info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

bukan ABG lagi

Belgis 27 Februari 2012

Dunia remaja, penuh dengan canda tawa. Aku jadi teringat display picture seorang temanku yang berbunyi “teens : you have all the time and energy, but no money”. Hanya saja kata-kata indah itu berlaku di dunia di balik awan. Remaja di sini sudah mengenal dunia kerja, dan uang, sejak mereka bisa berjalan dan berbicara dengan lancar.  Sedari kecil mereka diajarkan “berjajak” (menjual) makanan dan sayur mayur. Para orang tua mengupah mereka dari hasil yang sudah terjual. Dari sanalah anak-anak mengenal dunia kerja. Beranjak dewasa sedikit, mereka merambah dunia kerja yang “sesungguhnya”.  Memotong getah, menanam padi, menebar jala, menjadi aktivitas harian mereka. Alasan-alasan itulah yang menguatkan kami, para guru, agar SMP yang baru saja dibuka tahun ini menyelenggarakan pendidikan pada siang hari, karena anak didik kami saat pagi harus bekerja. Yupe, walaupun pagi hari harus bekerja keras, mereka tetap semangat sekolah. Aku memuji semangat mereka untuk datang dan duduk dengan tertib di kelas, walaupun sering menjumpai mereka tengah tertidur saat jam pelajaran berlangsung. Yang masih suka aku pikir, harus sampai batas mana toleransiku ini? Aku tahu aktivitas anak-anak ini sebagian besar adalah buruh penoreh karet, yang mengharuskan mereka berangkat pagi-pagi buta, berjalan jauh, dan baru pulang menjelang siang hari. Aktivitas seperti itu pasti sangat melelahkan. Apalagi belum ditambah rutinitas rumah seperti “merapi, mekayuk” (memasak nasi, memasak sayur) dan “pampuk, basuk” (mencuci baju, mencuci piring). Tidak sekali dua kali, aku menjumpai mereka tertidur saat jam pelajaranku. Biasanya aku hanya menyuruh mereka bangun dan mencuci muka. Aku tidak pernah marah dalam hal ini. Pernah juga saat aku tengah menerangkan pelajaran, terlihat wajah mereka yang diam dan tidak menyahut saat aku melontarkan pertanyaan. “Haloooo, adakah orang di sana?” Rupa-rupanya hanya badan saja yang ada di kelas namun pikiran mereka melayang entah ke mana. Kalau sudah begitu, aku tidak bisa mentolerir lagi. Biasanya quiz mendadak yang kujadikan solusi agar “nyawa” mereka kembali lagi. Siswa-siswa kelas 7 SMP di desaku banyak yang sudah tidak ABG lagi. Mengingat usia mereka pun sudah di atas 17 tahun. Anak-anak remaja tanggung itu memang sulit diatur, karena naluri remaja mereka yang tinggi. Masih “hijau” tetapi sudah memikirkan penghasilan, atau malah ada yang sibuk memikirkan pasangan hidup.  Lucu kadang, namun beginilah remaja-remaja desa. Toh mereka juga sadar akan kenyataan bahwa tidak lama lagi mereka akan “berlaki, berbini” walaupun sering aku sampaikan pada mereka “kalian mau berlaki / berbini sekarang itu adalah keputusan kalian sendiri. Kalau mau berlaki/ berbini sekarang, ya saya yakin kehidupan kalian tidak akan jauh beda dari yang sekarang. Tapi kalau terus sekolah, Tuhan akan menempatkan kalian di tempat yang lebih baik lagi. Kalau ingin berubah ke arah yang lebih baik, maka kalian harus fokus belajar.” Bersyukur aku walaupun beberapa di antara mereka sudah menjelang dewasa, namun mereka tetap semangat belajar. Mereka tidak malu yerlihat lebih besar dan lebih tua saat berkumpul dengan teman-teman SMP dari daerah lain. Dami dan Ariyani, adalah contoh anak-anak yang sudah lewat usia ABG. Ariyani atau Noy panggilan sehari-harinya, adalah dara berusia 17 tahun. Sedangkan Dami, yang merupakan tetangga sebelah rumahku, adalah bujang berusia 18 tahun. Tapi anehnya, malah mereka berdua ini yang sangat aktif di kelas. Menggerakkan teman-temannya agar “bangun” saat pelajaran. Usaha mereka sangat membantuku, menyadarkan teman-temannya untuk tetap fokus pada pelajaran. Aku sering menanamkan pada mereka, “walaupun nanti ujung-ujungnya kalian jadi ibu rumah tangga, namun jika kalian sekarang rajin belajar, maka kelak kalian akan menjadi ibu rumah tangga yang cerdas. Mungkin sekarang kalian tidak bisa mengubah hidup, tapi karena kecerdasan kalian, maka hidup kalian akan diubah oleh anak-anak yang dididik dengan cerdas oleh ibu mereka”


Cerita Lainnya

Lihat Semua