun berasal dari rumpun yang sama dengan Bahasa Indonesia, kata-katanya sering terasa tak lazim.

Barang-barang dari kargo biasanya dibungkus rapi dalam karung berwarna putih. Di dalamnya ada milo, odol, bedak, baju kurung, sarung, roti kaleng bahkan gadget.  Sebagian besar barang tersebut sebetulnya mudah ditemui di supermarket di Indonesia namun warga menganggap barang-barang tersebut hanya diproduksi oleh Malaysia. Lagipula di sini tak ada supermarket.

Mereka yang mendapat kiriman kerap membagi dengan para tetangga. Mungkin ingin membagi kebahagiaan, mungkin ingin memberitahu, makin banyak yang dibagi, makin terlihat sukses kehidupan keluarga di sana.

Jelang puasa seperti sekarang biasanya kargo lebih sering datang. Sanak saudara mengirimkan bahan makanan, bumbu masak, gula, tepung, sirop, dan baju lebaran. Secara kuantitas dan kualitas, kiriman jelang lebaran ini jauh lebih baik. Mungkin sebagai pengobat rindu. Mungkin juga sebagai permintaan maaf bahwa mereka yang dirantau lagi-lagi tak bisa pulang kampung tahun ini.

Ya, orang Bawean yang merantau ke Malaysia biasanya amat jarang pulang. Sebagian besar malah sudah menjadi warga negara Malaysia. Maka ke Bawean tak lagi berarti ‘pulang’ melainkan ‘pergi’. Liburan.  

Kehadiran orang yang  disayang memanglah tak bisa digantikan dengan apapun. Bercengkrama dan bersenda gurau secara langsung tentu mendatangkan sensasi berbeda dibandingkan bicara via telepon. Tak ada cium tangan anak pada orangtuanya. Tak ada pelukan hangat antar saudara. Tak ada makan kue bersama sambil melempar lelucon dengan tetangga. Semua itu mereka lakukan demi memberikan kehidupan yang lebih baik bagi yang tersayang. Selalu ada harga yang harus dibayar dari sebuah kesenangan, bukan?

Maka selama yang terkasih masih di negeri seberang, selama itu pula kargo selalu ditunggu. Kargo membuat mereka percaya bahwa mereka masih dicintai meski tak pernah lagi ditemui.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua