info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Semalam Bersama “Cinta Manis”

Slamet Riyanto 18 Mei 2013

Berliku, berbatu jalan menuju Baku. Mungkin karena akses jalan yang sulit inilah Baku dikatakan sebagai daerah terpencil. Maklum saja untuk mencapai dusun ini membutuhkan waktu hampir 1,5-2 jam perjalanan dari desa kelurahan menggunakan ojek ataupun truk bambu. Baru sekitar tahun 2005 dibuka akses jalan menuju dusun ini oleh dinas Transmigrasi. Sebelumnya masyarakat harus berjalan kaki melewati pegunungan dan perbukitan untuk mencapai dusun ini, tentu saja dengan waktu yang lebih lama yaitu hampir setengah hari perjalanan. Dibukanya jalan ini seharusnya dapat mempermudah masyarakat menuju dusun ini. Akan tetapi sarana transportasi yang tidak tersedia kini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat. Ongkos ojek yang begitu mahal yaitu sekitar  Rp 50.000 sekali jalan membuat masyarakat tidak punya pilihan untuk menggunakan truk bambu yang ada 3 kali seminggu, itupun ketika musim bambu. Ketika musim bambu berakhir ataupun musim hujan tiba bahkan tidak ada satupun truk yang menuju dusun ini. Sehingga yang menjadi pilihan masyarakat adalah jalan kaki atau tidak pergi ke mana-mana.

 Kedatangan truk pengambil bambu ataupun pengangkut bawang ketika musim bawang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat yang ingin ke kota untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau yang hanya sekedar bertemu sanak-saudaranya. Selain dapat mengangangkut banyak orang. Ongkos truk ini tidak ada tandinganya, yaitu gratis, jadi tidak masalah kalau kita mau turun membawa anggota keluarga dan barang sebanyak apapun. Soal kenyamanan jangan ditanya, duduk saling berdempetan di atas tumpukan bambu yang tinggi, tanpa sekat penjaga di sekeliling kita, serta jalanan yang rusak sangat memperbesar risiko seseorang untuk terjatuh terplanting ke tanah. Mungkin sakitnya tidak hanya sekedar memar, tetapi bisa patah tulang ataupun meninggal. Meskipun demikian, masyarakat tidak mau ambil pusing soal risiko yang akan mereka hadapi selama perjalanan, adanya truk yang mau mengangkut mereka saja sudah merupakan hal yang patut disyukuri. Berbekal tekad dan kehati-hatian mereka hampir setiap sore kecuali hari jumat (setiap hari jumat tidak ada truk yang naik ataupun turun), mereka beramai-ramai menunggu truk dirumah jaga, nampak seperti suasana halte bis antar kota.

Kejadian ini terjadi kira satu minggu setelah berada di daerah penempatan. Saat itu saya merencanakan turun ke kota bersama ibu angkat karena akan ada pelatihan di Kecamatan. Kami merencanakan untuk turun esok pagi, saya menggunkan ojek sedangakan ibu angkat saya berencana menggunakan truk. Karena merasa tidak ada banyak hal yang perlu saya persiapkan ,akhirnya sore itu saya pergi mengunjungi orang tua siswa untuk bersilaturahmi. Satu persatu rumah saya datangi, meskipun sebagian dari mereka sudah mendengar nama saya dari anak-anak, tetapi sebagian besar dari mereka belum pernah bertemu dengan saya. Maklum, jarak antar rumah yang jauh memmbuat interaksi dengan warga sangat minimal. Paling Tidak saya hanya memiliki 3 orang tetangga terdekat dari rumah tinggal saya. Setelah memperkenalkan diri, biasanya saya tidak terlalu bicara banyak karena sebagian masyarakat belum mengerti benar bahasa Indonesia. Waktupun semakin sore, saat berniat untuk pamit pulang, tiba-tiba seorang anak yang belum saya kenal benar berlari mendekati saya. Dengan menggunakan bahasa Bima dia menyuruh saya untuk segera pulang karena dipanggil ibu angkat, meski sedikit bingung dengan apa yang dia katakan tetapi, saya tahu apa maksudnya.

