Jingga: Keindahan yang Sempurna

Soleh Nugraha 23 Juni 2011
Seribu bidadari surga meliukkan tubuhnya, menjentikkan jemarinya, dan menghanyutkan dirinya mengikuti irama alunan dawai-dawai biola yang Tuhan mainkan. Keindahan menyempurna kala jutaan malaikat menjelma menjadi kunang-kunang, terbang perlahan kemudian berputar-putar mengikuti setiap lekukan tubuh bidadari-bidadari penari. Semakin lebur mereka berharmoni. Takberapa lama, para malaikat yang telah menjelma kunang-kunang kembali beraksi. Kini mereka bersatu mengubah dirinya menjadi sayap yang indah, putih, dan bercahaya. Kemudian menancap dengan perlahan ke punggung-punggung mulus para bidadari. Bidadari telah bersayap malaikat. Penggabungan yang menakjubkan. Keindahan yang sempurna. Tarian tadi mereka lanjutkan dengan kaki yang taklagi menapak. Para malaikat mengepak dan mengangkat tubuh-tubuh ramping para bidadari. Terbang. Melayang. Terus bergerak mengikuti irama-irama indah tangan Tuhan. Saat itu tepat pukul 05.00. Aku berdiri mematung di atas kedua kaki yang rasanya telah menyatu dengan tanah, bagai akar-akar pohon besar. Takbergerak. Pandangan kuarahkan tepat ke barat, melintasi lembah, melintasi jalan kampung yang aspalnya telah terkupas, melintasi perkampungan tradisional dengan rumah-rumah panggung yang sederhana, melintasi perkebunan coklat dengan beberapa petani yang tampak sedang memanennya, melintasi pohon-pohon durian yang besar dengan bunga-bunga yang sudah mulai bermunculan dari ranting-rantingnya, melintasi sungai besar yang hijau meliuk-liuk membelah perkebunan kelapa, melintasi jalan poros Malunda, melintasi perkampungan yang telah sedikit maju dengan rumah-rumah berdinding permanen dan tampak juga menara-menara penangkap sinyal telepon di tengah perkampungan tersebut, melintasi pantai yang tidak terlalu besar, kemudian melayang bebas di atas hamparan air laut yang tampak tenang dengan perahu-perahu kecil para nelayan tradisional yang terapung di atasnya. Di atas laut itulah panggung pertunjukan para bidadari dan malaikat yang telah bersatu menari mengikuti irama dawai biola dari tangan Tuhan. Aku menyaksikan sebuah karya seni pertunjukan terindah yang pernah ada. Belum sempat aku berkedip, bidadari bersayap malaikat itu kembali menunjukkan kemampuannya. Mereka membuat formasi,  membentuk lingkaran dengan beberapa lapis, setiap lapisannya berjumlah berbeda, semakin ke belakang semakin banyak jumlah dalam lingkarannya. Mereka berputar mengelilingi Tuhan yang terus-menerus memainkan biolanya. Sekarang permainan tampak hampir menuju penghujung. Tuhan yang semula memainkan biola di atas singgasananya, kini berdiri. Berputar-putar, namun tetap dalam porosnya. Berputar-putar sambil terus memainkan biolanya. Semakin bersemangat para bidadari bersayap malaikat melihat Tuhan taklagi duduk. Putaran mereka semakin cepat namun tetap indah, tak ada satu pun dari bidadari-bidari bersayap malaikat lupa akan gerakannnya sehingga taktampak satu pun celah di dalam formasi lingkaran itu. Menggesek dan terus menggesek. Berputar menari, berputar lagi dan menari lagi. Terus berharmoni. Tuhan kini diam, taklagi berputar namun tetap memainkan biolanya. Sampailah pada akhir permainan, terdengar bunyi indah biola yang mengalami fade out. Mengecil dan semakin mengecil suaranya. Para bidadari bersayap malaikat pun semakin memelankan gerak tariannya. Tetap seirama dengan bunyi biola. Kemudian taktampak lagi Tuhan menggesek biolanya, namun suara tetap keluar. Bunyi biola masih bergema di seluruh penjuru mata angin. Gema itu kini berubah menjadi kicauan burung-burung yang sedang bertengger di dahan pohon durian dan pohon kemiri, berubah menjadi lolongan anjing-anjing kampung yang sedang bermain kejar-kejaran dengan sesamanya, berubah menjadi suara sapi yang sedang digembalakan anak desa di tengah padang rumput, berubah menjadi suara kambing di dalam kandang yang sedang diberi rumput oleh sang empunya, berubah menjadi suara air mengalir yang sesekali menabrak batu-batu di sungai yang membelah desa, berubah menjadi suara daun yang bergoyang-goyang tertiup angin, berubah menjadi langkah para petani yang baru pulang dari kebun dengan membawa satu karung kecil berisi kemiri dan satu karung kecil lagi berisi cokelat yang baru dipanen dari kebunnya. Lalu kusaksikan para bidadari bersayap malaikat terdiam, kemudian tubuhnya perlahan terpecah menjadi titik-titik cahaya putih bagai kunang-kunang yang keluar bersamaan dari sarangnya, kemudian cahaya putih itu mulai tampak menguning, kemudian menjingga dan terus menjingga. Kejinggaan telah sampai pada puncaknya. Dari sini, dari puncak bukit di Desa Lombang, kusaksikan sebuah mahakarya seni pertunjukan, sebuah suguhan keindahan, sebuah kuasa Sang Maha Kuasa tersaji berharmoni. Cahaya jingga yang berasal dari kolaborasi apik antara bidadari surga dan malaikat yang menghanyutkan diri ke dalam irama dawai biola Tuhan memang sungguh memanjakan mata. Enggan rasanya berkedip meski sedetik. Sang Gelap mulai meraja, namun jingga selalu terjaga, meraga sukma ke tubuh-tubuh kecil para bintang. Jingga tetap indah dalam setiap raga. Majene dan Makasar, Desember 2010

Cerita Lainnya

Lihat Semua