Melawan Ketakutan

Shinta Ulan Sari 28 Oktober 2011

Teringat perkataan pak Anies yang mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melawan ketakutan adalah dengan bergerak menerjang ketakutan itu. Yup..aku sepakat sekali dengan statement itu. Hari ini semua telah aku buktikan sendiri. Hari ini aku mencoba melawan semua ketakukanku untuk memenuhi sebuah janji.

Setiap hari Sabtu aku harus turun menuju kecamatan untuk mengajar di sebuah SMA yang ada di sana. Semuanya berawal ketika aku bersilahturahmi dengna kepala sekolah SMA. Diskusi demi diskusi berlangsung, sampai berujung pada satu kesepakatan antara kami untuk menjadikanku guru bantu di SMA itu untuk mengajar mata pelajaran Akuntansi.

Awalnya berat aku putuskan untuk menerima permintaan kepsek tersebut, mengingat jarak kecamatan dengan desa yang aku tinggali tidak dekat, kurang lebih butuh waktu 1,5  jam  dengan medan yang lumayan berat (itu kalo cuaca sedang cerah, kalo hari hujan,, mungkin butuh waktu berjam-jam untuk bisa sampai ke kecamatan).  Namun setelah aku pikir dan diskusikan dengna ibu kepsekku, akhirnya satu keputusan bulat aku berikan, ya, aku siap mengajar mereka. Awalnya aku berangkat sabtu pagi-pagi buta menuju kecamatan. Karena hari sabtulah aku baru bisa mendapat tumpangan hingga kecamatan.

Sabtu siang, usai kentongan sekolah berbunyi, yang menandakan jam sekolah telah usai, aku pun berbegas pulang ke desa dengan salah seorang murid yang akan mengantarku menuju orang yang akan memberikanku tumpagan hingga desa. 2minggu berlalu, dan setiap sabtu aku jalani aktivitas itu. Capek memang, tapi semua hilang ketika aku lihat sahabat-sahabat kecilku sudah berteriak ibu..ibu...ketika aku memasuki desa. Minggu ketiga aku mengajar di kecamatan, sedikit berbeda. Aku sudah melakukan perjanjian dengan ibu Bidan desa untuk meminjam motor setiap hari jumat usai pulang sekolah. Jadi sejak minggu ketiga aku berangkat ke kecamatan, setiap jumat siang dan akan kembali ke desa setiap sabtu siang. Menginap menjadi salah satu cara untuk menyimpan energi, agar badanku mau berkompromi dengan tidak ada sakit yang akan menghampiriku.

Jumat kemarin (7 Oktober 20110) adalah pertama kalinya aku mengendari motor seorang diri menuju kecamatan. Cuaca beberapa hari sebelumnya tidak begitu bagus, hujan tiba-tiba datang di hari yang cukup terik. Malam kamis pun hujan deras menyapa desaku. Alhasil, jumat paginya aku ragu untuk berangkat ke kecamatan. Ragu, jalan kami sudah bisa dilalui motor belum. Hingga usai mengajar di desapun, waktu menunjukkan pukul 11.00, aku masih juga ragu, karena semenjak pagi, matahari masih malu-malu untuk menunjukkan diri. Pasti jalan masih licin dan susah untuk di lalui. Pergulatan batin, antara berangkat dan tidakpun mulai terjadi, keraguan dan ketakutan aku tidak akan bisa sampai di kecamatan dengan selamat (hehehe,,sedikit lebay).

Namun mengingat aku sudah berjanaji kepada kepsek dan murid-muridku di SMA, bahwa setiap sabtu aku menyanggupi untuk mengajar mereka, apalagi mereka sudah kelas 3 yang tidak lama lagi akan menghadapi UN, aku pun menguatkan hati, kamu harus berangkat Shin. Akhinrya dengan mantap aku bergegas menuju rumah  bu bidan untuk mengambil kunci motor. Deg deg an masih membayangiku ketika aku sudah mulai menyalakan mesin motor. Pelan-pelan aku tarik gas dan kopling motor, bismillah perjalanan ini akan dimulai. Perasaan wasa-was, mampu tidak ya aku melalui semua medan menuju kecamatan dengan selamat. Perlahan aku lajukan motor, bukit demi bukit, gunung demi gunung, di tengah-tengah perkebunan sawit berhasi aku lalui. Tidak terlalu licin, panas sudah mengeringkan sisa-sisa jalan licin bekas hujan. 45 menit berlalu, sampailah di jalan yang paling susah aku lalui. Tidak lagi perkebunan sawit yang aku lalui, tetapi hutan. Kiri kanan masih penuh dengan pepohonan yang lebat. Sesekali aku lihat monyet berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Musang yang berkejaran menyebrang jalan.

