Upacara Pertama di Sekolahku

Khaerul Umur 26 Agustus 2011

Upacara bendera. Yah mungkin itu hal yang biasa terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya. Bahkan kegiatan ini hampir menjadi rutinitas yang menjenuhkan bagi siswa-siswi di pulau Jawa. At least saya pernah merasakan kejenuhan itu sewaktu masa sekolah dulu. Menjelang hari Minggu berakhir telah tebayang besok hari Senin. Klebatan-klebatan bayangan tugas, belajar sepanjang hari selama satu minggu, dan upacara bendera.

 

Tapi tidak dengan siswa-siswi SD GMIT Oeulu di Pulau Rote, NTT. Begitu saya mengatakan, “Siapa yang mau ikut upacara bendera?!” Wajah-wajah mereka langsung terlihat sumringah saling menatap satu dengan yang lainnya. Entah apa yang mereka bayangkan ketika mendengar kata, “upacara bendera”.

 

Hari itu juga kami langsung latihan. Waktu itu saya belum terlalu mengenal satu per satu siswa, alhasil ketika saya harus mempersiapkan petugas upacara saya sedikit bingung. Oke, untuk pasukan pengibar bendera dan pemimpin upacara hanya diperlukan beberapa kali latihan saja agar mereka cukup mampu melakukannya. Tapi pembaca pembukaan UUD 1945? Protokol? Saya harus memilih siswa yang benar-benar bisa membaca. Karena percaya atau tidak, di sini siswa yang lulus SD pun masih ada yang belum mampu membaca. Tapi itu tidak menjadi halangan bagi kami untuk mengibarkan bendera merah putih di pulau terselatan Indonesia ini. Dengan semangat anak-anak yang luar biasa, saya yakin mereka bisa melakukannya.

 

Akhirnya berdasarkan usul beberapa anak, terpilihlah laskar petugas upacara pengibaran bendera perdana di sekolah kami. Dalam hati saya berkata, “ini akan menjadi upacara bendera bersejarah bagi mereka.” Dan semoga begitu.

Ternyata perjuangan kami tidak mudah. Disaat anak-anak sudah siap melaksanakan upacara setelah beberapa kali latihan, kami belum bisa mengusahakan adanya tiang bendera. Tapi kami tidak kehabisan akal, jika tidak ada tiang bendera seperti yang dimiliki sekolah lain, kami masih bisa menggunakan tiang bambu.

 

Dalam pembicaraan ringan dengan kepala sekolah dan beberapa guru, saya sedikit menyentil masalah tiang bendera. Saya ingin mereka juga ikut terlibat dalam upacara perdana kami. Harapan itu muncul, betapa senangnya ketika kepala sekolah merespon positif. Dengan penuh harap, Senin depan anak-anak sudah bisa mendapatkan tiang bendera itu. Yihaaa!

 

Bagaikan janji-janji wakil rakyat yang sering orang-orang perbincangkan, kesempatan upacara perdana kami pupus. Hingga hari itu tiba saya belum bisa memberi mereka tiang bendera itu. Kecewa sempat menguasai jiwa. Tapi ini belum berakhir! Anak-anak pun masih bersemangat untuk terus latihan untuk upacara Senin depan. Tapi betapa bodohnya saya, di kesempatan kedua pun saya tidak mampu memberikan hadiah tiang bendera kepada mereka, walau hanya tiang bambu. Sejak saat itu saya sudah enggan lagi membicarakan upacara bendera dengan guru-guru, kepala sekolah, bapak piara, bahkan dengan anak-anak. Saya malu dengan anak-anak. Sudah dua kali saya tipu mereka. Dua kali upacara bendera yang saya janjikan tidak bisa saya tepati. Latihan-latihan yang selalu mereka lakukan saya hargai dengan omong kosong. Bagaimana mereka mau lagi saya ajak latihan untuk sebuah janji upacara palsu!

 

Disaat cahaya meredup, semangatku yang tersisa memberi secercah harapan. Kami pasti bisa! Dengan penuh rasa malu, saya ajak anak-anak untuk kembali latihan. Tentang tiang bendera, cara terakhir yang saya pikirkan untuk mendapatkannya adalah meminjamnya kepada salah satu rumah warga. Dan itu berhasil! Kenapa saya tidak melakukan hal itu dari awal?

