info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Memoles 'Mutiara' dari Halmahera

Shally Pristine 12 September 2011

 

(Tulisan ini saya buat ketika masih menjadi wartawan. Diterbitkan di Harian Republika, 20 Februari 2011.) 

Tersebutlah desa bernama Pelita, di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Desa itu menjadi tempat Rahmat Danu Andika (24 tahun) menceburkan diri untuk mengajar sejak November lalu. Untuk mencapai Pelita dari Jakarta, Andika harus terbang sekitar 4,5 jam sampai mendarat di Bandara Sultan Baabulah, Ternate.

Dari sana, perjalanan dilanjutkan menggunakan kapal laut dengan waktu tempuh delapan jam ke Pelabuhan Babang, Pulau Bacan. Dari pelabuhan, masih harus menyambung moda kendaraan darat selama 30 menit untuk sampai ke ibu kota kabupaten di Labuha. Perjalanan belum berakhir karena untuk mencapai Pelita dari Labuha, Andika harus menumpang kapal cepat selama dua jam.

Pelita adalah desa kecil di pesisir Pulau Mandioli. Luasnya tak lebih dari 10 kali lapangan sepak bola. Mata pencaharian utama penduduknya adalah nelayan atau petani. Karena Mandioli amat terpencil, kata Andika, pulau itu belum masuk dalam peta Maluku Utara.

Bahkan, untuk bisa terhubung dengan dunia luar, dia harus menjemput sinyal operator seluler sampai ke ujung dermaga. Di seantero Pelita, hanya di sana yang masuk jangkauan operator. "Itu pun kalau beruntung, sinyalnya hanya sebatang," katanya kepada Republika sambil tergelak, ketika dihubungi, beberapa waktu lalu.

Di sana hanya ada satu sekolah dasar yang bernama SDN Ambatu Pelita. Inilah tempat Andika menjadi pengajar. Dia bercerita, potret pendidikan di SDN Ambatu jauh berbeda dengan suasana di perkotaan. Dari sisi kualitas pengajar, jelas tertinggal jauh. Bila di Jawa amat jamak seorang guru SD berpendidikan tinggi, sementara di SDN Ambatu hanya dia yang sudah bergelar sarjana.

Belum lagi, guru-guru kelas kerap harus meninggalkan tugasnya mengajar karena mengurus proses pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ke Labuha. Padahal, kapal Pelita-Labuha hanya ada tiap Senin dan Kamis. Alhasil, dalam sepekan, selalu ada jam-jam pelajaran kosong di kelas yang mereka tinggalkan. Andika bertugas mengisi kekosongan ini.

Urusan lain, soal-persiapan mengajar. Guru-guru di SDN Ambatu tidak terbiasa membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai bekal memasuki kelas. Akibatnya, setiap hari kegiatan belajar-mengajar yang baru berjalan tiga jam langsung buntu. "Bagi mereka (guru yang lain), RPP itu terlalu rumit. Tapi, tanpa itu, baru jam 10 mereka sudah enggak tahu mau mengajar apa," katanya.

Di hari-hari pertamanya mengajar, Andika sempat heran menemukan beberapa anak kelas empat yang belum bisa melakukan perkalian sederhana. Sementara itu, di kelas enam, dia pun menemukan ada sejumlah siswa yang tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia. Padahal, dalam beberapa bulan lagi mereka harus menghadapi ujian akhir penentu kelulusan.

Namun, sekian banyak kenyataan menyesakkan itu tak menyurutkan semangat Andika. Dia justru menemukan mutiara-mutiara lain di Desa Pelita. Malangnya, anak-anak potensial ini justru kerap ternafikan sistem pendidikan konservatif yang ada sekarang. Dengan polesan yang tepat, anak-anak ini siap bersinar hingga cemerlang.

Salah satu mutiara itu bernama Ismail Ahmad (11 tahun). Siswa kelas lima ini termasuk salah satu yang tak pandai baca tulis tadi. Andika menduga, itu lantaran rabun jauh yang membuat Ismail tak bisa mengikuti pelajaran di papan tulis. Namun, karena Ismail diurus oleh neneknya yang tidak terlampau mengerti soal kesehatan, kelainan itu tak pernah ditangani.

Di mata penduduk Pelita, Ismail dicap anak yang bodoh karena tak bisa membaca. Namun, berbeda bagi Andika. Andika menuturkan, suatu kali dia pernah melihat Ismail menemukan dinamo mobil mainan. Andika membuntuti Ismail yang tampak demikian penasaran membuat alat itu bekerja. Singkat kata, tanpa banyak bertanya, Ismail berhasil menghidupkan dinamo itu.

