MEREKA TIDAK TAHU, BUKAN TIDAK MAU

Soleh Nugraha 27 Februari 2012

Suatu hari, ketika sedang bersantai-santai di rumah (Bandung), saya mendapat pesan singkat dari adik angkat saya, Mita, yang berada di Majene, Sulawesi Barat.  Berikut isi pesan singkatnya,

“Kak, tau gak? Kemarin aku hampir berantem sama Bapa. Bapa bilang mau kirim aku ke Bandung kalau nanti aku lulus SMK, kuliah di sana. Masa bilangnya kirim, emangnya aku barang. Haha..”

Saya tersenyum bahagia membaca pesan singkat tersebut. Saya merasa bangga dan terharu.

Respon saya yang seperti itu bermula dengan kisah seperti ini,

Di akhir tahun 2010, saya diutus oleh Yayasan Indonesia Mengajar ke sebuah daerah di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Tugas utama saya di sana adalah mengajar di salah satu sekolah dasar yang ada di Kecamatan Malunda. Namun, ada juga tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawab saya, yaitu memberdayakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, menggerakan para pemangku kebijakan di lingkungan pendidikan untuk bersama-sama memperbaiki kondisi pendidikan di daerah tersebut, juga memberikan semacam motivasi bagi masyarakat –khususnya anak-anak- untuk lebih mencintai ilmu/pendidikan.

Saya tinggal dan bertugas selama satu tahun di Dusun Lombang, Desa Lombang, sebuah tempat yang terletak di salah satu puncak gunung di ujung utara kabupaten Majene. Di sana saya tinggal dan diangkat menjadi anak oleh Pak Syafri. Pak Syafri memiliki istri yang bernama Bu Ratna (yang kemudian menjadi ibu angkat saya) dan tiga orang anak, yaitu Mita (16 tahun, SMK kelas 2), Akbar (12 tahun, SD kelas 6), dan Gita (7 tahun, SD kelas 2).

Pada suatu kesempatan, saya pernah bertanya kepada Bapa (panggilan akrab saya kepada Pak Syafri) tentang masa depan anak-anaknya. Saya bertanya tentang kelanjutan sekolah anak-anak Bapa, khususnya Mita, jika lulus SMK nanti. Beliau bingung akan diarahkan ke mana nanti Mita setelah lulus sekolah. Beliau tidak mau jika Mita mengikuti langkah teman-teman atau saudara-saudaranya yang telah lulus sekolah kemudian menikah, menjadi ibu rumah tangga, dan terjebak di ladang, menjadi petani seperti para pendahulunya. Bapa ingin Mita memiliki nasib yang jauh lebih baik dari dirinya. Bapa ingin Mita sekolah tinggi kemudian menaklukkan dunia dan meraih kesuksesan dengan otak, bukan otot seperti petani pada umumnya. Namun, sekali lagi, bapa bingung harus melakukan apa.

Sebenarnya, ada beberapa warga yang melanjutkan kuliah setelah lulus sekolah menengah. Mereka berkuliah di kampus-kampus yang ada di jalan poros kecamatan Malunda. Jika memiliki modal lebih banyak, mereka berkuliah di Majene (sebutan masyarakat untuk pusat Kabupaten Majene) atau ke Mamuju, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat. Namun, meski mereka mengenyam bangku kuliah, hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.

“Kuliah di sini beda dengan di Makassar atau di Jawa, lebih banyak di luar kelas daripada di dalam kelas. Dosennya jarang datang. Gimana bisa pintar”

Realita itu yang tidak diinginkan oleh Bapa. Bapa tidak mau kalau sudah mengeluarkan banyak uang untuk biaya kuliah, tetapi hasilnya tidak bagus. “Mubajir” jelas beliau.

Mendengar ucapan-ucapan Bapa, saya jadi berpikir untuk menawarkan sesuatu kepada bapa

“Pa, bagaimana kalau nanti Mita sudah lulus SMK dikuliahkan di Bandung?

Mendengar pertanyaan saya, Bapa langsung menjawab

Kuliah di Jawa kan mahal. Mana sanggup kami membayarnya. Terus, mana mungkin anak desa seperti Mita bisa kuliah di Jawa. Kayaknya susah.”

Kemudian saya menjawabnya seperti ini

“Susah kan Pa, bukan tidak bisa? Kalau kita mau pasti bisa. Bapa mau kan Mita memiliki masa depan yang lebih baik? Bapa mau kan Mita jadi sukses dan menaklukkan dunia dengan otak, bukan dengan otot? Bapa bisa mewujudkannya, asalkan Bapa mau. Kalau masalah biaya sebenarnya bisa kita selesaikan. Ada banyak beasiswa yang tersedia. Yang penting kita mau berusaha mendapatkannya.

Di setiap kesempatan berbincang-bincang dengan Bapa, saya selalu menyelipkan informasi-informasi tentang kuliah, kesempatan kerja, beasiswa sekolah, dan hal lain yang bertujuan meyakinkan Bapa untuk mau menyekolahkan Mita di Bandung jika nanti dia lulus SMK.

**

Usaha saya meyakinkan Bapa memang tidak langsung membuat Bapa yakin untuk menyekolahkan Mita di Bandung. Namun, setelah menerima pesan singkat Mita (yang ada di awal tulisan), saya merasa berhasil.

Ternyata ketidakmauan hanya karena ketidaktahuan. Setalah mengetahui berbagai informasi tentang kuliah, prospek setelah kuliah, beasiswa yang bisa membantu biaya kuliah, dan informasi lainnya, akhirnya Bapa mau menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

**

Saya yakin di luar sana masih banyak orang tua seperti Pak Syafri yang menginginkan anak-anaknya memiliki nasib yang lebih baik, menginginkan anak-anaknya sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, menginginkan anak-anaknya dapat menaklukkan dunia dengan otak, bukan dengan otot, namun semuanya terhambat oleh ketidaktahuan. Banyak kesempatan yang tidak mereka dapatkan karena mereka tidak tahu akan keberadaan kesempatan itu.

Kita mungkin beruntung, hidup dan tinggal di lingkungan yang dekat dengan berbagai kesempatan. Semua saya ketahui. Kondisi memudahkan saya meraih kesempatan-kesempatan yang ada. Namun, di tempat lain, ada saudara-saudara kita yang merasa dirinya jauh bahkan tidak memiliki kesempatan, bukan karena mereka tidak mampu/mau meraih kesempatan-kesempatan itu, tetapi karena mereka tidak tahu.

***

 

Soleh Ahmad Nugraha


Cerita Lainnya

Lihat Semua