Ketika Cinta Tak Dapat Dipandang Sebelah Mata

Siti Nurul Adhimiyati 24 Agustus 2013

Lamunanku melayang pada asap rokok yang mengepul dan mulai memenuhi seisi ruangan. Sekitar dua puluh muda mudi berkumpul untuk menyepakati inisiasi perayaan tujuhbelasan yang memang seringkali rutin diadakan setiap tahunnya di seluruh pelosok tanah air. Bukan melulu soksokan dengan perayaan, lebih dari itu semua acara tujuhbelasan seharusnya tentulah ibarat perekat bangsa Indonesia dibandingkan sekedar mengenang hari kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang telah dibayar mahal, dan akan berakhir sia-sia jika ternyata para pemudanya rela menjual kehormatan mereka kepada bangsa sendiri.

Sebagai seorang Pengajar Muda, aku yakin setiap diri dari kami memiliki fokus wilayah potensial yang akan dikembangkan oleh diri kami masing-masing. Tak perlulah aku, dia atau mereka yang merasa paling hebat, apalagi merasa paling sempurna. Pastilah kalau diteliti satu persatu tak akan ada yang memiliki tantangan yang lebih berat dari yang lain, karena setiap individu kami memilki kapasitas yang kalian semua tahu pasti berbeda-beda. Berbekal keyakinan yang telah kami tanamkan, satu persatu dari kami akhirnya mampu menemukan celah yang menunjukkan cara bagi kami agar dapat melampaui ambang batas kekuatan yang tak ubahnya menjadi mental blok bagi kami. Semua kekhawatiran mulai hilang satu persatu. Perjalanan mulai menemukan titik temu, dan sebagai Pengajar Muda kami mulai dicintai.

Kau tahu kan apa itu Cinta?

Tak ubahnya candu, cinta dapat membahagiakan namun suatu kali juga berakibat mengerikan jika kau tak segera membatasinya. Bagaimana jika suatu kali kau merasakan banyak sekali orang di sekelilingmu yang mencintaimu? Seperti seorang artis yang memerankan peran utama, setiap sudut tempat selalu ada paparazi yang siap mengobral cerita tentang hal sekecil apapun yang kita lakukan. Bahkan seolah-olah kau merasa membutuhkan lubang persembunyian, karena orang-orang yang terlalu mencintaimu, selalu ingin bergelayutan di tanganmu, hadir di rumahmu, berlomba mendapatkan perhatianmu dan mungkin yang lebih mengerikan terobsesi dirimu. Aduhai, kalau cinta yang seperti ini tentunya tidak dapat dipandang sebelah mata kawan, tentunya baik dirimu ataupun orang-orang yang mencintaimu membutuhkan obat penawar yang ampuh dan mujarab.

Kemudian detik berikutnya, muncul sebuah pertanyaan “Bagaimana mungkin kami membatasi cinta kami sebagai orang tua yang memilki anak (anak didik), sekaligus anak yang memilki orang tua (housefam)”?

Sebagai orang tua yang tak ubahnya ingin melakukan sesuatu yang terbaik bagi anak-anaknya, waktu satu tahun sepertinya akan terasa teramat singkat. Akan ada banyak hal yang harus dikerjakan seiring dengan waktu yang tak mau berkompromi. Sepertinya aku tahu sekarang, bagaimana merasa menjadi seorang eksekutif muda yang ada di Ibukota yang berkejaran dengan deadline yang mau tidak mau memaksa untuk memanajemen logika dan perasaan, di sinipun kami merasakan hal yang sama. Tak ada satupun hal yang kami inginkan terlewati begitu saja. Meskipun itu hanya sepersekian detik yang ternyata berdampak panjang. Sepanjang apa? Tak tanggung tanggung, dampaknya adalah seumur hidup bagi anak-anak di sekitar kami kawan! Maka, sanggupkah engkau menanggung rasa bersalah seumur hidupmu jika ternyata kau belum melakukan apa-apa untuk anak-anakmu? Ah... tidak... kalau orang lain ada yang merasa sanggup, maka aku akan dengan tegas menjawab “TIDAK!!!!”. 

Lalu sebagai anak yang ingin berbakti kepada orang tuanya. Tak ubahnya kami ini seperti seekor anak itik yang selalu diperhatikan oleh induk kami. Kebersamaan yang selama dua bulan ini kami rasakan bersama keluarga baru kami, telah memberikan warna tersendiri bagi nasib perantauan seperti kami. Maka orang yang kemudian sanggup menerima kami apa adanya ini untuk menjadi anak mereka, pastilah memiliki jiwa yang besar untuk menambah tanggung jawab mereka terhadap keberlangsungan hidup kami. Maka kamipun berharap kami dapat menjadi anak yang dapat membuat orang tua kami bahagia memilki anak seperti kami.

Ah... kau tahu kawan, hidup di perantauan di daerah terpencil seperti ini tidaklah seburuk yang kau bayangkan. Alih-alih memberi, bisa jadi kami yang banyak diberi. Alih-alih menggerakkan, justru mungkin inilah saat yang paling menggerakkan hati nurani kami, alih-alih menginspirasi, justru kamilah yang banyak sekali merasakan bagaimana rasanya terinspirasi.

Tiba-tiba saja lamunanku buyar, saat adik angkatku meletakkan kepalanya di pangkuanku seraya menguap. Terlihat sekali dia sedang menahan kantuknya. Untunglah diskusi para pemuda pemudi mengenai perayaan tujuhbelasan cepat sekali menemukan titik temu. Jadi kami tak perlu menunggu lama untuk hasil akhirnya yang aku bilang cukup memuaskan, tanpa ada masalah, apalagi bertengkar sampai mengumpat dan naik keatas meja. Pikiran nakalku kemudian melayang lagi, andai pejabat-pejabat di negeri ini mampu mencontoh mereka....

Talang Air Guci, 14 Agustus 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua