Jodoh Pilihan untuk Enci

Shaskia Shinta Rialny 16 Oktober 2014

Matahari terasa panas saat menyentuh kulit siang itu, namun saat ku melihat ke arah selatan, ombak di laut bergulung-gulung besar dan menampar-nampar dinding pelabuhan.

“Mahiya anging ini Enci, tadi’e tamata jaga mebae (angin kencang ini Enci, tidak ada orang yang pergi mengail),” kata anak-anak muridku saat kami menuruni tangga sepulang sekolah.

Memang akhir-akhir ini masyarakat di Pulau Matutuang tidak ada yang pergi mengail, sehingga sudah hampir seminggu kami hanya makan seadanya, kadang dengan sayur yang ada di sekitar pulau, kadang juga dengan mi rebus atau mi goreng. Namun, kondisi ini sudah biasa dirasakan oleh masyarakat pulau, termasuk anak-anak sekolahnya, sehingga hal ini tidak menyebabkan mereka menjadi lemas dan lesu di sekolah, justru rasanya tenaga mereka tidak pernah terkuras habis. Saat di kelas, tidak henti-hentinya mereka bergerak kesana-kemari, bertanya tentang berbagai hal yang ingin mereka ketahui, dan bernyanyi mungkin sampai satu album lagu pilihan mereka sendiri. Begitu pun ketika sore, saat sedang les, mereka tidak ada henti-hentinya bersemangat bertanya tentang gambar-gambar yang ada di buku, begitu semangatnya mereka saat menjawab kuis. Satu sama lain, sama-sama mengeluarkan nada kecewa, ketika mereka tidak ditunjuk untuk menjawab. Memang, rasa kompetitif mereka yang tinggi selalu menjadikan saat-saat kuis adalah saat yang seru namun juga menegangkan!

Pukul 18.00 WITA adalah waktunya bagi sebagian kecil anak-anak di Pulau Matutuang untuk les mengaji, kebetulan hari itu adalah jadwal mengaji dan dongeng tentang Nabi dan Rasul. Mereka masih sama semangatnya saat pergi ke sekolah. Dengan penuh semangat, mereka memperhatikanku mendongeng dengan wayang seadanya yang kubuat sesaat sebelum mengaji. Dalam kisah Nabi Sulaiman itu, dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman menikahi wanita cantik, pintar dan solehah bernama Ratu Balqis. Setelah selesai mendongeng, entah bagaimana ceritanya obrolanku dengan anak soleh-solehah Matutuang mengarah ke arah percintaan. Sampai muridku yang manis bernama Florida, mengeluarkan pantun tentang cinta yang menarik, yang isinya :

“Kalau hari belum malam, Jangan dulu pasang pelita

Kalau ilmu belum mendalam, Jangan dulu bermain cinta.”

Weits, semua anak-anak langsung tertawa ramai mendengar pantun tersebut. Aku juga berdecak kagum mendengar pantun tersebut. Sampai akhirnya, aku memberikan nasehat sederhana pada mereka.

“Anak-anak enci yang soleh dan solehah, kalau suatu saat nanti kalian jatuh cinta pada seseorang dan kalian hendak menjadikannya suami atau istri, pilihlah mereka berdasarkan hati dan agamanya, bukan karena penampilan atau fisiknya, karena sesungguhnya hal itu tidaklah bertahan lama. Bagaimana, setuju sama Enci?,” Tanyaku pada mereka.

“Iya Enciiiiii, siaaaaap, pastilah karena hatinya,” jawab anak-anak sambil menunjuk ke arah jantung mereka masing-masing.

Keesokan harinya, kebetulan ada beberapa orang Jawa yang datang ke pulau untuk membangun sebuah gudang ikan. Diantara dari mereka ada yang sudah kakek-kakek yang bertugas untuk mengawasi pekerjaan. Siang itu, aku sedang makan siang ditemani anak-anakku. Saat aku hendak mengambil air sumur untuk mencuci tangan, datanglah kakek dari Jawa tersebut yang hendak mengambil air. Setelah kakek-kakek itu pulang, tiba-tiba anak-anakku senyum-senyum sambil menatapku.

“Ehem Enci, Ehem Ehem,” kata Satrio Mahaling, siswa kelas V.

“Eh, kiapa (kenapa) tio?,” tanyaku penasaran.

“Enci, torang (kita) sudah pilihkan jodoh untuk Enci, kakek-kakek tadi itu Enci, ehem,ehem,” jawab Satrio sambil senyam-senyum.

“Cie Enciiiii, suit suit,” jawab yang lainnya.

“Haha, yaampun, itu kan sudah opa-opa, dia itu kakek Enci,” jawabku sambil tertawa geli.

“Enci, jangan lihat dari fisiknya, tapi lihat dari hatinya. Dia itu bukan opa-opa, keriputnya itu tanda dia sudah dewasa Enci,” jawab Satrio.

“Ehem, kan kata Enci jangan lihat dari fisiknya, itu gigi ompongnya bukan berarti dia opa-opa Nci, itu artinya dia sudah jadi lelaki dewasa, coba lihat hatinya Nci,” tambah anak-anak yang lain sambil senyam-senyum.

Sungguh, saat itu aku tertawa geli mendengar jawaban mereka. Jawaban iseng mereka  untukku yang begitu polos dan penuh makna. Aku sangat senang karena walau mereka berlari kesana-kemari saat aku menjelaskan ini dan itu, mereka ternyata mendengarkan dan memahami dengan cara mereka sendiri.

 Ya, sejak saat itu, setiap opa-opa itu lewat, mereka selalu mengatakan hal yang sama.

Itu jodoh pilihan kita buat Enci, bukan opa-opa dia Nci, jangan lihat dari fisiknya, tapi dari hatinya Nci. Torang pun begitu nanti, akan lihat dari hatinya”

**(Enci adalah panggilan untuk guru perempuan yang masih belum menikah di Matutuang)


Cerita Lainnya

Lihat Semua