Puncak Kerinduan

Shally Pristine 20 Juni 2011
Wings Air tipe ATR 72 menggeram pelan ketika mengambil ancang-ancang di landasan pacu Bandara Ngurah Rai, Bali. Dalam satu lesatan, kedua baling-baling pesawat itu membawa rombongan terakhir Pengajar Muda (PM) Bima dan 69 penumpang lainnya mengangkasa, 17 ribu kaki dari permukaan laut. Pada 16 Juni 2011 pukul 11.24 WITA, kami berangkat menuju Bumi Asi Mbojo. Dari ketinggian itu, ke-9 PM Bima bisa melihat betapa Tuhan telah memahatkan Nusantara yang indah untuk Indonesia. Tebing padas yang tegas beradu dengan ombak percik-memercik. Laut biru kehijauan dengan terumbu karang yang seakan mengundang datang. Ada pula puncak-puncak gunung yang menyembul di antara jumputan awan. Tak heran bila tahun lalu tujuh juta wisatawan mancanegara tergiur singgah di negara kita. Namun ketika ATR 72 menukik mendekati bumi, kami melihat wajah lain Nusantara. Barisan bukit yang mulai gundul menampakkan tanah kecoklatan di antara sisa pepohonan yang menggerombol. Hutan lebat di barat Sumbawa kini sudah bersalin rupa menjadi sebentuk ceruk tambang emas raksasa yang menganga, tak mungkin pulih seperti sedianya. Para petani garam banting tulang mengumpulkan hasil kerja hari ini di pojok-pojok pematang ladang. Pijakan pertama kami di Bandara Sultan Salahuddin, Kota Bima, ditingkahi angin kencang mengibaskan. Tidak ada gempita sorak-sorai, seperti di daerah lain, sebagai penyambut kedatangan kami. Adalah segelintir amtenaar proletar berbaju coklat yang menanti di pintu terminal kedatangan. Mereka menjabat tangan kami, erat. Tak apa, itu pun memadai sebagai pertanda baik bahwa mereka mau bersama memperbaiki diri. InsyaAllah cukup jadi bekal kami selama setahun nanti. Saya ingat, hari itu linimasa saya bertabur pujian perihal "dedikasi" kami. Kira-kira isinya, banyak yang menaruh kagum dengan pilihan yang kami ambil. Alhamdulillah, sungguh segala puja-puji yang sejatinya milik Sang Dia telah membuat langkah ini makin ringan. Namun, ada pula komentar nyinyir mengenai apresiasi kelewat batas yang dialamatkan kepada kami. Hmmm, begini. Berbukit penghormatan tadi bukanlah tujuan saya, demikian pula saya kira bagi ke-122 teman lainnya. Terlebih, saya merasa belum layak disematkan penghargaan apapun karena perjalanan saya di sini barulah mulai. Entah komentar macam apa yang berseliweran di luar sana. Namun izinkan saya, dengan cara ini, mencintai Indonesia. Sudah lima hari berselang sejak para PM berpencaran ke 72 titik di Indonesia. Komunikasi makin terbatas. Satu per satu kawan mulai tak bisa dihubungi selancar biasanya. Ketika pesan tidak lagi bisa terkirim, telepon tidak lagi bisa tersambung, internet tidak lagi bisa terhubung, maka puncaknya kerinduan adalah ketika kita saling mendoakan. *** (Gang II Dusun SP3 Oimarai, Desa Kawindatoi, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat; 19 Juni 2011, ketika malam beranjak pekat dan langit banjir bintang.)

Cerita Lainnya

Lihat Semua