Merindukan Sosok Ibu Guru
ShofySeptiana 11 Februari 2016“Ibu Guru…” teriakan anak-anak SDN Aboding dengan nada yang begitu khas anak Papua. Mereka adalah siswa SDN Inpres Aboding yang selalu memberikan warna kebahagiaan yang berbeda-beda di tiap harinya. Senyum merekah penuh ketulusan selalu menjadi menyemangat dan sumber kebahagiaan hari-hari di Desa Kungul, Distrik Okaom, Pegunungan Bintang, Papua. Syukur pada yang Maha Kuasa tak ada henti-hentinya karena telah memilihkan tempat terbaiknya untuk saya mengabdikan diri setahun ke depan di tanah Papua, berjumpa dengan anak-anak timur Indonesia.
Memilih mengajarkan siswa Kelas 1 dan 2 adalah tantangan yang saya ambil dengan penuh konsekuensi. Bagaimana tidak? Kelas 1 dan 2 adalah pemilik kelas dengan jumlah siswa terbanyak di SDN Inpres Aboding. Selain itu, umur mereka yang belum memenuhi syarat menjadi seorang siswa SD menjadi kendala untuk mereka bisa mengerti apa yang saya intruksikan pada saat proses belajar mengajar. Pemahamannya dalam berbicara Bahasa Indonesia masih sangat minim, sehingga saya harus berusaha keras untuk bisa belajar Bahasa kesehariaan mereka agar mereka bisa lebih cepat menangkap apa maksud yang saya sampaikan. Ditambah pula, antusias para masyarakat desa yang menginginkan anaknya segera mengenyam pendidikan sedini mungkin, sehingga anak-anak yang masih kecil dengan kisaran umur 2-3 tahun sudah dimasukkan ke dalam kelas 1 SD. Bisa dibayangkan bukan bagaimana kondisi kelas tersebut?
Pertama kalinya sampai di desa, kami disambut dengan hangat. Terlintas jelas wajah sipu-sipu malu khas anak Papua masih terpancar begitu melekat. Ingin rasanya mereka menyapa, tapi hanya ada senyuman malu-malu yang disampaikan dari wajah lugunya yang begitu manis. Tak ada kata, tak ada suara. Mereka hanya memandangi kami sambil membantu dengan sigap apa yang kami butuhkan segera. Ya, itulah mereka. Cepat, tanggap, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Suasana saling berebut untuk bisa menolong ibu dan bapak guru yang baru saja sampai di desa yang nantinya akan kami ajar.
Hari pertama di kelas, tak ada komunikasi timbal balik. Hanya ada tatapan penuh kebingungan. Mencoba menerka-nerka apa sebenarnya yang mereka rasakan dan yang mereka ingin sampaikan. Saya terus berusaha menggunakan bahasa verbal, juga dengan metode Narative Chain untuk menarik siswa untuk lebih memahami apa yang sedang dibicarakan. Mereka sangat menyukai nyanyian, walaupun awalnya mereka tak mengeluarkan suara sedikitpun.
Tak ada sepatu, tak ada seragam yang menemani ketika mereka berangkat ke sekolah. tapi semua itu tidak membuat mereka patah semangat untuk berangkat pagi-pagi ke sekolah. Bahkan sekalipun tak ada guru yang kunjung datang, mereka tetap datang ke sekolah. Lama sudah mereka tidak merasakan aktivitas belajar mengajar di kelas. Kondisi geografis dan minimnya tenaga guru membuat siswa tak banyak menerima materi belajar setiap harinya. Tapi, semangat membara untuk mau terus belajar mengalahkan permasalahan itu semua. Sungguh semangat yang tak kenal gentar yang patut kita contoh untuk anak-anak Indonesia di pelosok lainnya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda