info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sebuah Bukti bahwa Janji-Nya itu Pasti

Siti Nurul Adhimiyati 30 November 2013

 Anak laki-laki itu lincah berjalan melewati licak, lengkap dengan kantong asoy yang berisi sabak dan grip yang dipegangnya erat. Matanya terlihat sembab, namun raut wajahnya menunjukkan keseriusan bahwa dia benar-benar ingin pergi ke sekolah hari ini. Meskipun dia tahu teman-temannya akan mentertawakannya hanya karena sepatu yang dia kenakan setiap hari ke sekolah bukanlah sepatu yang dia idam-idamkan selama ini.  Sandal jepit yang dia gunakan pun akhirnya menyerah begitu melewati sisa hujan semalam. Alhasil, kali ini dia mau tidak mau harus semakin menegarkan hatinya menghadapi celaan teman-temannya nanti karena kali ini bahkan dia tak memakai alas kaki.

Itu adalah saat-saat yang paling dikenang anak itu dalam hidupnya. Tiap kali memandang jalanan di depan sekolah tempatnya mengajar kini, dia seolah melihat dengan jelas anak laki-laki itu yang tak lain adalah dirinya sendiri di masa kecil. Hal itu juga yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk menjadi Guru, setelah dia dirumahkan oleh perusahaan karet tempatnya dulu bekerja. Dia sempat bermimpi untuk menjadi PNS, dan sialnya usahanya belum membuahkan hasil hingga kini genap 15 tahun bekerja. Raganya tak lagi muda, semangat yang senantiasa dipupuknya pun tiap hari kian menurun karena dia merasa tak ada yang peduli pada nasibnya yang menjadi guru honorer. Dan aku yakin kau juga tahu seberapa penghargaan yang ia terima atas segala yang telah dipersembahkannya untuk bangsa ini. Hidupnya yang keras membuat laki-laki itu banyak belajar tentang kebijaksanaan serta kesabaran, menuntutnya untuk lebih kuat mengahadapi goncangan badai.

Saat aku bertemu dengannya akhir-akhir ini, semangatnya mengajar mulai menurun dan semakin menurun, atau mungkin berada pada titik terendahnya, entahlah. Beberapa kali absen, tanpa alasan khusus, dan terkadang aku sempat melihatnya duduk-duduk santai di pance-pance di depan rumahnya di jam seharusnya dia mengajar. Ah, sungguh aku tak mampu menyalahkannya. Dia mungkin mulai lelah. Kubiarkan dia menikmatinya sementara ini setelah lima belas tahun pengabdiannya mungkin-mungkin saja dia memang sedang membutuhkan rehat sejenak. Sambil mencari jalan keluar agar semangatnya beranjak naik, walaupun sebetulnya akupun akan kelabakan jika dia tak hadir untuk mengajar. Satu, dua, tiga bulan berlalu dan dia masih saja seperti itu.

Baiklah, sepertinya aku sudah benar-benar kehilangan akal sekarang. Aku mulai memasrahkan semua ini kepada Sang Maha Pembolak Balik hati manusia, berharap kan segera membalikkan hati lelaki itu agar segera bersemangat kembali untuk selalu hadir diantara siswa-siswinya. Ajaib, di saat kritis itulah Tuhan memberikanku jalan keluar.

 

Malam itu, tanpa sengaja aku membuka whatsapp grup, dan seperti biasa ratusan pesan yang tak kubuka hampir dua minggu yang lalu itupun masuk tanpa dapat dibendung. Aku mulai membaca inti pembicaraan kawan-kawanku malam itu, dan intinya mereka ramai membicarakan salah satu lomba yang sempat diikuti siswa siswi kami. Hatiku mulai dag dig dug, entah mengapa aku tiba-tiba sangat berharap ada nama salah satu anak didikku di salah satu daftar nama yang sedang coba kubuka dengan koneksi internet yang tersengal-sengal.

Tanpa sadar akupun bersorak kegirangan. Ada, ya ada salah satu nama anak didik kami yang terselip diantara daftar nama itu. Dan kau tahu kawan, anak itu adalah anak perempuan dari laki-laki yang aku bicarakan tadi. Anak itu, akan mewakili kawan-kawannya mencicipi udara sesak namun penuh impian di Ibukota negara kita. Jakarta! Ya kawan, Jakarta!

Lalu apa istimewanya Jakarta? Yah, untukmu dan untukku Jakarta itu memang terlihat biasa. Namun bagi anak talang seperti anak-anakku tentu saja ini adalah hadiah terindah dalam hidup mereka. Dan Tuhan memilih anak perempuan lelaki itu.

 

Hebat, kabar gembira ini membuatku tak mampu memejamkan mata, insomnia. Karena kabar ini belum dapat dipastikan sampai esok lusa. Sejujurnya, aku benar-benar tidak sabar ingin memberitahukan berita gembira ini kepada lelaki itu, namun aku harus benar-benar memastikannya bukan? Setelah memastikan kebenaran berita tersebut kepada panitianya, aku segera bergegas menuju ruang tempatnya mengajar hari itu.

“Pak, Alhamdulillah, ananda Tri Alya Desta akan mewakili Provinsi Sumatera Selatan untuk mengikuti Konferensi Penulis Cilik Indonesia di Jakarta pak”. Aku berkata perlahan tapi pasti mengabarkan berita tersebut.

“alhamdulillah......” aku hampir saja menitikkan airmata demi melihat pancaran mata lelaki itu yang sudah mulai berkaca-kaca. Berikutnya, dia berkata sepatah-sepatah, sepertinya sampai bingung sendiri bagaimana cara mengungkapkan perasaannya saat itu. Setelah itu ia pamit pulang untuk mengabarkan hal ini kepada istrinya. Ah, sungguh ini benar-benar momen yang mengharu biru layaknya adegan di salah satu drama keluarga yang pernah kita saksikan di layar kaca. Seolah-olah Tuhan ingin menunjukkan bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan lelaki itu, inilah penghargaan terbesar Tuhan dalam hidupnya lewat anak perempuannya yang terbang dan menikmati empat harinya di Jakarta. Gadis itu adalah putri kecil "Pak Bin" kami kawan.

 

Ya, inilah buktinya kawan, Tuhan tidak akan sedetikpun melewatkan apa-apa yang kau lakukan dalam hidupmu. Hanya butuh sedikit kesabaran, dan waktulah yang menentukan keindahan itu akan tampak begitu membahagiakan. Maka sejak saat itu kawan, aku berharap lelaki itu menemukan kembali semangatnya untuk mendampingi anak-anak didiknya agar mampu membeli mimpi mereka.

 

“Maka Sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan, ada kemudahan... sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan ada kemudahan..." QS An Nasr:5-6


Cerita Lainnya

Lihat Semua