Fakfak, The Gates of Papua (1): Arguni Expedition

Arif Lukman Hakim 3 September 2011

Akhirnya kami menutup Ramadhan dan membuka Syawal di Fakfak, potongan kota karibia yang terdampar di Indonesia. Awal bulan ini kami akan berkumpul seperti yang diagendakan, bertemu sebulan sekali di pusat kota untuk koordinasi dan melepas liburan.

Urusan kali ini cukup bervariasi. Hal utama yang akan kami kerjakan adalah memenuhi undangan bupati untuk bersilaturahim dan berencana menawarkan ide untuk kegiatan selama kami mengabdi di kota pala ini.

Setelah disambut ramah di “rumah negara”, kesimpulan akhir adalah kami tersenyum! Terjadi sinkronisasi yang mengejutkan antara kegiatan yang akan kami lakukan dengan apa yang direncanakan bupati. Mission completed!

Misi selanjutnya adalah liburan lebaran. Kami berencana mengunjungi Arguni, salah satu pulau tempat pengajar muda mengabdi. Sore itu, ditengah liukan jalan menuju Distrik Kokas, kami duduk sekitar 1,5 jam di atas bus menuju ke pelabuhan, tempat yang ditentukan oleh tuan rumah yang akan menjemput kami.

Angin pelabuhan telah menelisik rambutku. Air garam, istilah untuk air laut, telah membentang di depan. Oke, inilah yang aku tunggu, ingin merasakan ombak menuju Pulau Arguni, apakah sama dengan ombak menuju pulauku di Distrik Karas?

Ooo, ombak di sini jauh lebih tenang daripada di kampungku. Sore itu laut benar-benar teduh, ibarat kolam. Kuputuskan untuk menangkap landscape kepulauan yang melingkar di ujung-ujung air laut di atas longboat yang aku tumpangi. Ah, Papua memang cantik! Gundukan kepulauan di sini bervariasi, layaknya kontur kepulauan Papua pada umumnya. Tetapi sebelum sampai di Arguni, kita akan melewati tebing-tebing pulau yang penuh pesona. Ada sebuah tebing yang menjadi daya tarik bagi orang yang baru melintas. Tebing itu tertempel bekas cap tangan peninggalan nenek moyang yang umurnya mungkin sudah ratusan tahun.

Dan sore itu kami juga disuguhi sunset yang ranum selain ramahnya senyum masyarakat Arguni. Maria Jeanindya, bisa dipanggil MJ atau Ucup, hidup di keluarga sederhana. Bapak angkatnya adalah tukang, dan ibunya adalah ibu rumah tangga, mereka berdua sama-sama pelaut, layaknya masyarakat kepulauan lainnya. MJ juga hidup bersama 3 adik angkatnya. Sambutan hangat kami temui di rumah sederhana ini. MJ mengajar di SDN Arguni, melengkapi 3 guru yang ada di sini.

Arguni adalah kampung muslim. Di sini masih ada raja yang berkuasa selain sistem pemerintahan yang dijalankan seperti kampung pada umumnya. Karunia yang diturunkan Tuhan untuk warga Papua kurasakan di sini; alam yang mempesona dan masyarakat yang ramah. Surga ikan juga layak disematkan untuk Arguni. Tak perlu keahlian khusus untuk memancing di sini. Ikan yang akan didapat adalah sejumlah mata kail tanpa umpan yang kita lempar ke air laut. Saat aku di sana mendapatkan 7 ikan sekali tarik.

Di sekitar Arguni, tak terhitung jumlah pulau-pulau kecil yang mengelilingi. Salah satunya adalah Pulau Kambing, pulau berpasir putih tanpa penduduk yang kami singgahi selama berkunjung ke Arguni.

Kepulauan di sini cukup bagus pemandangan bawah airnya, itu terlihat saat aku mencoba snorkeling di perairan dangkal di sekitar pulau. Sayang, belum ada dive center yang bisa menjawab rasa penasaran tentang kandungan biodiversity di daerah kepulauan ini.

Alami, karena belum terjamah sama sekali, itulah potret alam secara umum yang ada di Fakfak. Kami beruntung ditempatkan di sini, menjamah belahan bumi yang menjadi gerbang pulau besar bernama Papua. Kehidupan masyarakat yang sederhana dan penuh keharmonisan semakin memperkuat langkah kami, berusaha sekuat tenaga membantu situasi keterdidikan di garis-garis penjuru negeri ibu pertiwi.

Foto-foto saat kami di Arguni ada di sini


Cerita Lainnya

Lihat Semua