Pencarian Pahala (Bagian 2)

Agus Arifin 27 Februari 2012

“Karena kepolosan dan kejujurannya, terkadang anak-anak bisa lebih bijak dari orang tua. Selalu ada yang istimewa dalam diri seorang anak, jika kita peka melihatnya dengan kejernihan hati dan mata batin  yang tulus”

 

Minggu, 8 Januari 2012

Sisa-sisa angin malam yang berhembus di subuh kali ini,  masih terasa menusuk tulang belulangku. Hujan yang jatuh di tengah malam  mulai mereda hingga menyisakan bunyi rintik yang pastinya akan membuat mata siapapun kian terpejam. Tubuh yang kuat sekalipun seakan lemah tak berdaya menahan godaan balutan selimut tebal yang memberikan kehangatan. Sungguh nikmat memang, namun justru inilah yang membuatku resah. Kenyamanan inilah yang membuatku tak nyaman. Ya, kenyamanan yang akan menjadi ujian berat bagi murid-muridku yang sedang berjuang keras untuk membiasakan diri bangun di waktu subuh. Tanpa berfikir panjang, ku ayunkan langkahku menuju mushola kecil, tempat yang sering kali membuatku jauh lebih lelah dibanding di sekolah, karena bermacam- macam anak dari segala tingkatan ada di sana.  Mulai TK, SD, SMP, SMA dan orang tua belajar mengaji bersamaku di situ. Kadang kepala ini serasa mau pecah, ketika mereka semua mulai  ribut kesana-kemari, hingga aku sulit membedakan, antara mushola dengan pasar burung (hehe...). Kalau sudah begitu, biasanya kulakukan, ya standar guru. Pertama aku akan berusaha mendiamkan mereka dengan cara menegur anak-anak yang menurutku menjadi “biang kerok” kegaduhan. Jika cara pertama tak mempan, biasanya aku hanya akan diam dan  berhenti mengajar untuk memberikan kesempatan agar mereka merenungkan kesalahannya. Sejauh ini, cara itu cukup ampuh, dan efektif untuk menenangkan anak-anak tanpa harus membentak atau bahkan sampai melakukan kekerasan fisik. Tak jarang juga, tempat mungil itu, menebarkan keceriaan dan kelucuan yang timbul dari kepolosan anak-anak, hingga kadang membuatku tertawa lepas dan sejenak melupakan segala kepenatan yang ada. Dari situlah aku banyak belajar tentang arti kesabaran dan keceriaan. Dua kata yang akan membuatku yakin akan mampu bertahan hingga 1 tahun masa tugasku.

Ada hal menarik di sini. Subuh di sini tak jauh berbeda dengan tengah malam. Yang membedakan hanyalah suara ayam jantan berkokok, penanda subuh telah tiba. Begitulah memang kenyataannya jika kita hidup di sebuah perkampungan yang letaknya di tengah hutan belantara. Lambat laun, aku pun mulai terbiasa dengan kondisi itu. Gelap, bahkan gelap sekali. Tak sedikipun jalanan mampu tertangkap oleh pandangan mata jika tak dibantu oleh lampu senter. Biarlah tetap begitu, karena  aku menikmatinya. Segelap apapun tak menjadi masalah, karena sedikitpun langkahku tak kan pernah surut. Tepat seperti dugaanku sebelumnya, mushola kali ini sepi, tak seorang pun ada di sana. Setelah kupukul bedug dan kukumandangkan adzan, barulah beberapa anak mulai berdatangan. Namun tetap saja jumlahnya  tak sebanyak  di subuh-subuh sebelumnya. Hanya ada 8 anak yang datang saat itu. Ical, Panji, Sugiyono, Asril, Rudi, Aldi, Memi dan  Risma, kupandangi  lekat-lekat wajah polos mereka. Ada yang masih terkantuk-kantuk, ada yang masih mengucek-kucek mata dan menguap tiada berhenti, namun ada juga yang sudah terlihat segar bugar, itu pun hanya ada dua orang.

“Koq sepi sekali ya anak-anak...kemana yang lain?...”tanyaku membuka perbincangan.

“Masih tidur paak...tadi malam banyak yang nonton Pandawa (Read: Tutur Tinular) sampai jauh malam pak...!” Sahut Sugiyono.