Ternyata, rasa penasaran Ismail belum padam sampai di sana. Anak yang ditinggalkan orang tuanya setelah bercerai itu menemukan sebilah silet bekas. Andika bercerita, Ismail mematahkan silet itu menjadi dua bilah dan mengikir lubang di bagian tengahnya. Kedua bilah itu kemudian disusun membentuk palang dan dipasang di sumbu dinamo. Ismail sukses membuat mesin pemotong rumput.

Dengan mesin ciptaannya, Ismail memangkas rapi rumput di depan sekolah dan menunjukkan hasil kerjanya kepada Andika. Anak yang telanjur dicap bodoh oleh masyarakat itu justru mampu melampaui daya pikir anak seusianya. "Tadinya saya pikir, paling Ismail akan membuat kipas angin. Tapi, dia justru membuat mesin potong rumput. Yang dia lakukan itu sudah setingkat engineering," katanya.

Wajar saja bila Andika kagum atas nalar engineering milik Ismail. Andika memang seorang sarjana teknik lulusan Institut Teknologi Bandung. Dia terpanggil untuk mengajar di pelosok Indonesia lewat program Indonesia Mengajar besutan Anies Baswedan. Sebelum menjadi pengajar, dia sempat bekerja di perusahaan pertambangan batu bara milik Ilham Habibie.

Anies menggagas program terobosan ini lantaran melihat berderet-deret masalah di dunia pendidikan Indonesia. Dia memilih mengirim pemuda-pemudi untuk mengajar ke pelosok. Karena senyatanya, guru adalah garda terdepan dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Dalam pemberangkatan pertama November lalu, Indonesia Mengajar mengirim 51 pengajar muda, termasuk Andika.

Indonesia Mengajar, kata Anies, tidak berpretensi menyelesaikan semua masalah pendidikan yang ada. Mereka mengisi ceruk pendidik SD karena tingkat pendidikan inilah yang paling banyak mengalami kekurangan sumber daya manusia. "Sebanyak 66 persen SD di Indonesia kekurangan guru," kata pria yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina ini.

Di sisi lain, Anies menginginkan calon pemimpin Indonesia memiliki pemahaman sebenarnya mengenai kondisi di akar rumput. Karena itu. dia mengundang pemuda-pemudi terbaik Indonesia untuk bergabung. Anies menginginkan karakter termumpuni yang hadir sebagai pengajar di pelosok karena kelak mereka tak sekadar mengajar. Mereka akan menginspirasi, menjadi panutan," ucapnya.

Perlahan keinginan Anies mencapai kenyataan. Masyarakat di pelosok seperti Pelita sekarang lebih melek pendidikan. Andika berkata, murid-muridnya kini punya kosakata baru dalam cita-cita. Ismail malah bisa berkata mantap kalau dia ingin menjadi insinyur. "Bapak seorang murid saya pernah bertanya, apa mungkin anaknya cukup pintar untuk bisa kuliah seperti saya," tuturnya.

Masa tugas Andika sebagai pengajar di Pelita tidaklah lama, hanya setahun seperti kontraknya dengan Yayasan Indonesia Mengajar. Namun, dia mengajak kepala sekolah dan rekan guru yang lain untuk memperbaiki sarana dan prasarana lunak sistem pendidikan, seperti membuat RPP berformat sederhana. Dengan demikian, Andika berharap keberadaannya mampu meninggalkan jejak.

Andika berencana melanjutkan pendidikan master di bidang kebijakan publik selepas menggenapi masa baktinya di Pelita. Dia yakin, pengalamannya di Pelita yang melelahkan, tapi inspiratif dan membahagiakan, akan menjadi modal berharga dalam meniti rencana hidup. Dia bersyukur pernah menjadi pemoles mutiara-mutiara berharga dari Desa Pelita di gugus Kepulauan Halmahera. (shally pristine)

***

Beberapa bulan lalu, Andika sempat menulis twit bahwa Ismail sudah dibelikan kacamata sehingga sudah lebih baik dalam mengikuti pelajaran. Namun baru-baru ini Andika menulis bahwa dia terpaksa tidak menaikkelaskan Ismail pada tahun ini karena terlalu memaksakan ketertinggalan.

Andika menganggap potensi Ismail akan lebih maksimal bila mengulang pelajaran untuk mengejar kompetensi kelas lima. Kabar gembiranya, sejauh ini Ismail tidak minder atau patah semangat atas keputusan Andika. Jika ada teman-teman yang ingin menyemangati Ismail, silakan titipkan pesan lewat komentar pada tulisan ini. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua