Pendidikan Sebagai Kunci Pembangunan yang Berkelanjutan

Herry Dharmawan 13 Mei 2013

 

Jika ingin menetap selama 6 bulan ke depan, tanamlah padi

jika ingin menetap selama 10 tahun ke depan, tanamlah pepohonan

Jika ingin menetap selama 100 tahun kedepan, didiklah generasi

_Pepatah cina_

 

Alkisah di sebuah desa yang konon miskin dan terbelakang terdapatlah sebuah sekolah tua yang hampir rubuh. Ketika musim penghujan datang anak-anaknya harus merelakan kelas ditunda karena atap-atap sengnya yang bocor tak mampu menahan rembesan air, pun ketika musim kemarau datang hawa panas dalam ruangan membuat para siswa harus berkipas sembari mendengarkan pelajaran. Sebagian besar orangtua muridnya adalah kuli-kuli dari sebuah perusahaan yang hanya mengerti cara mengeruk keuntungan dari bumi mereka tanpa memperdulikan kesejahteraan para pekerjanya. Walhasil desa tersebut terus menerus berada dalam kondisi mengenaskan.

Namun sebuah harapan mulai tumbuh bak kecambah di musim hujan ketika siswa di sekolah miskin tersebut mampu memenangkan sebuah perlombaan cerdas cermat tingkat kecamatan. Masyarakat kini mulai percaya bahwa anak-anak desa tersebut tidak kalah pintar dibanding mereka yang di kota. Sedikit demi sedikit para muridnya berani bermimpi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Jika pada awalnya masa depan yang terbayang di benak mereka hanyalah menjadi kuli, kini mereka mulai berani bermimpi untuk berkuliah di luar negeri. Mimpi-mimpi itu pun terus dirawat dengan penuh kasih sayang oleh guru-guru yang meskipun hidup miskin namun penuh dedikasi.

Bermimpilah dan biarkan Tuhan memeluk mimpi-mimpimu” adalah sebuah dorongan dahsyat yang pada akhirnya membawa seorang anak dari desa miskin tersebut untuk mampu menaklukan segala keterbatasan hingga kemudian berdiri di altar terhormat pendidikan, Sorbonne University di negeri Prancis. Tergerak dari pengalamannya akhirnya sang anak memilih untuk mengabadikan semua kisah hidupnya dalam rentetan karya sastra. Tak disangka karyanya mendapat apresiasi luar biasa, hingga kemudian diangkat menjadi sebuah film yang hingga saat ini masih menjadi fenomena. Semenjak itu semua orang berlomba-lomba mengunjungi desa tempat sang penulis mendapatkan inspirasi atas karya novelnya yang luar biasa.

Cerita tadi adalah secuplik kisah nyata dari seorang anak bernama Andrea Hirata, penulis best-seller dari Tetralogi Laskar Pelangi. Desa terbelakang tersebut adalah Desa Gantong di Kabupaten Belitung, yang kini menjadi daerah yang tak terbendung kemajuannya. Semenjak meledaknya keberhasilan Tetralogi Laskar Pelangi ditambah lagi dengan filmnya yang mampu mengeskpos keindahan alam yang mempesona, kini masyarakat setempat ikut menikmati royaltinya dengan kemajuan yang mengagumkan. Jalan-jalan dibangun, rumah-rumah diperbaiki, objek wisata diperindah, pendapatan masyarakat bertambah dan meningginya perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah.

Cerita tadi merupakan merupakan bukti nyata dari pepatah Cina yang penulis kutip diawal. Bahwa pendidikan dapat menghasilkan buah yang lebih manis dan berkepanjangan dibandingkan dengan menanam sebuah pohon semata.

Kini jika kita bercermin dari kabupaten kita tercinta, Kapuas Hulu memiliki luas wilayah melebihi gabungan provinsi Banten dan DKI Jakarta. Dengan segudang kekayaan alamnya, tersimpan potensi yang begitu besar untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Sebut saja sektor perikanan dimana setiap tahunnya hasil panen melimpah hingga ribuan ton. Sektor pariwisata dimana tak kurang dari 40 obyek wisata tersebar dengan segala daya tarik alam dan budayanya. Ditambah bonus demografi dimana jumlah penduduk usia produktif mendominasi sekitar 78% dari keseluruhan penduduknya.

Namun ada kejanggalan yang tak dapat kita abaikan. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Indonesia, kabupaten Kapuas Hulu masih menempati salah satu urutan terbawah dalam hal kesejahteraan dan kemerataan tingkat pendapatan. Tidak jarang kita merasakan adanya paradoks “kutukan sumber daya” dimana dengan semakin berlimpahnya kekayaan alam justru mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Melimpahnya kayu berkualitas justru menyuburkan pembalakan hutan, tersedianya kekayaan tambang justru membawa limbah dan bencana mematikan, besarnya jumlah penduduk justru menghasilkan kemiskinan dan pengangguran. Lantas apa yang salah selama ini?

Rasanya bukan ranah penulis untuk mencari-cari kesalahan, lagipula mencari-cari kesalahan bisa jadi hanya akan menambah pelik permasalahan. Bagi kita yang percaya bahwa selalu ada harapan, penulis yakin masih ada sebuah kata yang harus bersama-sama kita perjuangkan, PENDIDIKAN. Merupakan sebuah keniscayaan bahwa pendidikan mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Merupakan kenyataan tak terbantahkan bahwa seiring peningkatan kualitas pendidikan maka tingkat kesejahteraan dan kemakmuran akan meningkat meskipun perlahan. Setidaknya itulah yang berhasil dibuktikan oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hingga tepatlah apa yang dikatakan Bapak kemerdekaan Afrika Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon we can use to change the world”.

Maka jika kita biasanya berputar-putar pada sektor ekonomi dan keuangan dalam menyelesaikan masalah pembangunan, maka tidak ada salahnya kita mulai untuk mengawali semua itu dari ranah pendidikan. Jika kita biasanya menginvestasikan uang dengan membeli emas atau tanah perkebunan, tidak ada salahnya untuk buku-buku dan fasilitas belajar kita alokasikan.

Meskipun masih banyak permasalahan yang belum kita selesaikan, meskipun masih panjang perjalanan menuju kesejahteraan. Namun kita semua percaya bahwa menyalakan lilin harapan selalu lebih baik daripada sekedar mengecam kegelapan. Mutlak diperlukan kerjasama semua pihak untuk bersama-sama menjaga bara api lilin harapan. Karena masalah pendidikan bukan hanya tugas pemerintah yang diwakilkan oleh bupati atau dinas pendidikannya saja, namun pendidikan adalah tugas semua orang yang terdidik.

Selamat hari pendidikan!


Cerita Lainnya

Lihat Semua