Jalan tanah liat yang sedikit basah harus aku taklukan sekarang. Gunung dan bukitpun berbeda dengan  sebelumnya. Satu demi satu gunung dan bukit aku lalui dengan selamat. Sampailah aku pada satu gunung yang sangaat curam, dengan tekstur tanah yang bergelombang. Sebentar aku matikan mesin motor dan melihat ke atas, bisa tidak ya aku, batinku. Bismillah,,dengan semangat aku kencangkan tarikan gas motor. Breeem,,breeem,,suara motorku,,ban motor seakan lari ke kanan ke kiri,,tak peduli pikirku,,yang penting aku tetap kuatkan tarikan gas motor. Tepat di tengah-tengah gunung, aku tak lagi mampu untuk menarik gas motor. Langsung aku tekan kuat-kuat rem motor dan aku injak kuat-kuat rem kaki. Sepintas takut aku dan motorku akan terjun mundur ke belakang. Alhamdulillah aku bisa menahan motor, seketika motor berhenti langsung aku matikan motor dan bergegas aku turun dari motor. Helaan napas, bercampur debaran jantung yang kuat membuatku langsung tertundung lemas di samping motor. Satu-satunya manusia yang ada di jalan itu hanya aku. Aku berharap ada seseorang yang lewat untuk menolongku, tapi tak ada tanda-tanda itu. Setelah menenangkan hati sejenak. Kembali aku tatap jalan ke depan. Aku pasti bisa melalui jalan ini, tinggal sedikit lagi aku akan sampai. Ayoo shinta..kamu pasti bisaaa. Kembali aku naik ke atas motor, perlahan aku hidupkan, aku masukkan gigi, aku tarik kopling, dan yang terakhir aku tariik dengan sekuat tenaga gas motor.

Breeem,,,breeem,,breeeem,,,yeeeeee,,akhirnya aku bisa melaluinya. Perasaaan senang bukan kepalang mengisi hatiku. Dengan senyum yang cukup lebar, aku lanjutkan perjalanan. Perasaaan takut yang sepanjang perjalanan menemaniku, seketika itu hilang tak berbekas, berubah menjadi perasaan yang luar biasa senang. Perjalanan belum usai, masih ada satu bukit yang cukup landaiii aku harus takuklan. Berbeda dengan ketika aku naik gunung tadi, sekarang perasaanku sedikit lebih tenang, dan perlahan-lahan aku lajukan motor, aku tarik kopling kuat-kuat, aku arahkan ke kanan ke kiri setir motor, dan ternyata aku dengan mudah bisa melaluinya.

Sepanjang perjalanan, aku terus berpikir, apa jadinya ketika aku tidak berhasil melawan ketakutannku untuk menaiki gunung. Entah berapa lama aku harus diam terpaku di tengah gunung tersebut hingga ada orang lewat yang bisa menolongku. Seandainya tadi aku tidak mencoba untuk terus berusaha naik, seandainya aku terus membiarkan ketakutanku dan membuatku tidak berani melangkau, mungkin aku tidak akan pernah sampai di atas dan tidak akan pernah sampai di kecamatan. Sesampai di kecamatan, perasaan puas luar biasa menggelora. Ternyata aku bisa melalaui semua medan itu.

***

Yup..memang benar,,satu-satunya cara untuk melawan ketakutan adalah dengan jalan menerjang ketakutan tersebut. Apapun jenis ketakutan itu, just do it your best effort. Pasti akan ada jalan. Begitu pula dengan sahabat-sahabat kecilku di desa. Banyak diantara mereka yang takut tidak bisa melanjutkan sekolah. Banyak kisah sebalumnya, anak-anak di desaku  yang takut tidak mempunyai biaya, akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah.

Tapi sekarang aku bisa berpesan kepada sabahat-sahabat kecilku di sekolah, jangan sekali-kali ketakutan mereka membuat mereka hanya berdiam diri dan menyerah pada keadaaan, tanpa berusaha untuk menerjang semua ketakutan itu. Terus bergerak, bergerak, dan bergerak, ketakutan itu akan hilang dengan sendirinnya, dan ingatlah selalu ada Tuhan yang akan menolong hambanya dan membuka jalan bagi hambaNya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua