Muridku Tidak Biasa

Shinta Ulan Sari 6 Juli 2011
Sudah hampir 2 minggu aku berada di tengah-tengah warga dusun sungai putat, kabupaten kapuas hulu. Sedikit banyak aku sudah mulai mengenal karakter anak-anak di sini secara umum, melalui cerita-cerita warga, observasi, dan interaksi aku dengan mereka. Kesan pertama yang aku dapatkan ketika pertama kali berinteraksi dengan mereka adalah anak-anak sungai putat rata-rata pemalu dan kurang ekspresif. Kemungkinan karena aku adalah orang yang baru mereka lihat dan mereka kenal. Namun setelah hampir 2 minggu di sini, kesan pertama aku ternyata benar adanya, rata-rata  anak-anak di sini tidak seekspresif dibandingkan anak- anak tempat aku PPM sebelumnya, yaitu SD Cipayung Girang 01, Ciawi, Bogor. Tapi hal yang membuat aku aneh adalah, ketidakekspresif anak-anak ternyata hanya dinampakkan di hadapan guru saja, dan bukan hanya padaku saja, namun terhadap dua guru yang sudah lama mengajar di SD itu. Setelah banyak berbagi cerita dengan ibu kepala sekolah dan dengan warga akhirnya aku mengetahui alasan yang menyebabkan ketidakberaniaan anak-anak di hadapan guru. Keotoriteran kepala sekolah sebulumnyalah yang menyebabkan sikap anak-anak terhadap guru. Kepala sekolah  sebelum Bu Utin mendidik anak-anak dengan kekerasan. Sikap pemalu dan tidak ekspresif terhadap guru yang terbentuk pada diri anak-anak semua karena ketakutan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Bahkan ternyata banyak sekali anak yang putus sekolah ketika kepemimpinan beliau. Anak yang tidak disiplin dihukum dengan hukuman fisik, misal, di jiwit telingan sampai berdarah-darah, bahkan ada salah satu anak yang dicekik. Pelanggaran yang dilakuakan mungkin sepele, misal tidak bersih dalam menjalankan piket kelas. Oh ya, sedikit cerita tentang profil dusun sungai putat, dusun ini terdiri dari 120 KK yang tidak terpusat.  Sekitar 70 KK berada di dekat dengan SD, dan sisanya berada di bukit, bukit kedang namanya. Mayoritas siswa SDN Sungai Putat adalah anak anak dari bukit kedang. Jarak tempuh bukit dan sekolah sekitar 3 jam dengan jalan kaki ( Jalan kaki dengan kecepatan yang cukup cepat, kalo        aku berjalan kaki mungkin bisa menghabiskan waktu hingga 4 jam).  Kondisi jalan yang harus mereka lalui adalah jalan berpasir  dengan pola jalan naik turun bukit. Alhasil, anak-anak bukit harus berangkat sekolah pagi-pagi buta. Sekitar pukul  04.00 mereka sudahberjalan menyusuri jalan menuju sekolah. Bahkan tahun-tahun sebelumnya, ketika pak kepala sekolah yang cukup keras meemimpin, anak-anak bukit harus berangkat pukul 24.00, karena pukul 06.00 setiap paginya sekolah sudah harus dalam keadaan bersih. Oleh karenanya sesampai sekolah mereka semua sudah harus kerja bakti membersihkan sekolah. Ketika sekolah tidak bersih, mereka sendiri jugalah yang akan kena imbasnnya, yang paling ringan hanya suara bentakan dari pak kepsek yang mereka dapat. Ketika pukul 24.00 mereka berangkat menuju sekolah, sampai di sekolah mereka pukul 03.00, kemudian langsung membersihkan diri di sungai. Ketika sudah bersih, merekapun mulai bekerja bakti membersihkan sekolah hingga pukul 06.00. Begitulah setiap harinya mereka lalui. Terlepas dari cara bagaimana cara beliau menanamkan kedisiplinan, yang membuatku kagum adalah betapa beliau sangat memikirkan anak-anak. Semua tindakan yang beliau lakukan, benar-benar didasari karena keinginan untuk mendidik anak-anak agar menjadi anak-anak yang disiplin. Bukan karena ingin menyiksa anak-anak, ingin membuat menderia anak-anak, beliau melakukan itu. Kedisplinanlah yang ingin beliau tanamkan. Kepedulian untuk mendidik anak-anak beliau tunjukan dengan sudah menjadi guru di desa itu sejak tahun 1986.  Tak terbesit keingin beliau utnuk meninggalkan dusun, menginggat guru di dusun itu hanya satu. Ketika beliau memutuskan tidak pindah ke tempat lain yang lebih mudah aksesnya, mengingat beliau sudah berada di dusun itu lebih dari 5 tahun. Beliau sudah  mengajar di desa itu lebih dari 25 tahun jadi akan sangat mudah bagi beliau untuk meminta rekomendasi pindah tugas. Hal itu tidak beliau lakukan dengan alasan, ketika beliau pindah dari desa tersebut, maka bisa dipastikan sekolah akan tutup. Terlepas dari ketidakekspresifan anak-anak,satu hal yang membuat aku kagum adalah semangat mereka untuk sekolah. Kegigihan mereka setiap hari rela berjalan selama 3 jam untuk menuju sekolah, mau cuaca panas ataupun hujan tidak menjadi halangan. Meskipun banyak diantaranya yang putus sekolah, anak-anak yang bertahan untuk sekolah bagiku adalah anak-anak yang luar biasa. Aku memang belum mengenal mereka satu persatu, mengajar merekapun baru satu  kali, itupun hanya sesi perkenalan ketika pembagian raport. Muridku memang tidak biasa, tidak biasa dalam hal ekspresi, tidak biasa dalam hal semangat, tidak biasa dalam hal kegigihan, dan aku yakin mereka punya banyak potensi yang luar biasa, punya banyak keunikan. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu langsung dengan mereka, tidak sabar untuk segera berinteraksi dengan mereka, tidak sabar untuk mengajar mereka dan belajar banyak dari mereka, dan tidak sabar mengenal mereka satu-persatu. Tanggal 11 Juli nantilah aku akan benar-benar akan bertemu dengan mereka dan mengenal mereka. Aku yakin senyum mereka, binar mata, dan keriangan  merekalah yang akan mewarnai satu tahunku ke depan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua