Mendadak Menjadi Dokter
Shaskia Shinta Rialny 26 September 2014Pertama kali menginjakkan kaki ini di Pulau Matutuang tercinta tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa diri ini akan berhadapan dengan hal-hal yang berbau darah, obat-obatan atau bahkan membantu orang untuk melahirkan. Oh iya, sebelumnya tahu dimana Pulau Matutuang ini? Yap, Pulau Matutuang, sebuah pulau mungil yang menyimpan banyak keindahan, terletak di perbatasan utara Indonesia dengan Filipina.
Letak pulau ini memang jauh dari pulau lain, yang dapat terlihat dari pulau ini hanyalah pulau-pulau satu kecamatan di kluster perbatasan, yaitu Pulau Marore, Pulau Kawio dan Pulau Kemboreng. Itu pun hanya bayangan birunya saja yang kadang terlihat, kadang tidak. Apabila cuaca sedang teduh dan cerah, maka aku akan lompat kegirangan karena dapat melihat pulau-pulau tersebut, yang berarti aku dan pulau Matutuang ini sebenarnya tidak sendiri di tengah lautan. Karena ‘kesendiriannya’ inilah yang mungkin menjadikan puskesmas pembantu yang ada hanya terlihat bangunannnya saja tanpa ada petugas didalamnya. Sehingga, kebanyakan masyarakat Matutuang harus bersabar menggunakan pumpboat atau perahu kayu menuju puskesmas terdekat di Pulau Marore atau menunggu kapal perintis yang datang dua minggu sekali menuju kota kabupaten.
Namun, hebatnya hal tersebut bukanlah penghalang bagi masyarakat pulau untuk membuat obat. Apalagi, masyarakat Sangihe memang terkenal jago dalam meracik obat-obatan alami yang ada di alam. Seperti, yang pernah aku lihat sendiri disana. Saat itu, ada seorang nenek yang sedang mengikis daging sebuah kayu tua yang tidak lagi memiliki daun. Karena heran, aku pun mendekati beliau dan bertanya apa yang sedang beliau kerjakan. Dengan logat dan bahasa yang khas, beliau mengatakan bahwa serpihan daging kayu tersebut akan digunakaannya sebagai obat maag. Selain itu, beliau juga memberitahukan tanaman-tanaman lain yang ada di pulau yang bisa digunakan untuk obat, mulai dari obat sakit kepala hingga asam urat. Wow! berdecak kagum hati ini melihat bahwa dengan sendirinya mereka mampu menemukan obat-obatan dari pulau ini, dari alam.
Tetap saja, secanggih apa pun tumbuhan dan tanaman yang ada di pulau, kehadiran petugas kesehatan dalam satu kampung, bahkan satu pulau sangat dibutuhkan. Anak-anak Pulau Matutuang adalah anak yang sangat senang beraktivitas, mulai dari mandi air laut hingga bermain bola. Banyak dari anak-anak ini yang kerap terluka, karena terkena karang yang tajam, terjatuh saat bermain bola, hingga terjatuh dari pohon kelapa disaat ingin mengambil kelapa muda. Lukanya terkadang sangat mengerikan dan penuh dengan darah. Kalau sudah begitu, aku yang sebenarnya sangat teramat tidak kuat melihat darah akan kalah dengan rasa iba dan takut kalau nanti luka tersebut terkena infeksi atau malah akan semakin parah. Bermodalkan kotak P3K yang diberikan Indonesia Mengajar sebelum keberangkatan, aku segera menemui anak yang terluka layaknya seorang dokter dan mengobati luka tersebut. Berawal dari satu anak lalu berlanjut ke anak-anak yang lain.
Pada awalnya, luka dengan kondisi kuku tercabut adalah yang paling ekstrem yang aku temui, sampai pada akhirnya aku menemui luka yang menurutku betul-betul ekstrem. Pada saat itu, kampung dihebohkan dengan kabar bahwa ada sebuah pumpboat dari Tahuna menuju Matutuang yang mengalami kecelakaan karena pengemudi dan penumpangnya mabuk mencium bau bensin mesin. Masyarakat dengan heboh segera berlari menuju ke Pantai Bangka, tempat pumpboat tersebut bersandar. Betul saja, ada lima orang dalam pumpboat tersebut, dua diantaranya pingsan karena mabuk bensin, sementara yang tiga lainnya hanya mengalami sakit kepala dan mual. Nah, satu diantara yang pingsan tersebut adalah korban yang mendapatkan luka paling parah. Disaat mabuk bensin, tubuhnya terjatuh dan mengenai mesin pumpboat yang sedang berputar. Mesin tersebut merobek daging punggungnya sampai membentuk lubang yang dalam. Hal tersebut membuat mesin berhenti dengan sendirinya, karena sudah tersangkut di punggung si korban.
Darah bercucuran kemana-mana, si korban juga sudah tidak sadarkan diri. Dengan raut wajah yang sangat panik, warga segera membawa si korban ke rumahnya. Seluruh masyarakat pun segera mengerubungi rumah korban untuk melihat bagaimana kondisinya. Aku yang ada di sana pun memandang dengan perasaan ngilu seakan-akan punggung ini juga terluka sama seperti si korban. Tanpa aku sadari, semua mata tertuju padaku, iya, semuanya. Dengan tatapan penuh harap bahwa diri ini mampu mengobati dan menyelamatkan si korban. Setelah ikut menatap satu-persatu masyarakat yang mengerubungi si korban ditambah anggukan mereka, yang artinya mungkin berkata, “Kamu bisa, percayalah!”, aku pun segera mengambil kotak P3K andalan.
Sebelum memulai ‘ritual’ pertolongan pertama tersebut, aku mencuci tangan dihadapan masyarakat yang dilanjutkan dengan ucapan permintaan izin untuk mengobati si korban hanya sebagai pertolongan pertama dan tetap perlu dibawa ke rumah sakit apabila ada kapal, karena sesungguhnya aku juga bukanlah seorang suster atau dokter. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dengan hati-hati aku membuka bungkus kain yang sudah penuh darah untuk melihat bagaimana kondisi lukanya. Pada saat kain terbuka, semua langsung bergidik ngeri, “HIIIIIIIII!”, “TIDAAAAK!”, “OH TUHAN!”, “AAAAAAH!”, begitu pun juga hati ini, ingin rasanya berteriak melihat kubangan darah di dalam punggung yang berlubang, tapi apa daya, karena kalau aku ikut berteriak, bisa-bisa semua malah lari dan bubar. Dengan sikap yang berusaha untuk tetap terlihat tenang alias stay cool, aku menenangkan warga dan si korban, bahwa memang lukanya dalam dan cukup parah, tapi masih bisa diobati.
Akhirnya, aku meminta air hangat kepada ibu si korban dan meneteskan sedikit betadine ke dalam air hangat tersebut untuk membersihkan lukanya. Korban sempat berteriak kesakitan, namun, aku yang sebetulnya juga panik, berusaha menenangkan si korban dengan mengajaknya menarik nafas perlahan-lahan, bahkan seluruh masyarakat yang menonton juga ikut menarik nafas dalam-dalam. Setelah berhasil menempelkan perban, aku pun pamit pulang. Malamnya, aku berkunjung lagi ke rumah korban, untuk membersihkan lukanya kembali, begitu seterusnya sampai lukanya sedikit mengering. Sampai beberapa hari kemudian, tanpa disangka-sangka si korban sudah dapat berdiri bahkan naik motor. Lukanya juga sudah mulai mengering. Semenjak itu, aku dipanggil ‘ibu dokter’ dan disaat ada yang terluka, sebagian dari mereka akan datang untuk minta diobati.
Luar biasa, sepertinya kegiatan Dokter Cilik Matutuang akan semakin sibuk kedepannya. :D
PS : Si korban sudah dibawa ke rumah sakit di kabupaten saat ada kapal bersandar.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda