Gempa. Tsunami. Gunung.

Siti Soraya Cassandra 4 Agustus 2012

Sedang asik-asiknya duduk bersama salah seorang guru TK, kami tiba-tiba melihat warga-warga desa lari menuju SD dan berteriak, “Tsunami, tsunami, lari ke gunung!”

 

Mama-mama semua mulai ribut mencari anak-anak mereka. Para orang-tua sudah menggendong anak-anak balita, siap untuk mendaki gunung, mencari tempat yang lebih tinggi.

Saya pertama-tama hanya bengong saja. Hah? Tsunami? Beberapa detik kemudian, Risal yang tadinya sedang bermain bola di sekolah dengan Ape, Niko, Sole, Unu, dan anak-anak SD lainnya, datang menghampiri saya dan bertanya, “Ibu, ada apa? Kenapa semua orang berlari menuju gunung?”

Saya jawab, “Ibu juga seng tau. Mereka teriak-teriak tsunami sa. Ayo kita cari Mama dulu.”

Lalu kami berdua lari ke dalam desa untuk mencari Mama Ola. Setiba di depan rumah, Mama Ola sudah memeluk erat sebuah jaket dan berjalan menuju arah kami. Langsung saya tanya, “Ada apa Mama?”

Mama Ola menjawab, “Ada gempa Nak. Jadi Mama di luar cari Nona dan Risal mo.”

Hah? Gempa?

Langsung saya bertanya, “Gempa? Gempa apa Mama?”

Mama Ola menjawab, “Barusan saja Nak ada gempa. Mama sedang duduk di atas teras lalu gempa dan begoyang toh. Langsung Mama turun, ke rumah ambil jaket ni dua saja dan cari Nona dan Risal.”

“Beta seng merasa ada gempa. Tadi beta sedang duduk di dekat SD, seng ada goyang sama sekali,” ujar saya. Risal menambahkan, “Iya Mama, beta ada main bola di lapangan SD seng tau apa-apa, tiba-tiba orang banyak lari semua.”

Setelah itu saya hanya melihat sekitar saya sambil berfikir. Memang sepanjang minggu ini, banyak warga desa, termasuk anggota majelis jemaat, kades, dan para guru, yang memberitahu seluruh warga desa beserta anak-anak untuk siap siaga akan adanya tsunami. Saya tidak sepenuhnya mengerti kabar ini datang darimana, tetapi sepertinya semua orang percaya akan kemungkinan datangnya tsunami di desa ini. Karena berita ini sudah digaungkan selama berhari-hari, wajar saja jika masyarakat menjadi cepat panik ketika ada sedikit rasa gempa.

Untuk saya pribadi, saya belum mendapat berita mengenai hal ini sedikitpun. Karena desa tidak berlistrik, tv pun tidak bisa menyala. Baru di detik ini saja (sekarang saya sedang memasukkan tulisan ini di blog IM), saya membaca berita tentang gempa 5,0 SR yang menggoncang Ambon pada tanggal 21 Juli lalu. Namun diberitakan bahwa gempa ini tidak berpotensi tsunami. Sepengetahuan saya mengenai gejala-gejala tsunami, tidak ada tanda-tanda tsunami sedikitpun di desa. Gempa tidak besar, air tidak surut ke dalam, tidak ada burung-burung yang berterbangan menuju gunung, tidak ada ikan-ikan yang terdampar di pantai sedikitpun, maka tidak akan ada  tsunami. Saya berharap ini sudah cukup sebagai tolak ukur.

Setelah mendengar cerita-cerita dari masyarakat lainnya, sepertinya memang sempat ada gempa yang terjadi di dalam desa. Mengingat bahwa desa ini sangatlah kecil, gempa yang tidak terasa sampai ke SD berarti tidak terlalu membahayakan (insyaallah).

Beberapa menit berlalu dan keadaan kembali tenang. Bapak-bapak dan para pemuda mulai mengerjakan pembangunan saluran air kembali. Mama-mama sudah mulai masuk kembali ke dalam rumah dengan anak-anak kecil dan cucu-cucu mereka. Anak-anak perempuan yang sudah menangis serta anak laki-laki yang bermuka tegang dengan sekejap kembali tenang. Keadaan kembali seperti semula. All is well.

Dari ini semua, satu hal yang jelas. Ternyata mendengar kata tsunami di Jakarta dan mendengarnya disini memberi detak yang berbeda pada jantung. It is quite a thrill actually...  


Cerita Lainnya

Lihat Semua