 

Sore itu, seperti yang sudah kita sepakati kami akan mengadakan latihan lagi di sekolah. Sebelum waktu yang telah kita tentukan, beberapa kali saya menatap jauh ke arah jalan berharap anak-anak sudah mulai berdatangan. Oke, mungkin mereka akan datang beberapa saat lagi. Saya masih menunggu dengan tenang.

 

Sampai waktu yang telah kita tentukan. Tak kulihat satu anakpun terlihat dari ujung jalan manapun. Padahal mereka selalu datang jauh sebelum waktu yang disepakati. Sambil menunggu semua teman berkumpul, biasanya mereka sempat bermain-main dulu. Bermain petak umpet, bermain jungkat jungkit yang mereka ciptakan sendiri dari pelepah lontar yang dimasukkan ke dalam tembok pagar yang berlubang, memanjat-manjat pohon tua yang ada di sekolah, bermain balapan roda luar sepeda motor bekas yang mereka dorong dengan pelepah lontar, atau sekedar bercengkrama dengan riang. Tidak seperti biasanya mereka seperti ini.

 

Saya duduk seorang diri di halaman sekolah layaknya orang bodoh. Pikran-pikiran buruk kembali berdatangan. Anak-anak benar-benar merasa kecewa. Mungkin mengadakan upacara memang hal yang mustahil. Akalku sudah habis. Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Seketika itu juga saya menyerah. Upacara bendera ini tidak akan pernah terlaksana.

Dan untuk yang kesekian kalinya, sepercik harapan mampu mengorbankan semangatku. Kurang dari satu jam matahari akan tenggekam. Ini belum berakhir. Matahari masih bercahaya. Dengan penuh keyakinan saya melangkahkan kaki menuju rumah anak-anakku, menjemput mereka. Walaupun saya sendiri tidak tahu pasti dimana rumah mereka masing-masing, tapi mungkin saja kebetulan mereka sedang bermain di luar rumah.

 

Dan benar saja, beberapa menit saya menyusuri jalan saya melihat seorang anak yang akan bertugas menjadi pengibar bendera sedang berada di atas pohon sambil membawa sebilah parang. Entah apa yang sedang dia lakukan. Saya langsung berteriak, “Into! Kita janji jam berapa? Ayo latihan! Dimana teman-teman yang lain?” Dengan polosnya Into tersenyum sambil tetap bertengger di atas pohon masih dengan parang dalam genggamannya, “yang lain masih di air pak!” Dan tidak jauh dari tempat Into bertengger, terdengar anak-anak perempuan sedang beraktifitas di tempat mandi umum Pamsimas. Saya melihat ke arah mereka yang untungnya semuanya mandi dengan pakaian lengkap dan berteriak, “Ayo latihan! 15 menit lagi saya tunggu di sekolah ya!” Sontak semuanya berteriak layaknya anak perempuan.

 

Pagi yang cerah datang. Beberapa anak bersama-sama menggotong tiang bendera dari rumah warga dan menancapkannya di depan sekolah. Beberapa petugas upacara tidak datang hari itu, termasuk Into. Segera anak-anak mengisi formasi yang kosong. Dan upacara bendera perdana kami pun akhirnya terwujud. Lucu sekali, Trisan, seorang anak laki-laki bertubuh kecil yang bertugas sebagai pemimpin upacara beberapa kali lupa dengan komando yang harus ia ucapkan. Matanya memandang ke arahku meminta petunjuk, matanya seakan berkata, “saya harus teriak apa?” Dan dari jauh saya hanya bisa berbisik, “iiiistiiiiraaaahaaaat diiii teeeempaaaat...” dengan mulut yang sengaja di gerakkan dengan jelas layaknya berbicara kepada orang yang tunarungu sambil menggerakkan kedua tanganku ke belakang.

Tepat di bulan Agustus, perjuangan kami yang pantang redup akhirnya mampu mewujudkan impian, mengibarkan bendera merah putih di angkasa. Walaupun, perjuangan kami tidak seperti para pejuang kemerdekaan yang berperang menggunakan bambu runcing dan harus bersimbah darah demi berkibarnya sang merah putih. Terimakasih kami ucapkan kepada para pahlawan! Inilah perjuangan kami, putra putri bumi selatan Indonesia!


Cerita Lainnya

Lihat Semua