Bumerang

Soleh Nugraha 31 Januari 2011
Mungkin begini rasanya menjadi seorang pemimpin negara ketika mengumumkan sebuah kebijakan yang jika dilihat dari sudut pandang masyarakat keputusan tersebut tidak memihak, namun dari sudut pandang pemerintah itu sendiri merupakan keputusan terbaik. Suatu hari, aku, guru-guru, dan kepala sekolah berkumpul untuk mendiskusikan suatu masalah, yaitu rekreasi siswa. Karena kurangnya koordinasi dan jarangnya kepala sekolah dan beberapa guru datang ke sekolah, rapat yang seharusnya dilakukan jauh hari baru dilakukan beberapa jam, bahkan beberapa menit, sebelum rekreasi itu dimulai. Rekreasi memang sebuah kegiatan yang paling disukai anak-anak, termasuk siswa SDN Inp. No. 25 Lombang. Beberapa hari sebelumnya, aku sudah diserang bertubi-tubi masukan/usulan dari anak-anak. Ada beberapa pilihan yang mereka ajukan, yaitu Pantai Malunda, Talinga Salasang, dan Sungai Kayuangin. Ketiga tempat tersebut merupakan objek wisata terdekat dari kampung kami, Desa Lombang. Namun, kedekatan tersebut bukanlah mudah untuk dicapai. Ketiga tempat tersebut memiliki jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh, 6 km untuk Pantai Malunda, 4 km untuk Air Terjun Talinga Salasang, dan 3 km untuk Sungai Kayuangin, namun jarak tersebut akan terasa sangat jauh dan berat karena harus ditempuh dengan berjalan kaki naik-turun bukit dengan kondisi jalan yang rusak berat. Usulan-usulan yang diberikan anak-anak aku sampaikan dalam rapat. Aku jelaskan bahwa anak-anak berharap besar pada rekreasi ini. Setelah mendengarkan penjelasanku, para guru mulai menundukkan kepala dan mengerutkan dahi tanda berpikir. Sejenak ruangan rapat pun menjadi sunyi. Sangat kontras dengan kondisi di luar. Anak-anak sangat ribut. Mereka bergembira karena akan pergi rekreasi. Terdengar sayup-sayup para siswa bercerita tentang yang akan dilakukannya di pantai nanti. Ada juga yang bernyanyi riang. Ketika kutolehkan ke arah jendela, aku melihat beberapa siswa dengan wajah cemas mengintip ke dalam ruangan. Kepala sekolah memecahkan keheningan ruangan, “Menurut saya lebih baik kita berekreasi di sekolah saja.” Aku tidak lagi mampu berbuat dan berbicara apa-apa lagi. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sekolah memang sepenuhnya hak kepala sekolah. “Ya, menurut saya juga begitu. Lebih baik kita di sekolah saja, kalau ke pantai itu jauh sekali, saya tidak sanggup jika ke sana.” “Betul, lebih baik di sini saja.” “Oh iya, Pak Soleh katanya punya banyak permainan seru yang bisa diberikan untuk anak-anak.” “Silakan Pak Soleh umumkan kepada anak-anak!” Para guru, satu per satu, mulai angkat bicara, mengamini keputusan kepala sekolah. Aku masih terdiam mendengarkan semuanya. Keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku. Dada terasa sangat sesak. Tubuhku masih terjaga di ruangan itu, namun pikiranku taklagi. Pikiranku sudah berada di beberapa menit menit yang lalu. Aku kembali teringat beberapa kejadian pagi tadi ketika anak-anak berkumpul di depan rumahku. Mereka menantiku untuk bersama-sama pergi sekolah. Aku kembali teringat senyum bahagia mereka ketika bernyanyi-nyanyi dalam perjalanan menuju sekolah. Kini aku kembali mendapatkan tubuh dan pikiranku dalam ruangan rapat, namun sesak dan keringat dingin terus mencumbui diriku tanpa ampun. Hanya mulut yang tetap takbergerak. Bumerang. Ini memang akan menjadi bumerang yang siap kulemparkan ke arah anak-anak, kemudian sebelum mengenai anak-anak bumerang itu berbalik arah dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi. Bumerang pun mendarat tepat di dadaku. Meretakkan tulang-tulang rusuk dan meninggalkan luka lebam yang akan hilang dalam waktu yang sangat lama. Kaki mulai melangkah keluar ruang