info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ketika "MALU" Menjadi Sebuah "ALASAN"

Sianghati 1 Juli 2015

Selamat datang di dataran hijau yang berbaris rapi di bumi Muara Enim

Cuaca sore itu cukup cerah, kami menelusuri jalan yang luas menuju dusun 1 R di Desa Pagar Dewa, Kecamatan Lubai. Disana aroma khas dari kelapa sawit dan karet mulai tercium, mobil pengangkut hasil alam berpapasan dengan kami, penanda kami semakin dekat dengan lokasi penempatan. Selama perjalanan saya lebih banyak tertidur dengan ditemani alunan lagu pop terkini, atau terkadang memaksakan mata untuk terpejam karena kepalaku mulai pusing dengan perjalanan fantastis dengan jalur naik turun akibat permukaan tanah yang tidak rata. Waktu terus berjalan, palang pembatas perusahan mulai terlihat, tidak terasa kami mulai berpapasan dengan senyum lebar dari penduduk Dusun 1 R yang sedang menyadap getah pohon karet (nakoh), mataku perlahan terbuka dan aku mulai pulih dari rasa pusing yang melanda selama perjalanan. Kubuka perlahan kaca jendela dan membalas senyuman khas itu, seketika udara masuk ke dalam mobil bersamaan dengan aroma khas yang bersal dari kebun karet yang ada disepanjang mata memandang. Aroma yang akan selalu melekat dalam ingatan untuk setahun kedepan atau mungkin seumur hidup, aroma yang akan menjadi pemantik ingatan dimasa datang mengenai anak-anak dusun 1 R.

Perlahan-lahan mulai terlihat bangunan yang hampir sama bentuknya dalam kawasan perkebunan karet, perkebunan di bawah Perusahan PT. Mitra Ogan yang diberikan kepada pekerja di perusahaan tersebut. Mobil kemudian berhenti di salah satu bangunan pertama setelah tanjakan, rumah itu milik salah satu guru honor di desa tersebut yang merupakan tempat tinggal pengajar muda sebelumnya. Di depan rumah tersebut mulai terdengar bisik-bisik dan canda tawa dari anak-anak kecil “ibu gurunya datang, itu Bu Sisi ; bukan itu Bu Yang; bukan, itu Ibu Sianghati” bisikan itu semakin mengecil seiring kulangkahkan kakiku keluar dari mobil berganti dengan nyanyian “selamat datang” dari anak-anak bangsa ini. Nyanyian terus berlanjut hingga sebuah kalung terbuat dari susunan biji karet di kalungkan dileherku, hadiah pertama yang diberikan oleh masyarakat Dusun 1 R yang dibuat sendiri oleh tangan mungil anak-anak bangsa ini. Dengan sigap mereka bersalaman sambil mencium tanganku, sambil berkata “ibu capek..?, ibu barangnya mana? Nanti kami yang angkatkan ke tempat ibu tinggal”. Rasa lelah, mulai hilang oleh senyum dan semangat dari anak-anak ini, mereka kemudian mengangkatkan barang-barang menuju rumah keluargaku untuk setahun kedepan.

Senyum yang sama kudapatkan lagi setelah tiba di rumah baruku, disana berdiri sesosok perempuan yang telah lama menanti kedatanganku, sesosok wanita cantik dan baik hati dengan satu orang anak yang berdiri di dekatnya, panggil beliau Ibu Sri. Satu per satu barangku dimasukkan kedalam kamar baruku, kamar yang telah dipersiapkan untukku selama satu tahun kedepan, sedikit demi sedikit aku mulai merapikan pakaian kedalam lemari. Tiba-tiba seorang anak penuh semangat dengan senyuman yang lebar memanggilku untuk berenang ke danau, maka yang terlintas dipikiranku adalah air yang berwarna biru, pemandangan yang indah seperti danau Ranu Kumbolo di Sumeru, danau Segar Anak di Rinjani atau seperti danau yang ada di Lembah Ramma. Dengan sigap kumasukkan alat mandi dan pakaian ganti kedalam tas, menuju danau dengan menggunakan kendaraan roda dua. Semangat yang menggebuh dan canda tawa dari anak-anak dusun 1 R membuatku tidak sabar untuk tiba di danau, kami menelusuri jalan bergelombang berdebu, masuk kedalam hutan karet. Tiba-tiba salah satu anak mengisyaratkan untuk berhenti tepat di tengah kebun karet, dan berkata “Ibu danaunya ada di sebalah kanan”.

Betul saja itu danaunya, danau dimana mereka berbagi canda tawa tempat mencari kesenangan diakhir senja, tempat mereka bertemu dan bermain bersama bahkan terkadang tempat mereka untuk berbakti kepada orang tua, dalam hal mencuci pakaian. Dalam sekejap aku kembali kedunia sadarku ketika anak-anak memanggilku untuk mandi bersama, dan tanpa aku sadari aku berucap “Ibu MALU kalau mandi di tempat umum, mungkin lain kali kita boleh bermain disini lagi”. Maka lain kali akan kutebus ucapan yang tak terkendalikan dari bibirku untuk menikmati danau itu bersama anak-anak dusun 1 R, sehingga tidak akan ada lagi kata MALU menjadi sebuah ALASAN.


Cerita Lainnya

Lihat Semua