Tanpa pikir panjang saya langsung pulang ke rumah, jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WITA. Sesampainya dirumah saya lihat ibu angkat saya sedang sibuk mengemasi barang dengan kecepatan yang tinggi. “Ada apa Mama?” sayapun bertanya. “Ayo segera siapkan barang-barang yang mau kau bawa besok, selepas magrib kita turun mumpung ada truk, besok belum tetu ada” jawab Mama. Tanpa bertanya banyak lagi saya langsung menuju kamar dan mempersiapkan barang-barang yang akan saya bawa. Benar saja tidak butuh waktu lama setelah sholat magrib terdengar suara truk yang berhenti tepat di depan rumah kami. Ibu angkatkupun langsung berteriak, menyuruhku untuk keluar dengan membawa barang-barang bawaan.

Ternyata truk yang kami tumpangi kali ini adalah truk pembawa bawang. Tanpa dikomando sang pemilik bawang yang menyewa truk yang memiliki hak untuk duduk di depan langsung turun dan mempersilahkan kami berdua duduk didepan. Di dalam hati “Alhamdulillah, paling tidak malam ini aman karena duduk di depan”. Jika dibandingkan duduk di depan jauh lebih nyaman daripada dibelakang, ketika duduk di depan kita bisa duduk dan menyandarkan punggung di kursi yang empuk. Sedangkan kalau duduk dibelakang maka kami harus duduk bersama berton-ton bawang yang siap di jual.

Setelah beberapa saat akhirnya trukpun berjalan. Tak kencang memang, tetapi sangat berhati-hati jalan yang rusak akan tambah sulit dilewati ketika malam hari. Dinginya malam, gelapnya hutan, dan lebatnya semak belukar gunung di hantam oleh truk dengan pasti. Hingga di tengah perjalanan tiba-tiba rasa panas menyerang pantat kami berdua yang duduk di depan.  Asapun tiba-tiba mengepul dari bawah kursi. Merasa kondisi ditakutkan membahayakan akhirnya, ibu angkatpun berteriak-teriak dan meminta sopir menghentikan truknya. Akhirnya trukpun berhenti ditengah-tengah hutan yang yang dipenuhi dengan semak belukar di inggir jalan yang kami lewati. Sopirpun memeriksa mesin, penumpang di ataspun bergegas turun dan segera mencari batu penahan truk. Suasana panikpun masih terasa, hingga akhirnya mesin truk dimatikan dan sopir berkata bahwa ada mesin yang rusak sehingga perjalanan tidak dapat dilanjutkan. Kini suasana hening yang tercipta, suara hewan-hewan malam menemani kegalauan kami yang sedang mencari solusi jika kami tidak ingin menunggu hingga esok pagi di hutan ini.

Singkat cerita kami berdua akan di jemput mobil dari kecamatan yang mungkin baru bisa datang 5 jam lagi. Saat itu jam sudah menunjukkan jam 7 malam, artinya kami baru bisa turun sekitar jam 12 malam. Sembari menunggu hujan tiba-tiba datang, seperti layaknya penyambutan tamu dari luar, hujan nampaknyapun tak mau ketinggalan menyambut kami. Meski masih musim kemarau, hujan tiba-tiba mengguyur kami yang kelelahan. Tak tahu dimana kami harus berteduh, akhirnya kami putuskan untuk berteduh dibawah truk. Sungguh sensasi yang luar biasa, berteduh tanpa ketenangan sedikitpun. Ingin rasanya tidur sejenak melepas lelah, tapi apa daya ancaman mobil yang tiba-tiba berjalan, ataupun binatang buaspun bisa kapan-kapan terjadi. Tak seberapa lama akhirnya hujanpun reda. Sejenak membaca buku yang kebetulan saya bawa, akhirnya saya disuruh sang sopir untuk istirahat di atas mobil. Ketika mau naik mobil terlihat tulisan di kaca depan truk yang baru saya sadari “Cinta Manis” begitulah bunyi tulisanya. Ehh.. kata-kata yang sungguh-sungguh menghibur hati yang gundah gulana. Sesuatu yang kita dasari dengan cinta pasti akan berbuah manis, begitulah pikiran ini memaknai tulisan itu secara liar. Mungkin sang empunya truk mempunyai makna tersendiri soal tulisan itu, tetapi tidak ada rasa sedikitpun dalam hati  saya untuk bertanya. Rasa capek mendorong diri untuk segera tidur bersama si “Cinta Manis”. Semoga hanya malam ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua