The Journey Begin...
Sazkia Noor Anggraini 27 Juni 2011Hari itu Rabu. Bukan kebiasaanku memilih rabu sebagai hari berpergian, setidaknya dari yang perjalanan yang membekas selama hidupku. Aku bangun sengaja pagi dengan hati getir menyadari kalau hari itu aku benar-benar harus meninggalkan zona nyamanku. Aku sudah mandi saat berita pagi baru dimulai, sesuatu yang di luar kebiasaan. Ketidakpastian akan sekolah penempatanku membuat gusar lebih dari memastikan seseorang menyapaku di ruang skype. Kukabarkan berita tidak jelas itu ke pihak yang kupikir bisa membantuku. Namun entah semesta mana lagi yang kini mendukungku, telepon asing tiba-tiba menambat di layar genggamku. "Adik, ini ibu Kepala Sekolah", sapa suara di seberang ramah. Aku kebingungan sekaligus kegirangan, karena aku tahu ini pertanda baik.
Yah, akhirnya kabar yang dinanti tiba juga. Setelah aku sampai di Kalama, aku tahu memang benar adanya masalah komunikasi di sini, di pulau ini, di mana aku menaggalkan prioritasku. Kami menumpang taxi laut. Yah, taxi laut namanya. Kugambarkan peristiwanya seperti ini. Jam sebelas, di mana seharusnya Kepala Sekolah tetangga pulauku menjemput aku kebingungan dan mencoba mencari tumpangan menuju pelabuhan. Kupikir jadwal jam sebelas itu adalah jadwal berangkat. Ternyata, jam sebelas itu muatan baru dimasukkan. Mobil pertamina yang berisi minyak tanah diparkir di bibir pantai. Kupikir, "sejak kapan kapal berbahan bakar minyak tanah'e?". Ternyata, puluhan galon dan dirigen minyak telah siap diisi untuk diangkut ke pulau tujuan, Kahakitang dan Para. Setelah minyak, silih berganti naik kardus-kardus, telur, beras, gula, tak henti-hentinya. Ini membuat bawaan kami yang "hanya" carrier dan kardus berisi buku jadi "dinomorduakan". HIngga jam 12, barang bawaan kami masih "duduk manis" di samping sak semen. Aku mulai tambah gusar, dari curious menjadi jealous, "Apa karena kita bukan orang sini ya? Kok nggak dinaik-naikin sih tu barang", batinku.
Tapi seketika kecemburuan itu berubah jadi keprihatinan. Aku masuk ke dalam taxi dalam langkah yang berduyun hampir jatuh tertiup angin. Di dalam taxi, sekitar empat orang dengan kaki kapalan dan peluh yang menghitam bolak-balik memanggul barang bawaan. "Ini sih namanya truk laut, bukan taxi laut", gumamku lagi. Kuputar senyumku ke sekeliling. Sebagian bapak-bapak menatapku dengan tajam, mereka ini yang duduk di buritan dengan bau pesing. Kuperhatikan, dari banyak yang kuberikan sedikit senyum, hanya ibu guru dari Para yang " menyambutku". Keadaan mencair saat kubilang, aku adalah guru bantu, akan berada di Kalama selama satu tahun. Satu per satu ibu -ibu mulai mengajakku berbicara. Seorang remaja mengajakku berbicara, dia sekolah di Tamako, kota dengan radius terdekat dari Kalama. Cita-citanya melanjutkan sekolah ke Unsrat (Universitas Sam Ratulangi) di Menado, ambil jurusan kedokteran katanya. Sebersit, aku melihat harap namun juga kecemasan di matanya. Dia mengajakku berbicara mungkin untuk menenangkan hatinya. Begitulah orang laut (sebutan untuk orang yang tinggal di pulau kecil). Sekolah tinggi jadi barang mewah. Aku jadi malu sendiri ingat saat di Jogja aku sekeluarga begitu detil memprediksikan masa depan, sedangkan potret ini jadi bukti relativisme harapan anak-anak bangsa ini.
Sekiar jam 12.30 kapal beranjak juga. Sang nahkoda bertelanjang dada tanpa alas kaki duduk di kokpit (aku tidak tahu istilah tempat untuk nahkoda mengendalikan kemudinya) yang ada di tengah kapal. Semua penumpang sudah "siap tempur". Hanya aku saja yang masih 'sombong' dengan kameraku. Anak muda duduk di atas, ibu-ibu tiduran di atas bagasi kapal yang ditutup dengan kayu, sebagian anak-anak di haluan kapal dan bapak-bapak menjaga minyak di buritan. Awalnya aku sangat menikmati perjalanan naik kapal. Aku pun sempat menuliskan beberapa baris yang menumpuk di dalam kertas segala ada-ku.
Seperti ini : Hari ini Jakarta Ulang Tahun Hari ini, jika aku masih sama dengan yang lalu, aku sedang mematut diri masih mendamba jadi abang none Jakarta yang sedang bahagia menyambut harinya. Tapi di sini semua terlihat biasa saja. Jam sebelas lebih aku sampai ke pelabuhan. Jangan bayangkan pelabuhan sungguhan dengan dermaga dan pijakan serta sandaran kapal yang menjorok ke laut. Aku tiba-tiba menjadi melankoli. Di tengah lautan dari pulau terbesar di Kabupaten Kepulauan Sangihe, aku menulis. Entah untuk apa, hanya mematut hati untuk tidak terjerembab dalam keharuan. Bongkar muat kapal berlangsung satu jam. Sementara aku mencoba memperhatikan kapal-kapal yang bersandar. Seorang pelaut menyeburkan tubuhnya mengangka jangkar. Tubuhnya pekat hitam dan mengkilap karena pendaran matahari. Seorang lagi di buritan siap menarik tali jangkar. Seorang teman melambai penuh semangat. Mereka pergi melaut di cuaca teduh. Cuaca teduh artinya kebahagiaan buat pelaut. Cuaca teduh artinya laut senang dan angin santai. Cuaca teduh sangat berarti demi lestarinya hidup mereka. Maka agak miris hatiku jika suasana mendung, jika angin barat bertemu angin selatan, jika hujan tak tentu timbulkan badai, jika alam berdahak maka orang Sangir menghela nafas.
