info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Guruku Kokiku

Didit Priyanto 8 Maret 2014

Bapa pung rencana, gimana kalo katong makan malam bersama malam ini di kelas?” tanya saya mengakhiri kelas Bahasa Indonesia siang itu.

Iyo Bapa, iyo” jawab seluruh anak-anak secara bersamaan dengan begitu antusias.

Bapa, nanti katong yang laki-laki cari ikan, dan yang perempuan kumpul beras sah, jadi nanti katong anak laki-laki, pulang langsung pergi menjaring yoo” imbuh Yando, salah satu anak didikku, diikuti oleh anak-anak laki-laki lainnya.

“Iyo Bapa, jadi anak perempuan kumpul beras sah.” timpal Heni, salah satu murid perempuan, dan diikuti pula oleh beberapa anak perempuan lainnya.

Baik, jadi Bapa setuju dengan ide dong e, anak laki-laki cari ikan dan perempuan kumpul beras. Bapa pikir cukup 1 gelas sah berasnya yoo tiap anak. Bapa bertugas memasak.” jawab saya tanpa berfikir panjang.

“Horeeeee, katong makan malam bersama.” teriak anak-anak dengan sangat semangat.

Sabtu, 22 Februari 2014

Kelas bahasa Indonesia telah selesai siang itu. Setelah 2 (dua) kelompok dengan begitu semangatnya mempersembahkan suguhan drama berjudul “Cermin Penunjuk Sifat Buruk”. Meskipun ada yang lupa akan dialognya, namun mereka tetap percaya diri atas tugas yang saya berikan untuk memerankan drama pendek tersebut. Terlebih, anak-anak kelas I-V akhirnya mendapatkan izin dari guru kelasnya untuk menonton drama anak-anak kelas VI, sehingga ruang kelas VI begitu ramai dengan sesekali diselingi tawa karena tingkah laku sang pemeran.

Di akhir kelas saya mengakhirinya dengan memberikan evaluasi atas drama yang telah mereka perankan. Tak lama setelah itu, saya pun menutup kelas karena sudah waktunya istirahat jam ke 2 (dua). Namun, tiba-tiba terbesit sebuah ide, untuk makan malam bersama di kelas bersama anak-anak menutup pekan itu. Setuju. Ya, begitulah respon anak-anak tanpa berfikir panjang.

Bel pulang berbunyi. Anak-anakpun berhamburan lari menuju ke depan ruang guru. Apel siang. Itulah tradisi yang dilakukan oleh kita sebelum meninggalkan sekolah. Saya pun memimpin apel, guru lain bertugas merapikan ruang guru dan menutup jendela. Di kesempatan itu, saya mengingatkan kembali rencana makan malam bersama dengan anak-anak kelas VI dan latihan pramuka di hari Minggu, menggantikan latihan hari Jumat yang batal karena hujan.

Pukul 5 sore, selepas pulang menjemput guru di Lingat, desa tetangga yang tidak begitu jauh dari Werain, salah satu siswa ada di depan rumah menyambut saya dengan satu loyang beras. Oke. Saya pun langsung mengambil dan membawanya ke dapur. Selang tak berapa lama, datang dua anak memikul karung kecil. Ya, mereka anak laki-laki yang bertugas mencari ikan. Karung kecil itupun langsung saya buka, dan dengan penuh percaya diri akan ada ikan banyak di dalamnya karena karung terlihat penuh. Tebakan saya meleset. Ternyata justru jala yang saya temukan. Barulah dibawahnya terlihat ikan-ikan kecil yang kalo dihitung sekitar 30an ekor. Ikan kapas, begitulah kita menyebutnya.

Meski tidak begitu banyak, saya langsung mengambil tempat dan membersihkannya. Berapapun hasilnya, usaha anak-anak untuk mencari ikan haruslah tetap dihargai. Mencari ikan bukan perkara mudah. 4 (jam) mengail selepas pulang sekolah sampai sore, bukanlah waktu yang singkat. Lapar, haus dan panas pasti mereka rasakan. Tapi, dari anak-anak kita bisa belajar arti komitmen dan usaha.

Sekitar pukul 7 malam, masak selesai. Nasi, ikan, mie goreng, sayur pepaya, kerupuk dan colo-colo adalah sederet menu makanan yang telah saya masak. Ya, kasihan saja apabila hanya nasi dan ikan sedikit saja yang saya masak untuk makan malam bersama anak-anak. Sayapun memutuskan membeli 5 bungkus mi goreng untuk tambahan lauk. Dan menghangatkan kembali sayur pepaya sisa makan siang yang ada di meja makan dan menggoreng kerupuk.

Sayapun tak lupa, membuat colo-colo (adonan sambal ditambah kecap dan jeruk nipis), sebagai pelengkap menu makan malam. Prinsip saya, ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Saatnya berbagi kebahagiaan dengan mereka. Mereka yang juga lelah untuk belajar setiap hari, mereka yang lelah harus membantu orang tua di rumah, mereka yang lelah setiap pagi harus memberikan halaman sekolah, dan mereka yang lelah setiap sore beraktivitas. Saatnya memberikan timbal balik. Saatnya melayani mereka yang telah memberikan warna dalam hidup saya. Meskipun semuanya sederhana tanpa perlu istimewa.

Tak selang berapa lama saya selesai masak, suara anak-anak sudah terdengar dari depan rumah. Ya, tempat tinggal saya di rumah ibu kepala sekolah, tergolong sangat dekat dengan sekolah. Jadi anak-anak berinisiatif untuk menuju rumah terlebih dahulu. Piring, gelas dan sendokpun sudah lengkap ditangan mereka. Saya bagi tugas mereka. Sebagian mengatur ruangan dan sebagian  membawa makanan.

Great. Ruangan dan makanan tertata cukup rapi. Inisiatif mereka sudah tergolong sangat baik. Mampu menyulap ruangan menjadi tempat “jamuan makan malam”, dengan penerangan seadany. Ya, hanya sebuah lenterna.

Kamipun tak bisa menunda lama untuk menikmati makan malam yang telah tersaji. Diawali doa oleh salah satu anak didik saya, makan malam sederhana pun terlaksana. Anak-anak perempuanpun diberikan giliran pertama

Senangnya melihat anak-anak bahagia. Mereka begitu lahapnya menikmati makanan yang tersedia. Makan malam yang bukan istimewa tapi mereka rayakan sebagai hal yang istiemewa. Canda tawa, mereka hadirkan di tengah suasana yang begitu bermakna. Itulah kali pertama, makan malam bersama dengan bapak guru sebagai kokinya.

Dari makan malam inilah kami belajar kesederhanaan, kreativitas, kebersamaan dan kerjasama.


Cerita Lainnya

Lihat Semua