Pak Rudi dari Rangkendak

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 15 Mei 2015

Dimana pun ditugaskan, saya akan memberikan pengabdian terbaik | Pak Rudi

Sejak diberlakukan UU Otonomi Khusus di tahun 2001, atau hampir empat belas tahun sesudahnya, Papua masih berkutat dengan sebagian besar warga yang hidup menderita, dan menjadi yang termiskin dengan angka hidup terendah. Sehingga banyak yang menilai, otonomi khusus telah gagal dilaksanakan di Papua*

Dari penilaian itu, beberapa menilai bahwa kualitas pendidikan merupakan bagian yang cukup tidak punya pengaruh dengan entah sejumlah milyar rupiah yang digelontorkan. Sejauh mana kegagalan itu, barangkali masih boleh kita berdebat. Mungkin, Otonomi Khusus memang telah gagal dalam sistem, tapi tidak sepenuhnya gagal untuk manusia-manusia yang sejak awal berbahagia dengan pendidikan: guru.

Dalam momen bulan pendidikan ini, ingin saya menyebut sebuah nama. Barangkali masih banyak nama. Tapi sebuah nama berarti sebuah pelajaran. Barangkali, dari situ kita bisa belajar untuk menghormati setiap guru. Karena kemuliaan tugasnya, dan kemanusiaanya yang tinggi. Pak Rudi namanya.

***

Mulai subuh, langit menumpahkan butiran hujan tak henti-hentinya. Saya harus menuju ke SD YPK Rangkendak yang terletak di Kampung Rangkendak. Sekitar satu jam perjalanan motor dari tempat saya bertugas, Kampung Pikpik. Saya begitu khawatir tak dapat menunaikan janji. Saya datang dengan tujuan untuk berbagi pembelajaran kreatif.

Hingga pukul setengah delapan pagi hujan belum saja berhenti. Pikiran saya sudah fokus dan tertuju penuh ke Kampung Rangkendak. Akhirnya dengan ditemani seorang masyarakat kampung, saya berangkat. Hujan deras mengantar keberangkatan kami ke kampung yang posisinya berada ujung terjauh di Distrik Kramonggmongga ini. Letaknya memang berbatasan dengan Distrik Teluk Patipi.

Kabut dan hujan senantiasa mengiringi dalam perjalanan. Meskipun menggunakan mantel hujan, dingin tidak terelakkan. Kami sampai di Kampung Rangkendak sekitar pukul sepuluh pagi. Kepala Sekolah beserta dua orang guru telah menunggu di depan sekolah.  

Sangat bersyukur sekali saya disambut begitu hangat dan penuh rasa kekeluargaan. Teh manis hangat yang diseduh jahe membuat dinginnya pagi itu sedikit berkurang. Badan saya perlahan-lahan menghangat.

Sembari beristirahat, saya berbincang lepas dengan Kepala Sekolah dan dua orang guru. Salah satu dari guru itu bernama Pak Rudi. Disinilah saya bertemu dan bercakap banyak dengannya. Nama lengkapnya Rudolof Pehebeherot. Setiap hari beliau mengajar kelas V dan VI. Terkadang Kelas IV, V, dan VI. Beliau merupakan pendatang di kampung ini. Tempat asalnya berasal dari Kampung Kayuni yang berbatasan dengan Distrik Kokas.

Meski bukan penduduk kampung setempat, ia bukan jenis guru yang setelah menerima SK  lantas mangkir dari tempatnya bertugas.

Keberadaan Pak Rudi di sekolah merupakan single fighter. Sebab, beliaulah satu-satunya guru laki-laki di sekolah. Bila ditemani Ibu Kepala Sekolah yang tidak sampai dua tahun lagi pensiun, mereka menjadi duo fighter. Beruntung sekarang sekolah ini baru saja mendapatkan bantuan guru honorer.   

Dari beban tugasnya yang sering merangkap kelas, bahwa jika prasangka saya benar, Pak Rudi ini jarang turun ke kota. “iya pak guru, saya jarang turun (kota). Saya merasa kasihan melihat anak-anak yang pasti tidak belajar jika saya pergi.” katanya.

Ketika datang masa pengurusan kenaikan pangkat dan kenaikan gaji berkala di Dinas Pendidikan, Pak Rudi kadang tidak menggubrisnya. Sebab, anak-anak di SD YPK Rangkendak ini lebih butuh perhatiannya daripada mesti mengurus sesuatu yang memang merupakan haknya itu selama berhari-hari.

“tidak apa-apa pak guru, biarkanlah itu tertunda, asal anak-anak tidak terlantar di sekolah.” pikirnya.

Banyak hal menarik yang dijumpai Pak Rudi dan anak-anak muridnya. Di kampung yang sejuk ini, menurut pengakuan Pak Rudi, bila musim kering tiba, burung Cendrawasih sering turun untuk mencari minum dan sekali-kali menari di dahan pepohonan. Jika sudah seperti itu, Pak Rudi dan anak-anak akan datang menonton di depan sekolah.

Buah pengabdian Pak Rudi, ia mendapat rezeki yang tidak disangkanya. Secara rutin, beliau mendapat tunjangan kinerja dan tunjangan daerah terpencil. Hasilnya, ia punya banyak buku yang dibeli dan dipakainya untuk pembelajaran tanpa harus meminta dari sekolah.

Di daerah gunung gemunung seperti kampung ini, hujan acapkali datang dengan tibanya pagi.

pak guru, sering sekali saya mau sengaja terlambat tiba ke sekolah karena hujan. Tapi saya kasihan ingat anak-anak kampung yang selalu lebih dulu datang di sekolah.” ia bercerita.

Beliau selalu teringat pesan mendiang ayahnya yang juga seorang guru, bahwa “guru itu membangun manusia.” Jika diajarkan dengan moral, teladan dan sikap yang tidak patut, ia juga akan menjadi bangunan manusia yang seperti itu.

Suatu cerita, pernah ia merasa sangat tersinggung harga dirinya di lokasi pelaksanaan ujian nasional. Setiap tahun ujian dilaksanakan di sekolah yang ada di ibukota distrik. Semua guru-guru dan pengawas berkumpul.

Ada guru yang mencoba memberikan jawaban kepada peserta ujian se-distrik termasuk anak-anak muridnya di SD Rangkendak. Pak Rudi tidak terima dengan hal itu. Ia sempat bersitegang.

Ketika kepercayaaan diri anak-anak muridnya sedang tinggi-tingginya, ada saja yang berusaha memberikan jawaban kepada peserta ujian.

“pak guru, berapapun nilanya, itulah hasil kerja anak-anak. Dan hasil kerja keras kita juga dalam membimbingnya selama ini.” protesnya. Tindakan itu menurutnya tidak menghargai kesungguhan upayanya dalam mengajar anak-anaknya.

Kata Pak Rudi, inginnya, ia menghendaki ditugaskan di kampungnya sendiri, Kampung Kayuni. Namun, katanya, di mana pun itu, ia akan tetap memberikan pengabdian terbaiknya.

Makanya hingga sekarang, setelah sepuluh tahun, Pak Rudi sama sekali tidak ada niat mengajukan diri agar dipindahtugaskan ke kampung sendiri. Di saat guru-guru di Fakfak berebutan meminta SK pindah tugas mengajar di kampung sendiri, ia tidak melakukannya.

Setelah selesai membagi pengetahuan pembelajaran kreatif, Pak Rudi mengantar saya ke jalan utama distrik. Dengan memanggul tomang dan parang, saya diantar pulang. Setelah itu, ia akan menjemput lagi istrinya dan anak-anaknya untuk sama-sama menggarap kebun di dalam hutan. Ia orang yang bersungguh-sungguh dengan pekerjaan dan keluarganya.

Sudah senyatanya, pendidikan bukan melulu tentang infrastruktur sekolah, kesiapan kurikulum, dan kecanggihan sistem. Tapi bagaimana mencetak guru-guru yang mau bekerja dengan sepenuh jiwa. Jiwa yang mengetahui bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang melibatkan mata dan hati. Jiawa yang siap bekerja keras menelurkan generasi penerus.

Bagi saya, Pak Rudi adalah salah satu dari sekian banyak guru-guru kita yang terus bekerja dengan laku, tanpa banyak ceracau.

Kawan, cobalah datangi seorang guru. Dan dengarkan ceritanya. Maka cerita tentang Pak Rudi-Pak Rudi ini, akan terus berlanjut...

*Buletin BaKTINews No. 98 Februari – Maret 2014. (BaKTI: Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia)


Cerita Lainnya

Lihat Semua