Mari Menghargai Hasil Karya Sendiri

Siska Ayu Tiara Dewi 15 Maret 2014

Menghargai hasil karya diri sendiri mampu mendorong anak untuk lebih percaya diri.

 

“Tidak apa-apa deh berantakan seperti kapal pecah, yang penting anak-anak ini bisa mengasah kreatifitas mereka, meningkatkan keterampilan dan mampu menghargai hasil karya sendiri maupun orang lain” (kataku dalam hati).

 

##

Seperti biasa, rumahku (ups, rumah ibu angkatku) tak pernah kosong dari kerumunan anak-anak. Selalu ada saja yang bisa mereka lakukan. Belajar? Itu harus. Tapi masih ada kegiatan lain yang dilakukan oleh anak-anak muridku itu. Kebetulan aku menyimpan cukup banyak buku-buku bacaan di rumah, jadi anak-anak sering datang untuk membaca. Hal yang paling mereka sukai adalah menggambar. Ya, dalam satu hari aku harus membatasi jumlah kertas yang aku berikan kepada mereka. Jika tidak, aka satu hari itu pun akan dihabiskan hanya untuk menggambar. Ini bukan masalah kertas akan cepat habis, bukan itu. Melainkan anak-anak ini harus diberikan kegiatan yang bervariasi dan tetap didorong untuk belajar. Ya, sedikit repot memang. Tapi menyenangkan.

 

##

Biasanya mereka datang setelah pulang sekolah sehabis makan siang. Kali ini, kami akan membuat boneka dari kain flanel. Sebelumnya aku telah mencoba membuat ini bersama anak-anak perempuan usia SMP. Sekarang, aku akan membuatnya bersama anak usia SD perempuan maupun laki-laki. Respon awal yang kudapat setelah memperlihatkan buku yang bergambar desain boneka dan contoh yang aku buat,

A1:         “Bu, saya mau gambar kucing”.

A2:         “Bu, saya gambar gajah”.

A3:         “Saya gambar babi Bu”.

A4:         “Saya yang ini aja Bu, tupai”.

A5:         “Irae, gagah ja. Saya yang ini aja Bu, badut”.

A6:         “Ah, saya ini aja Bu e, sama kayak ibu yang katak”.

 

##

Awalnya sedikit membingungkan, karena harus mengajari beberapa anak dalam satu waktu sekaligus. Lalu kujelaskan satu persatu proses pembuatannya. Sempat terdengar olehku ada seorang anak yang bekata, “Aduh, susah Bu e, nggak bisa ini saya buatnya”.

Lalu dengan spontan aku menjawab, “Memangnya sudah dicoba? Kok bilang tidak bisa?”.

“Iyo ni Bu, masa belum dicoba udah bilang nggak bisa”, kata muridku yang lain.

“Sekarang kita coba dulu ya, kita mulai dari awal. Ibu berikan polanya dulu kemudian digunting ya”, aku pun memulainya.

 

Di tengah perjalanan pembuatan boneka, tiba-tiba seorang anak berkata sambil membanting kain yang ia pegang, “Aih, jelek Bu e punya saya ini. Aih, nggak mau saya”.

“Jelek? Masa sih? Oh, ibu tau, kamu kurang rapi menjahitnya. Coba lebih rapat lagi jahitnya”, jawabku sambil memberikan kembali kain yang dilempar.

“Begini Bu?”, kemudian ia melanjutkan jahitannya. Aku menimpali dengan anggukan dan senyuman.

 

##

Sudah hampir 2 jam anak-anak duduk sambil berkutat dengan jahitan masing-masing. Tiba-tiba Anggun berkata, “Ibu, ini punya saya, jelek nggak apa-apa ya Bu”, sambil menunjukkan hasil karyanya kepadaku.

“Siapa yang bilang jelek? Tidak ada yang bilang jelek. Bagus atau jelek yang penting itu hasil karya Anggun sendiri kan, itu artinya Anggun bisa membuat boneka seperti itu. Kan sekarang baru mulai, nanti pasti bisa lebih bagus”, kataku.

 

“Bu, ini punya saya, nggak apa-apa ya Bu miring-miring. Ini bantu ja saya ni Bu lem ini”, ucap Sadalin.

“Bu, ini bagaimana lagi sih ini Bu? Saya nggak bisa ini buat kakinya”, kata Fikram.

“Dicoba dulu ya, sini Ibu berikan contohnya”.

 

##

Setelah dua jam berlalu, satu persatu hasil karya anak-anak itu mulai nampak hasil akhirnya. Ada yang tertawa dengan karyanya sendiri, ada yang memuji karya teman, dan ada juga yang berkata, “Yasudah ya Bu, tidak apa-apa begini saja. Bagus sudah ini saya buat” (memuji diri sendiri).

 

“Bagaimanapun hasilnya, harus tetap menghargainya ya”, kataku sambil mengakhiri kegiatan hari ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua