Tana’o Ngahi Mlaju (Belajar Bahasa Indonesia)

Slamet Riyanto 19 Mei 2013

Suatu hari saya pernah bertanya kepada murid kelas lima saat pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. “Anak-anak, Pa mau bertanya, di negera mana kalian tinggal?”. Entah mereka kurang mengerti dengan maksud pertanyaan atau memang benar-benar tidak mengerti, tetap kenyataanya  tidak sedikit dari mereka yang menjawab “di negara Baku Pa” dengan polosnya. Baku adalah dusun tempat tinggal mereka saat ini.  Pernah juga saya bertanya tentang di mana ibu kota Indonesia,siapa Presiden Indonesia, tetapi seringkali muncul jawaban-jawaban polos yang membuat kelas menjadi riuh, karena setiap anak memiliki jawaban-jawaban yang berbeda dan terkadang menimbulkan gelak tawa karena tidak jarang jawaban mereka tidak sesuai dengan apa yang saya tanyakan.

Bagi saya apapun jawaban mereka, ya itulah keluguan dan kemurnian pengetahuan yang sudah mereka miliki. Kondisi ini justru menjadi catatan penting bagi kita semua sebagai bagaian dari bangsa yang besar yaitu bangsa Indonesia. Beginilah kalau kita ingin jujur melihat potret Indonesia secara lebih dekat. Setengah abad lebih negera ini merdeka, tetapi tidak sedikit anak negeri ini yang belum mengenal ibu pertiwinya. Pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang” . Akibatnya tak jarang ada pertikaian antar saudara sebangsa dan setanah air, karena sebagian dari mereka yang tak mengenal negerinya sendiri. Apa arti Bhineka Tunggal Ika mungkin hanya sekadar slogan penyemangat hari-hari besar kenegaraan di kota-kota besar. Tetapi semangat dan pesan para pendiri negeri ini masih belum mampu menyelusup hingga plosok karena terbentur tembok kebodohan dan kemiskinan.

Salah satu sarana agar kita mampu mengenal negeri dan saudara kita dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga pulau Rote adalah melalui bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Mungkin anak-anak ku disini belum pernah membayangkan sebelumnya ketika besar nanti mereka bisa keliling ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua. Satu-satunya tempat termegah (terkota) yang ada dibayangan mereka mungkin hanya Sumi yaitu Kelurahan yang berjarak hampir 2 jam perjalanan dari dusun yang mereka diami sekarang. Disinilah tempat mereka bisa bersosialisasi serta membeli kebutuhan apapun yamg mereka mau. Bahasa ibu yang sangat kental sebagai bahasa pergaulan yaitu bahasa Bima membuat banyak anak yang belum bisa berbahasa Indonesia. Ditambah lagi dengan kondisi geografis dusun yang sulit dijangkau, belum ada listrik, serta minimnya sinyal telekomunikasi membuat informasi dunia luar enggan menyentuh masyarakat dusun ini.

Kondisi ini membuat kita sebagai guru harus membiasakan siswa-siswa kita untuk berbahasa Indonesia minimal pada saat kegiatan belajar mengajar di sekolah. Sehingga sebagai pendatang saya juga harus berusaha keras tana’o nggahi Mbojo (belajar berbahasa Bima). Karena dengan tahu bahasa merekalah, saya akan lebih mudah mengajari mereka berbahasa Indonesia. Keseharian saya yang tidak terlepas dari anak-anak mulai dari sekolah, les, ngaji, dan tidur membuat saya tidak terlalu sulit untuk mulai mengetahui bahasa mereka meskipun dari kata demi kata. Modal inilah yang saya gunakan untuk mengakrabkan diri dengan anak-anak sehingga mereka tidak canggung lagi bertanya atau bahkan sekadar menyapa ketika bertemu di jalan.

Setiap hari adalah belajar. Nahu tana’o nggahi Mbojo la ana mori nahu tan’o nggahi mlaju (saya belajar bahasa Bima dan anak murid saya belajar bahasa Indonesia). Selain melalui lewat kegiatan keseharian, ada beberapa cara yang cukup efektif untuk meningkatkan kosa kata yaitu melalui media filem dan TV. Sehingga paling tidak sebulan sekali kita mengadakan acara nonton filem bareng. Cerita seperti Denias dan Laskar Pelangi menjadi filem favorit mereka, selain menambah kosa kata berbahasa Indonesia juga dapat memberikan suntikan motivasi belajar. Akan tetapi kondisi ini seringkali terkendala dengan ketiadaan sumber listrik, sehingga saya harus ke kota kecamatan terlebih dahulu untuk mencharge laptop. Keberadaan TV di sinipun cukup unik, karena di satu dusun hanya satu orang yang memilikinya. Dengan sumber listrik dari generator, membuat masyarakat hanya bisa menonton TV di malam hari dari jam 18.00-23.00 WIB dengan membayar Rp. 1000,- untuk dewasa dan Rp. 500,- untuk anak-anak.

Meski dengan segala keterbatasanya, keberadaan TV di dusun ini mampu menghibur masyarakat dari kepenatan berladang seharian. Sehingga tidak heran ketika habis magrib, terdengar riuh suara masyarakat yang sedang berjalan menuju rumah dimana TV berada. Jarak yang jauh hingga 1 km pun tak menyurutkan niat mereka nonton TV. Jangan ditanya bagaimana ketika sedang tidak punya uang, maka tidak sedikit dari mereka yang membawa hasil ladang untuk ditukar dengan kesempatan menonton TV malam itu. Pada akhirnya saya bisa merasakan salah satu manfaat menonton TV di daerah terpencil seperti ini. Pilihan channel TV yang terbatas mempermudah kita untuk mengontrol acara yang layak untuk anak-anak. Dan yang terpenting adalah mereka dapat belajar bahasa indonesia dengan menyenangkan.

Dalam perjalananya seringkali kulihat betapa anak-anak berusaha keras untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan saya. Tak jarang kutemui kejadian lucu yang membuatku semakin semangat untuk belajar bersama mereka. Suatu siang ketika saya sedang merencanakan untuk pergi ke pantai bersama anak-anak, seorang anak bertanya kepada saya “Pa ...Au (apa)..au..di Jawa ada Pantai?” tanya Baija dengan suara terbata-bata sambil mencari kosa kata. Maka dengan tanggap sayapun langsung menjawab “Ada Baija, tetapi lebih bagus pantai di sini karena masih bersih?”. Kemudian seorang anak bernama Erwin bertanya dengan pertanyaan yang membuat saya hening sejenak “Pa..au, di Jawa ada Pantai Asuhan?”. Merasa tak pernah mendengar nama pantai itu, sayapun langsung tersadar kalau yang dimaksud Erwin adalah Panti Asuhan bukan Pantai Asuhan. Kejadian lucu juga sering terjadi ketika mereka menjawab pertanyaan ujian. Ada sebuah pertanyaan di UAS Agama Islam, “Di kota manakah Surah Al-Lahab diturunkan?”. Dan hampir semua siswa menjawab di Kota Bima.

Begitulah semangat yang ditunjukkan siswa-siswa SDN Inpres Baku untuk belajar bahasa Ibu Pertiwi mereka. Memang cukup sulit tantangan hidup mereka untuk dibahasakan, tetapi saya yakin suatu saat nanti mereka akan mampu membahasakan mimpi-mimpinya untuk memajukan negeri ini. Semangat anak-anakku, Ibu Pertiwi tak kan rela meninggalkanmu....”Au nggahi Mbojo Semangat?”


Cerita Lainnya

Lihat Semua