info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Refleksi Seorang Guru #3: "Pak Senja kok mau ke Rote?"

Senza Arsendy 16 Oktober 2014

Waktu saya masih menjadi mahasiswa baru, Anies Baswedan—yang saat itu sedang naik daun, datang ke FEUI untuk sosialisasi program baru yang digagasnya, Indonesia Mengajar. Apalah itu Indonesia Mengajar, saya tidak terlalu paham. Saya datang ke FE, benar-benar hanya untuk melihat langsung tokoh idola saya, jika memiliki keberuntungan maka saya ingin berjabat tangan dengannya. Seorang diri saya datang ke auditorium FE. Ingat saya, saat itu ruangan tidak terlalu ramai. Kondisinya sangat berbeda dengan acara-acara yang didatangi oleh Pak Anies belakangan ini.

Pak Anies membuka seminarnya dengan memaparkan kondisi pendidikan di Indonesia. Beberapa fakta statistik digunakan untuk menggambarkan betapa bermasalahnya pendidikan di negeri ini. Setelah berbagai permasalahan pendidikan dipaparkannya, Pak Anies mengatakan bahwa masalah pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah janji kemerdekaan yang harus dilunasi. Puncaknya, Pak Anies mengatakan bahwa mendidik adalah tugas setiap orang terdidik.

Saat itu Pak Anies tidak saja membuat penggemarnya makin terkagum-kagum, namun juga mampu membuat penggemarnya—yang masih kuliah semester awal, bertekad bulat untuk ikut gerakan Indonesia Mengajar setelah dia lulus.

Meskipun gagal berjabat tangan dengan Pak Anies, selama di Bikun saya banyak tersenyum. Rasanya ingin segera cepat-cepat lulus.

***

Awal 2013, ternyata kehidupan setelah lulus tidak seperti yang dibayangkan. Hidup tidak lagi tentang kita, melainkan juga tentang orang-orang lain di sekeliling kita, misalnya keluarga. Maka rencana saya untuk ikut Pengajar Muda angkatan 7 terpaksa saya batalkan karena harus bekerja di perusahaan. Saya bekerja di salah satu perusahaan otomotif sebagai management trainee.

Hampir satu tahun bekerja, saya kembali mendengar kabar tentang rekrutmen Pengajar Muda. Tanpa beban saya membuat akun dan mendaftarkan diri. Ternyata beban datang kemudian, itu sebabnya saya tidak kunjung melengkapi syarat pendaftaran menjadi Pengajar Muda. Benarkah saya siap berhenti dari pekerjaan sekarang yang sebenarnya sudah cukup memberikan saya kenyamanan, terutama secara finansial? Benarkah saya siap meninggalkan keluarga selama satu tahun ke depan, saat mereka justru membutuhkan saya? Dua pertanyaan tersebut baru mantap saya jawab di hari terakhir pendaftaran Pengajar Muda. Saya melengkapi semua syarat—puluhan pertanyaan esai yang harus dijawab. Saya tidak terlalu yakin akan lolos. Bagaimana pun itu hasilnya yang penting saya sudah berusaha untuk (kembali) meraih impian saya yang  muncul sejak saya menjadi mahasiswa baru.

Singkat cerita, setelah dua bulan mengikuti proses rekrutmen menjadi Pengajar Muda, saya dinyatakan lolos. Saya berhenti dari pekerjaan, meyakinkan keluarga, dan memulai karantina. Saat karantina saya tahu keputusan untuk ikut Indonesia Mengajar tidak akan pernah membuat saya menyesal. Lagi-lagi Pak Anies membuat saya terkagum-kagum dengan gerakan yang diinisiasinya ini. Saya kagum dengan Indonesia Mengajar sebagai LSM. Saya mendapatkan banyak sekali ilmu dan kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang hebat. Saya mendapatkan jauh lebih banyak dari apa yang saya pikirkan—padahal masih karantina, belum penempatan. 

Sebulan setelah karantina, kabupaten penempatan diumumkan. “Kayanya di Rote Ndao deh Mas.” Jawab saya asal saat fasilitator bertanya feeling saya akan ditempatkan dimana.

***

Hari ini adalah tepat 4 bulan saya berada di  penempatan. Tidak menyangka feeling saya benar bahwa saya akan ditempatkan di kabupaten paling selatan di Indonesia, berada di sebuah pulau kecil yang berbatasan langsung dengan Australia, kabupaten Rote Ndao. Banyak hal tidak terduga yang saya dapatkan selama empat bulan ini. Jauh lebih banyak dari yang saya dapatkan di karantina. Tidak berlebihan rasanya memang jika Pengajar Muda sebelumnya banyak yang  bilang bahwa sekali pun Pengajar Muda membawa nama Indonesia Mengajar, sekali lagi mengajar. Justru Pengajar Muda yang jauh lebih banyak belajar, baik yang sifatnya hardskill maupun softskill.