Tulisan itu terhenti saat pipiku terpapar matahari dan seketika perahuku oleng. Cuaca yang diprediksi teduh ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Dalam hatiku, aku harus membiasakan diri dan berteman dengan ombak, tempat di mana aku menghabiskan 365 hari ke depan. Mantra "ombak sahabatku" sudah kucoba, tapi tidak mempan juga. Suara dasar kapal bertepuk dengan ombak sangat keras. Aku seperti berada di dalam wahana Dufan bermenit-menit hingga hitungan jam. Anak-anak muda yang tadinya ada di atas terlihat pucat sembari masuk ke dalam kapal. Anak-anak kecil mulai menangis, ibu-ibu yang tadinya tidur beralaskan kayu bangkit dan melongok dari jendela kapal. Aku yang 'angkuhnya' mulai lemas, berpegangan erat pada tempat duduk kayu, duduk menyamping dan melafalkan segala macam doa yang kutahu. Aku mencoba mengalihkan ketakutan dengan bertanya apa yang terjadi. Seisi kapal goyah sehingga mengaburkan akal sehat. Meski agak mereda karena Ibu Guru Para tetap tersenyum, aku tidak bisa menyembunyikan rasa takutku, pening di kepalaku dan kegundahan yang membuncah. Perjalanan tidak berhenti di taxi.
Dari Pulau Kahakitang, pulau terbesar di Kecamatan Tatoareng kapalku berhenti. Aku turun di sini dan dijemput oleh kapal cepat milik guru olahraga di sekolahku. Perjalanan ini lebih menegangkan dari wahana apapun di Dufan. Kini aku tahu kenapa Dufan menjadi pilihan hiburan kami saat pelatihan. Ternyata wahananya pun jadi ajang berlatih bagi kami untuk membiasakan diri. Aku duduk di bagian belakang sebelah kanan. Ombak menghantam kapal kayu kami, buihnya dekat sekali denganku hingga menghantam mukaku. Pak Guru bisa mengalihkan kekhawatiranku, tapi alam tidak demikian. Setengah perjalanan, hujan datang membuatku yang basah karena ombak kuyup dengan basah hujan. Sekitar 45 menit akhirnya perjalananku berakhir.
Sampai di pantai Kalama Kola, mulailah beragam kekhawatiran muncul. Kali ini bukan karena ombaknya, tetapi karena desa yang kudatangi lebih kecil dari yang kubayangkan. Sambutan babi hitam di depan rumah Pak Guru menyadarkanku, "kamu bukan mau plesir ke sini, kamu adalah pengaruh dan tauladan". Baiklah, "the journey begin" pikirku. Rumahku ada di atas bukit. Jarak tempuh dari pantai sekitar 20 menit karena butuh menghela nafas di tengah-tengah. Meski ada tangga menuju ke atas, tapi topografi curam dan dominasi karang di desa ini memberikan kesan tidak bersahabat awalnya buatku. Aku menghabiskan malam dengan mencari signal. Aku hampir menangis saat menyadari tidak ada satupun bar di layar blackberryku. Aku menyadari di awal bahwa tantangan lebih berat dari itu.
Malam pertama aku main ke tetangga, obrolannya berisi seputaran kepala desa yang sedang terbelit kasus. Aku bisa dengar nada tidak bersahabat di sela-sela Bahasa Sangir. Aku mencoba merunut peristiwanya. Rumour akan Kapitalaung (sebutan kepala desa di Sangir) yang korupsi semakin terasa. "Bayangkan, depe 5 otto dang, 2 rumah di sini dan Menado", itu sebagian yang kutangkap.
Esoknya malamnya lagi, saat berkunjung ke rumah Kepala Lendongan untuk melapor, aku menulis dan sent to many sms yang bunyinya seperti ini : Desaku, Kalama di Kecamatan Tatoareng Kabupaten Sangihe sedang agak 'panas'. Sekarang saya sedang berada di rumah Kepala Lendongan (seperti ketua RT) bersama ibu Kepala Sekolah. Mereka seru sekali membicarakan Kapitalaung (Kades) yang sedang terkena kasus korupsi dalam Bahasa Sangir yang sedikit-sedikit coba kumengerti. Kekayaan sarang burung walet alami di desa in imalah jadi sumber konflik. Pembagunan berasa mundur 20 tahun di sini, katanya itu gara-gara Oppo Laung (Panggilan Kapitalaung) yang tidak pernah sampaikan program dan dana pembangunan ke masyarakat. Kasus ini juga menyeret Lendongan-nya. DI sebelahku, Ega, kelas 2 SDN Kalama sibuk menyimak obrolan. Semoga, ini jadi awal baru pelajaran kejujuran buat murid-muridku nanti.
Anggi-PM2 Kab.Kepulauan Sangihe Saat sedang mencoba jadi guru yang baik
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda