Berdamai dengan Gelap
Shally Pristine 27 Juni 2011
Jika teman saya Anton si astrofisikawan cum jurnalis, ada di Dusun Oi Marai tempat saya bertugas, tentunya dia akan girang bukan kepalang. Setiap malam tiba, bintang membanjir di langit dusun kami. Kadang terlihat pula bintang jatuh yang dipercaya masyarakat Bima sebagai pembawa rezeki. Malah bila bulan sedang penuh, terangnya dapat menyinari pekarangan seolah disorot lampu Batman. Kondisi ini sama sekali berbeda dengan langit Jakarta yang hitam kemerahan nan irit bintang.
Parade benda-benda langit yang jelas terlihat saban malam itu tak lain karena polusi cahaya di Dusun Oi Marai, Desa Kawindatoi, Kabupaten Bima NTB, mendekati nol. Kondisi yang sama terjadi di dusun-dusun sekitar dalam radius sekira 10 kilometer. Kegelapan nyaris mutlak itu karena listrik tak lagi mengalir ke rumah-rumah warga sejak gardu utama rusak. Sejak tiga bulan lalu, penduduk Kawindatoi seakan menandatangani kontrak hidup tanpa setrum selama 24 jam, setiap hari.
Sejak itu produktivitas penduduk menurun karena terbelenggu kegelapan. Oi Marai seperti jadi dusun mati sebila malam menyapa. Pak Mansyur, ayah angkat saya, harus selalu bersenjata senter tiap berangkat shalat maghrib ke masjid. Suara azan pun tak bisa terdengar sampai jauh karena pengeras suaranya tak berdaya. Setelah bapak pulang dari masjid, kami akan makan sambil duduk melingkar di halaman belakang rumah, diterangi temaram cahaya pelita dan siaran RRI Makassar.
Keadaan Oi Marai yang zonder listrik bagai ironi. Karena, Oi Marai yang berarti "air yang berlari" atau "air yang mengalir deras" mempunyai air terjun sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mikrohidro. Jika berfungsi normal, energi PLTA mikrohidro ini sanggup menerangi seantero Kawindatoi. Namun, lambatnya penanganan PLN terhadap kerusakan itu membuat kondisi terjungkir. Alhasil, segenap gadget saya harus terhibernasi, sempat saya merasa buntu karenanya.
Tak hanya masyarakat Oi Marai yang harus mengakrabi kegelapan. Ketika saya menginap di rumah Pak Imran, kepala UPT Dinas Pendidikan di Desa Kawinda Na'e pun terjadi hal serupa. Padahal, Kawinda Na’e letaknya dekat dengan ibukota kecamatan dan seharusnya listrik mengalir setiap malam. Karena angin sedang kencang, maka listrik kali itu baru akan hadir pukul 11 malam. Saya pun menghabisi waktu dengan bermain bersama Erwin (8 tahun), anak Pak Imran.
Lewat Erwin, saya menemukan cara untuk berdamai dengan kegelapan. Cahaya yang menyala dari sebatang lilin di ruang tamu menjadi medianya. Kami bermain tebakan bayangan aneka binatang. Saya memeragakan binatang tertentu dan Erwin yang menebaknya. Setelah kehabisan perbendaharaan bayangan, kami belajar IPA lewat pengamatan perubahan fisik zat pada proses terbakarnya lilin. Walau baru akan naik ke kelas 3, Erwin sigap menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Erwin jadi makin bersemangat karena setiap dia menjawab dengan benar maka saya akan memberikan apresiasi berupa Tepuk Salut*. Usai diberi tepukan itu, si bocah penggemar sepakbola ini akan tertawa puas. Keceriaan Erwin seperti tak padam oleh kegelapan, dia tetap senang sebagaimana siangnya. Keriangannya membuat saya menikmati kegelapan malam itu. Rasanya, sejak itu malam maupun kegelapan tak semenyebalkan sebelumnya.
Besok lusa saya akan kembali ke Oi Marai. Ketika tidak bisa menulis blog karena laptop kehabisan energi baterai, maka saya akan menulis di buku jurnal dan bersyukur masih ada kertas yang saya punya. Ketika daya head lamp tak lagi menyisa, maka saya akan menyulut sumbu pelita sambil bersyukur masih ada minyak tanah yang tersisa. Ketika ingin tahu apa yang terjadi di luar sana, maka saya akan mendengarkan berita dari RRI Makassar lantas bersyukur siarannya sampai ke Bima.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk rakyat Indonesia yang belum terjamah nikmat listrik sama sekali, termasuk para Pengajar Muda yang bertugas di tempat seperti Oi Marai. Maka, seperti kata orang bijak, lebih baik menyalakan lilin daripada memaki kegelapan. Tabik.
PS: Saya mempelajari Tepuk Salut ketika praktik mengajar di SDN Megamendung 03, Kabupaten Bogor. Penggunaan Tepuk Salut sebagai jenis apresiasi cukup manjur karena esok harinya, Erwin membawa serombongan teman untuk belajar IPA. Secara khusus, dia meminta Tepuk Salut bila mereka bisa menjawab pertanyaan dengan benar. :D
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda