Antara Kenyataan dan Mimpi

Selfi Mahat 16 Agustus 2011
Masih ingat dalam benakku ketika pertama kali melewati jalan ini, sekitar dua minggu menginjakkan kaki di desa Indraloka, dalam rangka mengikuti acara pengajian bulanan ibuk-ibuk. Jalanan ini sepi , karena hanya baris-baris pohon karet yang berdiri dengan rapinya di kiri kanan jalan. Di antara kebun-kebun itu ternyata terselip dua rumah papan dengan atap gentengnya yang sudah rapuh. Tak ada tetangga lain di sekitarnya, hanya dua bangunan sederhana ini. Rumah ini begitu sepi, tak terlihat penghuninya. Deretan jemuran yang berada di samping rumah yang seakan memberitahu bahwa rumah ini ada penghuninya. “Jalanan ini akan ramai di pagi dan siang hari ketika anak-anak sekolah dasar berangkat dan pulang sekolah. Sebab jalan inilah jalan lewat dalam yang terdekat dan aman bagi anak-anak. Daripada lewat jalan lintas yang begitu ramai dengan truk-truk besar yang  hilir mudik melintas. Tetapi ketika musim hujan, jalan ini menjadi jalan yang akan di hindari karena jalanan tanahnya yang bagai coklat cair yang begitu licin”  guman nani padaku. “Trus,  rumah yang tadi itu rumah siapa nan?”. “itu rumah bu supri yang biasa bantu-bantu di sekolah mbak,  sekarang udah mendingan tinggal udah dekat ke jalan walaupun kiri-kanan kebun. Dulu itu malah di tengah-tengah kebun karet  di pinggir rawa yang disana mbak, tunjuk nani antusias padaku seakan tahu apa yang aku pikirkan”. suami bu supri bekerja sebagai buruh bangunan, tetapi  sering juga dimintai tolong untuk bantu masak nasi buat orang hajatan. Hidup dari upah buruh dan kerja serabutan tak membuat keluarga ini menyerah. Bapak, ibu dan enam orang anaknya tetap hidup bahagia di gubuk tua mereka. Cuma orang-orang diluar sana yang suka syirik melihat semangat kedua orang tua ini begitu gigih ingin menyekolahkan anak-anaknya”. “pak....., pak......!!! (dengan logat jawanya),  sampeyan ojo ngimpi, sekolah tak akan bisa merubah nasib kita. Hidup ini yang penting uang, sekolah hanya ngabisin uang. Sampeyan bodoh yo, buat makan aja susah uangnya malah dibuang-buang buat bayar sekolah”. Kalimat-kalimat penyemangat yang membuat pak parmo dan bu supri tambah semangat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dia pengen anak-anaknya kelak berhasil tak seperti mereka yang hanya lulusun sekolah dasar.  Lontaran-lontaran semacam ini sudah sering mereka dengar, mereka tahu mungkin orang-orang kasihan melihat mereka. Kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah susah mereka dapat belum lagi kebutuhan untuk sekolah anak-anak. Bisa dibayangkan 8 orang di dalam satu gubuk, Sesak pastinya, tak ada tempat bergerak dan tak ada ruang privasi. Dan seorang bapak yang pontang panting mencari sesuap nasi untuk enam orang anaknya. Dengan segala keterbatasan, baik makanan, pakaian dan fasilitas lain. Tetapi Allah memberi anak-anak ini kelebihan. tanpa susu, keju dan roti pun mereka menjadi anak-anak pintar. Anak-anak yang penuh semangat, walau tak punya bekal jajan buat sekolah ini tak mematikan semangat mereka untuk sekolah. Si sulung sugi terpaksa harus berhenti selesai menamatkan SMP karena biaya yang tak ada, dia harus mengalah dengan adik-adiknya yang juga menyusul akan masuk SMP. Walaupun begitu, semangat pak parmo tetap kuat agar anak-anaknya tetap sekolah. Sugipun tak kalah semangatnya, Tiga tahun merantau untuk mencari penghidupan, membuat arang ,menjadi buruh sampai ke Jambi dilakoninya agar bisa sekolah lagi. Tak sia-sia usaha bapak dan anak ini, hingga akhirnya setahun yang lalu sugi bisa mengejar ketinggalannya dengan mengikuti paket C. Bermodalkan paket C dia bilang “saya ingin kuliah pak, Universitas Terbuka (UT) biayanya mungkin lebih murah dan saya masih bisa bekerja karena kuliahnya hanya sekali dalam seminggu”. Hanya sekedar mimpi ingin kuliah, akhirnya itu terwujud walaupun pertemuan kuliahnya hanya satu kali dalam seminggu. Jurusan PGSD telah ia tetapkan menjadi pilihannya. Susi, yang sepantaran nani tak kalah semangatnya. Tiap malam datang kerumah buat belajar Persiapan SNMPTN. Anak nomor tiga, Sundari yang lagi duduk di bangku SMA ini adalah gadis pendiam yang tak pernah absen menjadi perwakilan sekolah untuk tiap lomba. Lomba Matematika maupun catur. Kegiatan menutup sekolah tiap sorenya tak pernah dilewatkan begitu saja olehnya. Selesai menutup semua kelas, dia langsung ke kantor dan membaca koran hari ini. Itulah rutinitas yang dia lakukan, membaca koran pagi di sore hari sebelum menutup ruangan guru. Si nomor empat, waluyo yang sekarang duduk di kelas 3 SMP juga adalah andalan sekolah untuk lomba MIPA dan Catur. Nomor lima, kandar yang juga sudah di SMP dan si bungsu Mei yang selalu penuh kejutan buatku. Seperti kakak-kakaknya, Meipun juga adalah bintang sekolah. Terakhir dia mewakili kabupaten Tulang Bawang Barat untuk lomba O2SN dalam cabang catur di Propinsi dan Lomba Olimpiade MIPA di Kabupaten. Deretan piala yang berjejer di lemari kantor adalah hasil kerja kerasnya untuk sekolah. Jadi takkan pernah kulupa kejadian sebulan lalu. “Bocah perempuan kecil dan kurus ini terlihat kecewa ketika namanya di panggil. “Kelas 5 A yang meraih juara 2 adalah Mei Suryani”. Dia berjalan tak penuh semangat, tak seperti bocah-bocah lain ketika di umumkan meraih juara kelas. Hanya senyum terpaksa yang tersungging di bibirnya bisa ku lihat ketika bersalaman untuk mengucapkan selamat.  Hatiku sudah bisa membaca apa yang dia pikirkan sekarang. Gurat kecewa terlihat jelas dari wajah polosnya, seperti menyesali diri “kenapa  hanya juara 2”,  gadis kecil ini yakin bahwa dia mampu juara pertama. Tetapi hari ini keberuntangan tak berpihak padanya. Itulah sepotong keseharian keluarga ini, kenyataan hidup yang harus mereka jalani dan bagaimana mereka menjalankan hidup dengan penuh semangat dan anak-anak yang merajut mimpi-mimpi mereka di rumah gubuk itu.

Cerita Lainnya

Lihat Semua