rapat. Anak-anak yang semenjak tadi mengintip dari kaca jendela tampak raut mukanya semakin cemas. Pintu kubuka. Anak-anak yang tadi asik bernyanyi, bermain, dan bercerita sekejap saja berhenti dan berlari ke arahku. “Ke mana jadinya, Pak?” “Ke mana?” “Pantai kan?” “Hore.” Dadaku semakin sesak mendengar suara anak-anak. Raga taklagi bernyawa. Aku mengajak anak-anak ke lapangan yang lebih luas. Lalu Bumerang kulemparkan dengan halus dan penuh kehati-hatian. Belum jauh kulemparkan, sesuai dengan prediksiku, bumerang itu kembali berputar ke arahku. Melesat dengan kekuatan beratus-ratus kali lipat. Ukurannya pun semakin lama semakin membesar. Sisi-sisinya pun taklagi tumpul. Tampak tajam setajam-tajamnya. Aku sobek, takhanya lebam. Remuk, takhanya retak. Seusai kuumumkan kabar itu,  anak-anak berhamburan menuju jalan pulang. Ada yang matanya berkaca-kaca. Ada yang mukanya merah terbalut amarah. Ada juga yang takhenti bergumam, melemparkan sumpah serapah dengan menggunakan bahasa Mandar. Aku semakin tersiksa menyaksikannya. Sedang di sekitarku masih ada beberapa anak yang bertahan berada di dekatku. Di antaranya adalah beberapa siswa Rumah Belajar Cahaya Pelita, termasuk Akbar, adikku. Wajah mereka terlihat muram, marah, dan sedih. Kemudian aku merasakan nyawa menghampiri raga. Lalu bersatu dan membentuk sebuah kekuatan. Kini aku mampu untuk berpikir kembali. “Siapa yang mau bersenang-senang?” Wajah anak-anak yang semula tertunduk lesu kemudian terangkat dan memandangku yang berteriak seteriak-teriaknya. Mereka tetap membisu, namun pandangannya semakin tajam, penasaran. “Yang mau bersenang-senang ikut dengan bapak sekarang.” Aku mengajak anak-anak ke sebuah lapang bekas kebun cokelat. Di sana yang tersisa hanya batang-batang pohon cokelat tua yang taklagi berdaun dan beranting, namun batangnya masih tertancap kuat di tanah meski tubuhnya telah ditelanjangi serangga dan rayap. Kemudian aku meminta sebagian anak-anak untuk menunggu di kebun tersebut dan sebagian lagi aku minta untuk membantuku membawa dan mengumpulkan perlengkapan. Aku dan Akbar berlari sekuat-kuatnya menuju rumah. Kubawa segulung besar tali rapia yang biasa digunakan bapakku untuk mengikat sambung samping pohon cokelat. Lalu aku menuju lantai dua rumah untuk mengambil kain sarung yang belum kering dijemur karena baru saja dicuci oleh ibu. Setelah itu aku menuju dapur untuk membawa ember dan gelas plastik. Setelah semua perlengkapan siap, aku dan Akbar kembali ke sekolah, namun sebelumnya kami singgah terlebih dahulu di sumur untuk mengisi ember. Ember berisi air, tali rapia, kain sarung, dan gelas sudah siap. Permainan dimulai. Tali rapia kuikatkan tak beraturan dari satu batang cokelat ke batang cokelat yang lain. Jadilah permainan melintasi jaring laba-laba. Kubuat lintasan melingkar dengan tali rapia yang diikatkan ke empat batang pohon untuk pembatas luar lintasan dan empat pohon untuk batas dalam. Kubuat juga garis start yang sekaligus berfungsi sebagai finish. Di garis itu kusiapkan beberapa kain sarung yang di atasnya diletakkan gelas berisi air. Jadilah permainan membawa gelas dengan kain sarung. Takkusangka tiba-tiba satu persatu anak-anak yang tadi pulang kembali bergabung. Setalah melihat kedua permainan itu anak-anak mulai berseri kembali. Kemudian satu persatu mencoba kedua permainan. Senyum mereka kini secerah mentari yang terik yang ada di atasku. Marah enyah, sedih pergi. Aku hanya bisa tersenyum kecil melihat mereka tertawa bahagia. Mataku mulai basah. Nafas terasa kembali normal. Keringat dingin mulai mengering dan kulitku mulai bisa merasakan hangatnya sinar mentari. *** Untuk anak-anak SDN Inp. 25 Lombang, maafkan Bapak, sempat mengecewakan kalian.

Cerita Lainnya

Lihat Semua