“iya pak..pada nonton tadi malam...di rumah bapak Mila..!” sahut Memi mencoba memperkuat.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, sedikit menyayangkan atas apa yang dilakukan oleh sebagian besar murid-muridku hingga mereka tak mampu bangun subuh. Pasalnya, film “TUTUR TINULAR” yang menjadi favorit orang-orang di kampungku mulai tayang pukul 21.30 WITA dan berakhir pukul 23.30 WITA.  Alhasil hampir dipastikan anak-anak tidurnya selalu larut malam dan subuhnya sering kali terlambat bangun.

“Baiklah anak-anak, kalau begitu...sekarang kita keliling kampung untuk membangunkan teman-teman kalian yang masih tidur biar bisa sholat subuh...kita bagi tugas ya... Risma ke rumah Aliah dan Syarifah, Memi ke rumah novi dan Gocik, Sugiyono dan Rudi ke Kampung Baru, Asril ke rumah Hariyanto dan Risal, Ical ke rumah Sapar dan Mamat, Panji ikut Risma ke Kampung Baru, Aldi ke rumah Arif, dan sisanya biar pak Guru yang bangunin....”

“Aih pak...takut he pak...gelap...sereeem..., nanti kalo ada hantu...hiiiiii”...jawab Ical

“Iya he pak...gelap...takuuuuut...” sahut sugiyono tak mau kalah

“Apa yang kalian takutkan anak-anak?  Tenang aja gak usah takut.. Kan ada pak Arif.....takutnya sama Allah saja ya...” koarku mencoba meyakinkan mereka

“Tapi tetap takut pak...gelap-gelap sereem pak.” jawab Ical dengan wajah memelas...

“Eits...Murid pak Arif dilarang keras jadi penakut...harus Berani...!

“Pak..oh bapak, bangunin teman untuk sholat ada pahalanya indak? Tanya Rudi singkat...

“Oh...ada Rudi...pahalanya besar sekali malah..Begini Rudi, kalau kamu bangunin teman sebanyak 2 orang, maka kamu dapat pahala sholatnya 2 orang itu, kalau yang kamu bangunin 10 orang, ya kamu dapat pahala sholatnya 10 orang itu tanpa mengurangi pahala sholat mereka. Jadi semakin banyak dan semakin sering kamu membangunkan temanmu untuk sholat, maka pahalamu semakin banyak dan kesempatan masuk surganya semakin besar”

“Waaaah...besar pak pahalanya....oke siap laksanakan komandan.....” jawab Rudi seraya mengangkat telapak tangannya di atas pelipis dengan posisi hormat...

“Horee pahalanya banyaaaak....” teriak beberapa anak kegirangan.

“Kalau begitu biar kodi’ (aku) saja yang bangunin teman-teman semuanya pak...!” jawab Ical yang egoisnya mulai kumat.

“Kodi’ saja pak...kodi’...kodi’”...sahut yang lain seraya mengacungkan tangan berebut untuk ditunjuk.

“Ok...tenang anak-anak, gak usah berebut, kalau begitu biar kita dapat pahalanya sama dan bisa masuk surga juga sama-sama, gimana kalau kita berangkatnya bareng-bareng saja..?

“iya paak...” jawab mereka serentak..

“Siap komandan..” jawab rudi dengan gaya khasnya (tentara)

Kuhela nafas panjang, kesembulkan senyum kecilku kepada mereka. Subhanallah, semangat pencarian pahala mereka sangat besar. Kami pun berjalan beriring-iringan keliling kampung sambil berteriak memanggil nama anak-anak yang masih tertidur lelap. Gelap sekali memang, hanya lampu senter kecil yang menjadi penerang jalan kami saat itu. Namun, tak sedikitpun langkah mereka surut, karena mereka yakin ada pahala yang besar dibalik kegelapan itu. Sungguh, hari ini kembali ku disadarkan bahwa anak-anak yang saat ini berjalan di dekatku, mereka begitu istimewa. Mereka akan baik jika selalu melihat  dan mendengar kebaikan dari kita. Ah, anak-anakku... ada saja tingkah lakumu yang membuatku semakin menyayangi kalian...semakin bangga menjadi guru kalian. Disaksikan angin yang terus berhembus, langit yang masih hitam pekat  dan pepohonan yang kokoh berdiri, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat menyangi kalian anak-anakku... Prajurit Mimpi...

 

Dusun Tatibajo

Pukul 05.30 WITA


Cerita Lainnya

Lihat Semua