Beginilah kehidupan katong

Siti Soraya Cassandra 4 Agustus 2012

Pagi.

Setiap pagi, para orang tua pergi ke kebun. Mereka memetik hasil panen kebun mereka untuk dimakan sekaligus mencari kayu bakar di hutan. Ada yang melakukan ini secara berpasangan, ada juga yang pergi secara terpisah, suami di pagi hari lalu istri di sore hari. Ini mereka lakukan setiap hari, dari pagi sampai sore.

Ada juga yang tidak pergi ke kebun. Mereka biasanya membantu proyek yang sedang dikerjakan di desa. Sekarang proyek itu adalah pembangunan saluran air. Bapak-bapak, tua muda, dan para pemuda desa turun tangan langsung dalam membangun saluran air. Di desa ini ada enam unit dan setiap unit mempunyai kelompok pekerja masing-masing.

Pada hari Senin sampai Sabtu, anak-anak tentunya pergi ke sekolah. Sebelum ke sekolah, anak-anak biasa menimba air di sumur untuk mandi. Sedihnya tidak semua anak bersekolah. Ada yang sudah daftar tetapi hampir tidak pernah datang ke sekolah dan ada juga yang sudah putus sekolah akibat tidak naik kelas atau karena kekerasan guru yang dianggap melampaui batas. Setidaknya masih ada yang pergi ke sekolah, ini harus disyukuri.

Di desa ini tidak ada yang menggunakan jam. Maka siswa hanya menebak-nebak saja kapan mereka harus ada di sekolah. Guru-guru pun sama saja. Walau di rapat dikatakan harus hadir pukul 7:00, kenyataannya guru-guru baru hadir sekitar pukul 7:30 atau bahkan ada juga yang datang pukul 8:00. Murid-murid kebanyakan juga hadir sekitar pukul 7:30. Terkadang ketika saya sudah berjalan menuju sekolah dari rumah, anak-anak masih menimba air, belum mandi. Sepertinya patokan mereka soal waktu adalah warna langit dan cuaca. Ya selebihnya menebak-nebak saja.

 

Siang.

Orang tua banyak yang belum pulang dari kebun. Para istri-istri muda biasanya duduk di teras dan bercengkrama. Istri-istri muda ini biasanya duduk berpangkuan dan menyisir rambut satu sama lain sambil bercerita. Sedangkan para suami muda, mereka masih sibuk membantu pembangunan saluran air.

Siang hari anak pulang sekolah. Mereka mengganti baju dengan pakaian main atau pakaian rumah, lalu mereka bermain. Sedikit sekali yang belajar. Mereka langsung bermain di sekitar desa. Ada yang bermain di dalam desa, di pantai, atau di lapangan SD. Mau seberapa sering diingatkan untuk belajar, mereka sulit sekali belajar.

Beberapa anak yang rajin biasa datang ke rumah dan minta les. Hal ini sangat mengesankan. Baru saja saya tiba di rumah, mereka sudah di depan teras, duduk manis atau terkadang tidak manis, untuk minta les. Akhirnya di siang hari pun kita les, beberapa anak saja. Les matematika dan les baca.

 

Sore.

Sore hari tiba, anak-anak mulai ramai di pantai. Biasa, mereka lempar batu, mereka perang. Ada juga anak-anak yang bermain bola di depan gereja. Selalu seperti ini, saya sudah hafal betul. Sekitar pukul 17.30, saya lopas bersama anak-anak.

Di sore hari, bapak-bapak dan para pemuda masih sibuk dengan pembangunan saluran desa. Ini mereka kerjakan sampai jam 19.00 kurang. Disini jam 18.45 baru gelap. Ya, mereka benar-benar kerja dari pagi sampai sore sekali. Tidak heran tenaga mereka semua kuat seperti badak. Tidak heran juga para mama semua kuat, karena mereka ikut membantu mengangkat pasir dan batu-batu kecil untuk mendapat upah.

Untuk yang pergi ke kebun, setiba kembali di desa, Bapak-Bapak pergi mengail atau bahkan melaut untuk mencari ikan. Para Mama memasak dan bersih-bersih di rumah dan terkadang mereka juga pergi ke sungai untuk mencuci. Mereka juga menimba air, walau terkadang ini dilakukan oleh anak-anak mereka. Banyak sekali pekerjaan fisik yang mereka lakukan.

 

Malam.

Malam hari tiba, suasana pun berubah. Angin kencang, udara dingin. Namun suasana tidak ditentukan oleh cuaca. Suasana bergantung pada ketersediaan listrik. Jika ada listrik, suasana desa hidup. Terdengar lagu-lagu melayu dan lagu-lagu Tanimbar dari rumah-rumah. Rumah yang memiliki televisi menggaungkan acara-acara sinetron yang mereka tonton dan warga desa ramai berkumpul di rumah-rumah itu. Rumah-rumah yang tidak berlampu biasanya hanya diterangi oleh satu-dua pelita. Namun hal itu tidak penting karena semua orang yang tinggal di rumah itu pasti berada di rumah warga lain yang berlistrik. Para pemuda biasa ditemukan duduk di teras-teras rumah dengan sarung mereka dan bercengkrama sampai larut malam. Anak-anak biasa duduk menonton tv, sedikit sekali yang belajar, sedikit sekali orang tua yang mengingatkan.

Jika tidak ada listrik, suasana desa sunyi sepi. Tidak ada suara sedikitpun. Kebanyakan warga desa hanya di rumah masing-masing dan beristirahat. Satu-dua pelita yang menyala. What else is there to do?

Beberapa anak tetap datang ke rumah dan minta les atau belajar atau sekedar berkumpul. Biasanya saya becerita dan melihatkan foto-foto kota, foto-foto peta, atau gambar apapun yang bisa membuka wawasan mereka. Suatu ketika, sekitar 10 murid datang dan kita membahas barang-barang yang saya punya satu per satu, seperti lotion, tetes mata, softlense, dan kacamata. Ternyata banyak mereka yang tau, banyak juga yang tidak. Ketika saya mengangkat sikat gigi, banyak yang tidak mengetahui itu benda apa. Ternyata banyak sekali di desa yang tidak menyikat gigi. Karena tidak punya uang untuk membeli sikat gigi, mereka tidak pernah menyikat gigi mereka. Menggunakan shampo pun tidak, apalagi sikat gigi.

 

Beginilah kehidupan di desa sehari-hari. Aktivitas seperti ini berulang-ulang saja. Namun hidup sederhana ini menyenangkan dan menenangkan. Segala pikiran yang berlebih hilang, semua santai, semua damai.

 

Pagi.

Siang.

Sore.

Malam.

Berlalu, penuh makna.


Cerita Lainnya

Lihat Semua