Tiada Mawar Hampiri Kumbang

Siti Soraya Cassandra 10 Juli 2012

Datang ke desa yang penuh pemalu sangatlah menantang. Mereka suka melirik ke arahku. Mereka suka memperhatikan semua gerak-gerikku. Mereka suka menaburkan senyuman manis mereka. Namun mereka terlalu malu untuk mau berbincang denganku.

They come to my house.

They sit on the front porch.

They stare in amazement.

And they are silent.

Begitulah keadaan anak-anak di desa ini.  Pemalu dan lucu. Begitu menggemaskan.

Terkadang saat aku ajak mereka berbicara, mereka hanya melototiku. Tidak ada balasan apa-apa. Seperti aku berbicara pada udara.

Aku hampiri mereka, aku berjongkok di depan mereka sehingga aku sejajar atau lebih pendek dari mereka. Aku ulangi perkataanku. Dan mereka tertawa lalu kabur.

Yak, kabur. They ran away!

Sungguh, tiada mawar hampiri kumbang.

Maka hari berikutnya, aku coba cara lain.

Sekolah belum dimulai. Aku belum berinteraksi dengan mereka secara intensif. Ditambah lagi, anak-anak disini begitu sibuk. Mereka sibuk menemani orang-tua ke kebun, membantu mencuci di sungai, atau membantu dengan pekerjaan rumah lainnya.

Walau begitu, ada satu hal yang selalu dapat dipastikan. Anak pasti juga sibuk bermain. Di sore hari, mereka pasti bermain.

Aha!  Inilah kesempatan emasku untuk mendekatkan diri dengan anak-anak desa.

Aku awali dengan meminta Risal untuk mengumpulkan Laskar Penimba Airku. Waktu awal aku datang di desa ini, aku belum boleh kemana-mana sebelum didoakan oleh Tuan Tanah. Pada saat itu, aku meminta tolong beberapa anak untuk membantuku menimba air ke sumur. Disitulah terkumpul anak-anak yang kuberi gelar Laskar Penimba Air.

Karena sekarang aku sudah menerima doa dari Tuan Tanah, aku bisa pergi menimba air sendiri. Bersama Laskar Penimba Air, kami meluncur ke sumur. Dengan penuh semangat, kami semua membawa ember dan botol-botol besar bekas minyak untuk mengangkut air.

Setelah kegiatan menimba air ini usai, aku umumkan kepada semua anak-anak bahwa aku akan lari sore. Aku ajak mereka untuk ikut dengan satu syarat, yaitu harus mengenakan sepatu. Tidak boleh telanjang kaki atau memakai sendal jepit. Alasannya sederhana, di desa ini jalannya berbatu dan kaki akan mudah terluka atau terkilir jika tidak mengenakan sepatu.

Dalam hitungan beberapa menit saja, sekitar lima belas anak hadir di depan rumahku, siap untuk lari sore. Aku pun kaget, begitu cepatnya mereka mengenakan sepatu mereka. Bersama kita berkumpul di lapangan besar di depan Gereja desa dan kami melakukan pemanasan disana. Karena hari sudah terlalu sore, terpaksa pemanasan dipotong. Sesungguhnya aku ingin mempraktekkan pemanasan ala Pelatih Kosasih, pelatih Pengajar Muda di Kopassus kemarin. Namun sepertinya pemanasan itu harus disimpan untuk lain hari.

Setelah pemanasan, kami lari mengelilingi desa. Aku gaungkan lagu “Otobemo” yang kupelajari dari Pak Haji, pelatih lain dari Kopassus, dan kuajarkan lagu itu kepada anak-anak desa ini. Ternyata ada beberapa anak disini yang sudah mengetahui lagu itu. Bersama kami nyanyikan lagu itu selama berlari.

Begitu senangnya mereka, dan begitu girangnya diriku mendengar lagu itu dinyanyikan dengan aksen khas Maluku Tenggara Barat.

Dan dengan semudah itu, dinding yang awalnya menghalangiku dan anak-anak desa ini jatuh hancur.

Kumbang menghampiri mawar dan mengajaknya bermain, berkeringat dan bernyanyi.

The best ice breaking ever!


Cerita Lainnya

Lihat Semua