“Ibu mau basholat? Kita* mau lihat ya...” (*baca : saya)

Sazkia Noor Anggraini 31 Juli 2011
“Ibu mau basholat? Kita mau liat ya...”. Pertanyaan itu terlontar dari Ega, seorang muridku, duduk di kelas tiga dan satu rumah denganku. Sebentar kemudian, Ega sudah mengekor di belakangku, menungguku menyeka sisa air wudhu di muka dan tanganku. Ega sudah tahu tempat sajadahku, ia langsung mengaturnya dan memberikanku “rok besar”, mukena maksudnya. Baru pertama kali Ega melihat gerakan sholat secara nyata. Dia mengambil posisi di sampingku. Dengan arah yang salah, dia menggelar alas seperti sejadahku dan melakukan gerakan yang sama denganku. Selesai sholat, Ega juga yang membantuku melipat sajadah dan tersenyum sambil berkata, “Ibu sudah selesai berdoanya ya?”. Waktu malam tiba, kuminta Ega untuk tidak lupa berdoa dan begitupun dia yang mengingatkanku untuk berdoa. Ega melafalkan Doa Bapa Kami dan aku berdoa sebelum tidur dalam hati. Ega dan sekitar seribu lebih jumlah penduduk di kampung ini beragama Kristen Protestan. Banyak diantara mereka yang belum pernah merasakan bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama. Pengalaman hidup bersamaku adalah pengalaman pertama orang-orang Kalama. Aku, satu-satunya muslim di pulau ini. Satu-satunya yang mereka ketahui tentang Islam dan kebiasaan-kebiaasaannya hanya dari sinetron yang jadi tontonan favorit di sini. Malam itu, sebelum tidur Ega berkata, “Ibu, kita ingin basholat seperti Ibu”. Aku agak gelagap menjawabnya. Sebersit kupikir itu artinya dia tidak tahu ada perbedaan cara berdoa diantara aku dan Ega. Akhirnya kubilang begini, “Ega kan sudah berdoa dengan cara Ega seperti tadi, basekolah minggu, basabtu gembira (kegiatan ibadah untuk anak-anak), dan pigi (baca : pergi) gereja. Berbeda dengan Ibu yang sholat dan pergi ke mana?” pertanyaanku kepadanya. Ega menggeleng tidak tahu. Aku melanjutkan, “Sekarang Ibu pingin tahu, kalo Ega agamanya apa?”. Ega menggeleng lagi. Aku menelan ludah, bahkan Ega tidak tahu ia beragama apa. Ia hanya tahu bahwa anak yang baik harus pigi basekolah minggu, basabtu gembira, membawa derma untuk persembahan dan senang kalau pakai baju baru saat natal tiba. Maka tidak heran, ritual sholat-ku menjadi sesuatu yang menarik bagi Ega karena sangat berbeda dengan apa yang dialaminya. “Ibu tidak menyanyi dan kasih kuat ibu pe suara waktu basholat?”, tanyanya lagi penuh rasa penasaran. Aku mengelus dada dalam hati. Akhirnya, aku menceritakan Ega se-konkret mungkin hal yang paling abstrak di dunia ini, yaitu kepercayaan beragama yang beragam. Yah, menjelaskan perbedaan agama di tengah keseragaman beragama yang seolah taken from granted memang sulit. Sifatnya yang abstrak agak sulit diterima anak seumuran Ega yang berpikir dalam ranah konkret. Aku jadi mengingat-ingat saat ibuku bercerita kenapa kita harus hidup berdampingan meski berbeda agama. Tapi, tugas ibu waktu itu tidak berat karena di wilayah perumahan tempatku tinggal ada Pura yang selalu dibanjiri umat Hindu saat hari galungan dan kuningan tiba. Aku selalu tertarik dengan Klenteng karena jarang sekali bisa menemukan bangunan meriah yang artistik seperti itu di Jakarta. Ibu juga bisa menunjuk si Engkoh di depan rumah yang saat imlek selalu memberikan kami sekeluarga kue bulan. Begitupula dengan gereja, aku bahkan melintasinya setiap hari. Tapi tidak di sini. Berjarak ribuan kilometer dari tempatku dilahirkan, tidak ada bunyi adzan, tidak ada sepi saat nyepi, apalagi suasana meriah saat imlek. Di sini, semua orang lahir dengan nama baptis diikuti nama fam dibelakangnya. Setiap anak yang lahir harus memiliki orang tua serani (orangtua baptis) dan membaca alkitab pun sempat disebut mereka sebagai hobi. Tidak ada pertemuan pemuda, PKK, arisan ibu-ibu ataupun rapat bapak-bapak membahas pembangunan dan permasalahan desa. Hanya ada ibadah pemuda, ibadah kaum ibu, ibadah kolom, dan ibadah pelka pria (bapak-bapak). Semua ibadah itu diatur dalam jadwal yang rinci. Bunyi lonceng menjadi tanda ibadah sebentar lagi akan dimulai. Semua pembicaraan mengenai desa dilakukan seusai ibadah. Hal ini pulalah yang membuatku "rajin beribadah" setelah berada di sini. Dalam sebentar saja, orang-orang sudah mengenalku sebagai guru muslim yang berbicara di depan mimbar gereja. "Ibu, ajari kami di sekolah minggu ya..." pinta Oce, kelas lima yang ingin diajarkan lagu-lagu pujian oleh guru barunya ini. Lalu kubilang, "Wah, mana mungkin, ibu kan tidak hapal...". Oce pun mengerinyitkan kening pertanda bingung, mungkin di dalam hatinya ia berujar "kok, bisa sih ibu guru tidak tahu ?” Setelah doa terakhirku di malam ke-31 -Sazkia Noor Anggraini- Pengajar Muda Angkatan 2

Cerita Lainnya

Lihat Semua