Sebagai satu-satunya Muslim di desa—meskipun sebenarnya masyarakat sangat memberikan toleransi, saya tetap harus mampu beradaptasi dengan baik. Penting bagi saya untuk menyampaikan prinsip-prinsip saya tanpa menyinggung masyarakat sekitar. Oleh karena saya satu-satunya Muslim di desa, biasanya jika di desa akan ada acara saya dipanggil untuk menyembelih hewan. Ya, saya belajar menyembelih hewan. Medan menuju desa menuntut saya untuk bisa mengendarai motor di jalan yang rusaknya parah. Saya belajar lagi. Berbagai tugas yang harus saya jalankan, mulai dari yang di dalam kelas hingga luar kelas juga menuntut saya untuk belajar memanajemen waktu agar semua tugas dapat diselesaikan dengan baik. Saya juga belajar untuk memperluas zona nyaman saya. Jika sebelumnya saya bisa memilih hal-hal yang memang nyaman untuk saya. Selama menjadi Pengajar Muda, saya belajar banyak untuk membuat hal-hal yang tidak nyaman menjadi nyaman untuk saya. 

Di sekolah, saya belajar tentang kesabaran dan ketekunan. Awal saya datang ke sekolah, saya menggebu-gebu untuk segera mengubah entitas perilaku aktor-aktor di sekolah. Saya ingin guru tidak lagi menggunakan kekerasan baik verbal maupun fisik. Saya ingin murid aktif belajar baik di dalam maupun luar kelas. Saya ingin apa yang belum ideal di sekolah segera menjadi ideal. Nyatanya? Tidak semudah itu mengubah hal-hal yang sudah mengakar. Saya belajar bersabar sambil terus tekun berusaha. Saya ingat Pak Anies pernah bilang bahwa banyak perubahan yang tidak bisa terlihat dalam waktu dekat. Bisa jadi lima atau 10 tahun atau bahkan lebih perubahan itu terlihat. Maka, jika kita optimis Indonesia akan berumur panjang, satu-satunya pilihan adalah terus tekun untuk mewujudkan perubahan-perubahan itu. Saya belajar juga untuk berpegang teguh pada prinsip. Bukan sekali, dua kali prinsip saya digoyahkan bahkan oleh orang-orang yang seharusnya mendukung saya. 

Tentang hidup, saya belajar dari murid-murid. Bahwa kebahagiaan itu memang subjektif. Semua orang bisa merasakan kebahagiaan sekalipun dalam keterbatasan. Saya menyaksikan sendiri, meskipun (beberapa) murid saya hidup tanpa listrik, tidak ada media hiburan di rumah, setiap hari makan nasi dan sawi—bahkan beberapa kali nasi kosong, berjalan jauh menuju sekolah, harus memikul air atau membantu orang tua memasak gula, mereka terlihat seperti bahagia. Jarang sekali murid datang pada saya untuk mengeluhkan beban hidup mereka—yang bahkan barangkali jika bebannya dipindahkan ke saya, saya tak bisa menanggungnya.

Senin beberapa Minggu lalu—saat saya sedang mengadakan les di dusun paling jauh dari sekolah, seorang murid kelas enam tetiba bertanya pada saya, “Pak, kok mau ke Rote? Pak kan di Jakarta su senang.”

Ah, Yanson! Asal Yanson tahu, Pak di sini juga senang. Pak kadang memang sedih karena harus jauh dari keluarga. Pak sedih tidak bisa datang ke acara-acara istimewa teman Pak. Walaupun kadang kalian suka nakal sama Pak, tidak menurut. Tetapi, Pak di sini juga senang. Pak senang bermain sama kalian. Pak senang saat pulang sekolah Pak dan anak-anak lainnya berlomba cepat sampai ke rumah. Pak juga senang saat medengar kalian menyanyi lagu-lagu sekolah minggu. Suara kalian bagus. Beberapa kali saat kalian berdoa sambil menutup mata, Pak sengaja merekam. Pak senang melihat kalian sangat khusyu berdoa. Pak juga senang bercanda dengan kalian, main tebak-tebakan. Pak makin senang saat kalian tidak bisa jawab tebakan dari Pak. Yanson, pokoknya Pak senang di sini. Pak bisa dengar kicauan burung setiap pagi. Pak bisa melihat matahari dan bulan yang sangat bagus. Pak bisa setiap saat main ke pantai Rote yang masih bersih. Pak di Jakarta memang senang, tetapi di Rote Pak juga senang.

“Nanti kalo Pak son ke Rote, yang datang ke Oelangga untuk ajar kalian siapa? Siapa yang akan ajar Pramuka ju?” Saya balik tanya ke Yanson sambil memasukan laptop ke dalam tas, menyudahi les sore itu. “Son ada Pak!” Jawab Yanson dengan senyum. 

“Nah kan. Itu sudah. Ya sudah ya, Pak pulang dulu. Su gelap nanti Pak bahaya.” Saya mengambil motor, lalu pulang. 

Walau makan susah, walau hidup susah, walau tersenyum pun susah. Rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan. Oh ku bahagia. (Sherina-Ku Bahagia).


Cerita Lainnya

Lihat Semua