Paket Sahabat
Shofa Dzakiah 15 Mei 2015Salah satu kegiatan yang saya lakukan untuk memperkenalkan anak-anak kepada dunia luar adalah surat sahabat. Dari namanya, sudah tertebak seperti apa bentuk kegiatannya. Anak-anak menulis surat untuk “sahabat” barunya di daerah lain di Indonesia. Umumnya, para Pengajar Muda akan janjian dengan rekan Pengajar Muda di daerah penempatan lain, agar anak-anaknya bisa saling berkirim surat. Seperti itu pula yang saya terapkan kepada anak-anak. Mengingat murid sekolah saya tergolong banyak, saya memilih beberapa tempat sebagai tujuan surat anak-anak saya.
Adalah Dusun Pulau Gili, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, tempat rekan saya, Teguh Wibowo, bertugas. Ke sanalah surat-surat dari anak-anak saya dilayangkan. Sama seperti surat yang dikirim ke alamat lainnya, anak-anak memulai persahabatannya dengan menulis surat sederhana. Pada secarik kertas, anak-anak menceritakan tentang diri dan lingkungan desanya. Apabila ingin, mereka boleh menambahkan gambar, puisi, atau pantun. Surat pertama dikirim, kemudian memperoleh balasan. O-ow, pada surat balasan, beberapa sahabat pena meminta foto diri dari pengirim surat, ya anak-anak saya itu. Ramailah anak-anak saya minta difoto, dicucikan, lalu diselipkan ke dalam suratnya. Repot juga yah Nak! Supaya efisien, langsung saja saya foto sekelas, baru saya tuliskan keterangan nama-nama anaknya. Surat kedua, dikirim! Lama saya tak mengunjungi kantor pos, surat balasan kedua ternyata sudah sampai.
Alangkah kagetnya saya ketika menerima balasan yang kedua. Bukan seberkas amplop coklat berisi surat anak-anak, seperti yang biasanya saya terima. Paket. Iya, paket! Mungkin sebesar kotak sepatu, berbalut kertas coklat. Karena alamat suratnya untuk saya, boleh dong, saya GR kalau isi paket itu juga untuk saya? Saya pikir, Teguh yang mengirimkan saya paket. Ah, tumben-tumbenan Teguh baik begini, pikir saya.
Karena sudah tak sabar, saya bukalah paket itu. Ada beberapa kado di dalamnya. Mata saya mulai berbinar-binar. Saya ambil salah satu kado yang ada di dalam kotak itu. Nama murid saya tercantum pada kertas kado yang membalutnya, tepat setelah kata ‘untuk’. Bukan untuk saya ternyata. Saya kembalikan lagi. Saya ambil kado yang lain, juga bukan untuk saya. Semua kado itu sudah memiliki tujuan masing-masing—dan itu bukan saya. Lalu apa yang untuk saya? Sepucuk surat. Di saat anak-anak mendapatkan balasan berupa kado, bu gurunya cuma dapat surat?? Apa-apaan ini?! Hahaha.
Pada suatu pagi yang telah direncanakan, saya membagikan balasan berupa kado-kado itu. Saking gembiranya, anak-anak yang memperoleh kado langsung membukanya saat itu juga. Isi kadonya bermacam-macam. Ada yang mendapatkan buku dan pensil atau pena, ada yang mendapat jilbab—padahal penerimanya laki-laki. Ada juga yang mendapat sumpit. Macam-macam sekali.
“Bu, dibalas lagi?” tanya salah seorang anak. Saya mengangguk.
“Kalau dapat kado, balas kado juga ya?”
Anak itu mengangguk antusias.
Sekitar satu minggu kemudian, anak-anak menghampiri saya dan memberikan kado. Untuk dikirim. Lagi-lagi bukan untuk saya, hahaha. Kadonya sudah dibungkus rapi, dan sudah ditulis untuk siapa. Jadi, saya, yang cuma berperan sebagai tukang pos ini, tidak berhak membuka apa isi kado-kado itu. Suratnya pun langsung diselipkan di dalam kado. Tampaknya umur-umur kelas 5 dan 6 ini sudah mulai butuh ‘privasi’, hehe. Tak apalah, yang penting isinya tidak membahayakan.
*
Ada yang bilang, dari anak-anak kita bisa belajar mengenai ketulusan.
Sejak dulu, kita sering ditanamkan agar berhati-hati dengan orang asing. Jangan mudah percaya pada orang yang baru dikenal. Pilih-pilih kalau mencari teman. Dan lain sebagainya. Mungkin ada benarnya. Tapi ada kalanya, perlu juga diajarkan untuk saling memberi, untuk berbuat baik, sekalipun kepada orang yang belum dikenal.
Anak-anak ini. Mereka bahkan belum sempat bertatap muka dengan sahabat penanya. Saling berkirim surat pun baru dua kali. Namun pada surat keduanya, mereka sudah berinisiatif untuk saling memberi hadiah. Mereka semangat sekali menyiapkan hadiahnya.
Sekarang, setiap pagi begitu saya sampai di sekolah, anak-anak akan membombardir saya dengan pertanyaan-pertanyaan ini:
“Bu, suratnya sudah dikirim?”
“Bu, sudah ada balasan lagi?”
Begitulah. Saya jadi bertanya-tanya, sebetulnya saya ini guru atau tukang pos? :D
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda