info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

1, 2, 3, 4, 5, loh mana 6?

Melissa Tuanakotta 9 Juli 2012

Liburan telah usai, semangat baru pun kembali muncul. Aku datang kembali ke satu tempat yang dipenuhi oleh seragam putih merah.

“Bu Melissaaaaaaaaaaa”

Seperti biasa, teriakan anak-anak yang menyambut kedatanganku. Seketika semua berhamburan menuju kelas masing-masing. Tapi aku melihat ada banyak orang tua yang berkumpul di lapangan sekolah. Ternyata mereka mengantar murid-murid yang akan masuk ke kelas 1 di tahun ajaran baru ini. Lucu sekali mereka, kecil, bingung, liat kanan liat kiri, bahkan menangis di dalam kelas.

“Bu Melissa aku kangeeeeen!” ujar Adi si suara emas lari sambil berteriak lalu memelukku.

Aku masuk ke kelasku yang biasanya, tapi pemandangan aneh kudapatkan. Kenapa aku tidak melihat Wayan, Fahim, Rio, Beni, Rizal, Adi, Evi, Jumi, Desi, Ida, Siti, dan Ayu? Aku malah melihat anak-anak yang aku kenal mereka di kelas 3. Aku lupa 12 anak muridku itu sudah naik ke kelas 6, kelasku itu menjadi ruangan kelas 4, dan kelas 5 yang sekarang menempati kelas yang ukurannya paling besar karena jumlah muridnya cukup banyak. Aku segera membawa barang-barangku ke kelas yang baru, dan aku mendapati murid-murid yang sudah duduk manis.

Mereka berjumlah 28, wooow hampir dua kali lipat dari kelasku yang sebelumnya. Hal yang pertama yang aku lakukan adalah menyusun bangku, menyiapkan peraturan kelas, dan memilih ketua kelas.

Aku menamakan kelas ini sebagai kelas Bintang. Kenapa? Karena bintang memiliki lima sudut yang melambangkan kelas 5, bintang berada di angkasa sehingga aku ingin murid-muridku nanti memiliki cita-cita yang tinggi, dan bintang bersinar di tengah kegelapan malam di mana aku sangat berharap mereka bisa terus bersinar walaupun sedang berada di dalam situasi yang sulit sekalipun. Murid-muridku senang dengan nama kelas yang aku berikan.

Aku melihat semangat yang tinggi dari mereka, maklumlah tahun ajaran baru. Selain itu murid-murid aku yang sekarang ini adalah mereka yang sering sekali menyusup ke kelasku yang terdahulu dan mengintip dari balik jendela karena ingin melihat aku mengajar. Mereka selalu ingin aku menjadi wali kelasnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah mereka menginginkan orang yang tepat untuk membimbingnya? HAHAHAHAHA.

Ketika aku sedang mengatur kelas dan mengakrabkan diri dengan teman-teman baruku ini, aku seolah melihat pemandangan yang sama dengan hal yang barusan. Lagi-lagi ada anak yang menyusup masuk ke kelasku dan jendelaku dipenuhi oleh anak-anak yang menonton. Saat itu aku ingin berkata, “teman, percayalah aku ini bukan kuda nil yang biasa kalian lihat di kebun binatang.” Mereka ini adalah 12 muridku yang terdahulu yang sudah naik ke kelas 6. Aku melontarkan senyuman kepada mereka.

Sekolah aku ini hanyalah sekolah lokal jauh yang menginduk kepada sekolah negeri. Guru yang mengajar pun hanya 3 (ditambah aku jadi 4, tapi kalau aku dihitung dua jadi 5) dengan status guru honorer. Bangunan sekolah pun bisa dibilang darurat. Karena keterbatasan itu semua sekolah ini hanya ada sampai kelas 5, tidak ada kelas 6. Melihat kondisi ini, aku pun berusaha untuk mengadakan kelas 6 di sekolah ini.

Seorang temanku memberikan sumbangan buku pelajaran untuk kelas 6. Setelah buku terpenuhi, aku pun mengajukan permohonan untuk diberikan seorang guru tambahan ke sekolah ini. Perjalanan untuk mencapai ini semua seakan penuh liku, ada yang pro dan ada yang kontra. Bahkan pernyataan kontra yang didapat berasal dari mereka yang statusnya sudah diakui negara, yang notabene mereka seharusnya bersedia untuk ditempatkan dimanapun tidak pilih-pilih. Tapi dengan berbagai fakta yang berada di lapangan, permohonanku ini dikabulkan ketika diadakan rapat dengan seluruh guru dan kepala sekolah pun akan mengirim satu guru PNS untuk mengajar di kelas 6 sekolah lokal jauh. Setelah keputusan diambil, maka secara swadaya sekolah lokal jauh ini segera membeli meja kursi yang baru.

Rapat ini diadakan 2 bulan sebelum libur sekolah. Sehingga, semustinya aku tidak lagi melihat 12 anak muridku datang menyusup masuk ke dalam kelasku dan mengintip dari balik jendela. Semustinya sudah ada guru yang datang dan memberikan ilmu kepada mereka. Ibarat kata hanyalah manis di bibir mengungkap kata, segala hasil rapat tempo hari tidak ada yang direalisasikan. Ketidaktegasan seorang pemimpin menjadikan ini semua seolah-olah isapan jempol belaka, memberikan harapan kepada 12 anak untuk tetap bersekolah di tempat mereka mendapatkan ilmu sejak kelas 1. Tidak ada guru baru dan tidak ada yang mau.

Ketika aku konfirmasi kembali, pihak sekolah induk pun menyarankan untuk mengungsikan 12 anak tersebut ke sana. Sebenarnya ini bukan masalah hanya ada 12 anak di kelas 6, tapi ini adalah rencana jangka panjang. Karena angkatan-angkatan berikutnya sudah mulai banyak muridnya.

Aku teramat sedih melihat pemandangan ini. Rasanya aku tidak punya kepercayaan diri untuk bertemu dengan anak muridku itu. Tapi justru itu hanya akan melukai hati mereka, sehingga aku pun keluar kelas dan menemui mereka.

“Buk, ko kita tidak ada gurunya sih Buk?” kata Wayan.

“Iya, belum ada keputusan dari sekolah induk siapa yang akan mengajar di sini”

“Buk, apalah arti buku baru, meja dan kursi baru, jika tidak ada guru yang mengajar,” kata Ayu.

“Buk, kelas Ibuk masih ada ruang kosongnya, boleh kitaa masuk ke sana?” kata Rio.

“Buk, kalau tau seperti ini ceritanya aku lebih baik tidak usah naik kelas. Biar aja aku berada di kelas 5 menjadi muridnya Ibuk,” kata Wayan.

Yang lain hanya diam dan memandangku.

Mendapat rentetan pertanyaan dan pernyataan seperti ini membuat aku sedih.

“Teman- teman, mulai besok kalian mengungsi ke sekolah induk yah,”

“Buk, aku harus bagaimana pergi ke sananya?” kata Fahim.

Mengapa diadakan sekolah lokal jauh? Karena tempat tinggal anak-anak ini sangat jauh dari SD induk. Bahkan dari pengamatan medan yang aku lakukan, tempat tinggal mereka dengan sekolah lokal ini sangatlah jauh dan sebagian dari mereka berjalan kaki ke sekolah.

“Buk, anak-anak di sekolah sana kan suka jahat sama kita,” kata Ida.

“Teman-teman, di mana pun kalian sekolah, siapa pun yang mengajar kalian, sejauh apa pun kalian menempuh jarak, kalian pasti bisa. Kalian sudah memiliki banyak bekal dari sekolah ini, mungkin di tempat yang baru kalian akan mendapat pengalaman-pengalaman baru yang lebih menyenangkan. Pupuk terus apa yang sudah kalian dapatnya, jangan lupa untuk dikembangkan. Ibu percaya karena kalian ini luar biasa.”

Aku menangkap wajah-wajah kecil yang penuh dengan kekecewaan. Bahkan Rio sudah mulai murung dengan muka ditekuk. Beberapa anak memandang kosong ujung sepatunya.

“Kalian harus semangat yah!”

“Buk, tapi kami masih bisa bertemu dengan Ibuk?” tanya Ida.

“Setiap Senin dan Selasa Ibuk pasti d atang ke sana untuk mengajar Bahasa Inggris.”

“Kalau gitu, ga apa-apa deh Buk, yang penting aku masih bisa bertemu dengan Ibuk,” lanjut Ida.

Aku kembali tersenyum dan kembali masuk ke dalam kelas. Kelas yang sebenarnya dipenuhi oleh murid ini serasa kosong. Bukan hanya kalian saja yang merasa kehilangan, Aku di sini juga merasakan hal yang sama dengan kalian.Delapan bulan bersama dengan 12 anak ini bukanlah waktu yang sebentar.  Akan tetapi, setiap pertemuan ada pertemuan pasti ada pula perpisahan. Dalam cerita ini kalian yang pergi terlebih dahulu, tapi dalam beberapa bulan lagi justru aku yang akan pergi dari sekolah ini dan meninggalkan kalian.


Cerita Lainnya

Lihat Semua