info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bukan 'Jika Aku Menjadi'

Shally Pristine 10 Juli 2011

What you resist, persists -Anonim

Tersebutlah sebuah dusun di kaki Gunung Tambora, Oi Marai namanya. Perkampungan transmigran itu berdiri sejak 2005 di atas hamparan lahan tandus bercadas padas, sisa erupsi dahsyat hampir 200 tahun lalu. Sejauh ini, tanah keras itu hanya produktif bila ditanami jambu mede. Sebagian bentang alam Oi Marai lain berselimut padang rumput, cocok untuk menggembala ternak.

Letak Oi Marai yang ada di kaki Tambora namun juga berbatas langsung dengan laut membuatnya memiliki iklim gunung dan pesisir sekaligus. Angin gunung dengan dingin menusuk datang begitu matahari pulang, kontras dengan panas memanggang di siang hari. Rasanya bukan jenis cuaca yang mendukung penduduknya untuk bergiat sepanjang hari. Sejak mendapat keputusan penempatan di Kabupaten Bima, saya berharap tidak ditempatkan di Oi Marai, karena letaknya paling terpencil.

Namun Sang Mahabaik berencana lain. Yang saya hindari justru terjadi. Semesta memperjumpakan garis hidup saya dengan Oi Marai untuk setahun ke depan, suka atau tidak. Petualangan saya di Dusun Banjir Bintang itu pun dimulai. Setelah diterima pemerintah setempat dan transit dua malam, saya bersama Beryl, Bagus, dan Habib yang ditempatkan di Kecamatan Tambora berangkat menggunakan truk.

Mengapa truk? Karena tidak ada transportasi umum resmi yang menjangkau Tambora. Hal ini lantaran sejumlah jembatan di sepanjang rute tersebut rusak parah akibat banjir bandang, awal tahun ini. Alhasil, hanya truk barang yang mau mengangkut penumpang, asal mau berbaur dengan aneka karung dan kardus di bak terbuka.

Sebenarnya, jarak Bima-Tambora bila lewat jalur Sanggar di utara hanya sekitar 200 kilometer. Namun buruknya kondisi jalan membuat truk harus berjalan perlahan sehingga perjalanan butuh waktu 11-13 jam. Alternatifnya bisa via jalur selatan alias lewat kabupaten tetangga Bima, Dompu. Rute ini punya panjang tempuh sekitar 280 kilometer. Lagi-lagi karena jembatan rusak, bis umum hanya mau mengangkut sampai Kadindi, Dompu. Setelah itu perjalanan harus dilanjut menggunakan ojek.

Bila lewat jalur ini, total butuh 10-11 jam perjalanan sebelum tiba di Oi Marai. Malam sudah berdiri seperempatnya ketika truk yang kami tumpangi merapat ke depan sebuah rumah kayu sederhana berlantai tanah, khas hunian warga transmigrasi Oi Marai. Malam itu, di atas sebuah dipan berkelambu pada kamar tanpa pintu saya memulai hidup saya di sana sembari berdamai dengan berderet hal yang tidak tersedia.

Semakin lama saya berada Oi Marai, saya memahami bahwa semesta tidak sedang membuat saya belajar hidup dengan standar minimum nutrisi, sanitasi, privasi, ataupun teknologi. Tinggal bersama penduduk setempat selama menjadi PM sama sekali bukan seperti program reality show di salah satu televisi swasta, 'Jika Aku Menjadi'.

Ketua Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan berkali-kali menekankan kepada PM soal pemahaman akar rumput sebagai modal kepemimpinan yang mumpuni. Dia berharap, para PM yang pernah tinggal di pelosok-pelosok terdalam Indonesia bisa senyatanya merasakan permasalahan yang dialami rakyat.

Saya bisa bilang, banyak yang saya pelajari di Oi Marai maupun Tambora tiga pekan belakangan ini.Bahwa masyarakat di sana menangkap ikan dengan bom, badan ikan yang kami makan penuh luka. Bahwa transportasi yang tersendat menyebabkan harga barang-barang demikian mahal, sebutir telur dibanderol Rp 2.000. Bahwa distribusi minyak tanah yang tersendat menyebabkan stok bahan bakar satu itu kosong hingga berminggu-minggu, harganya sampai belasan ribu rupiah per liter. 

Bahwa jalan yang rusak telah mematikan usaha angkutan umum sehingga anak-anak kesulitan melanjutkan pendidikan SMP yang ada di desa sebelah yang jaraknya 10-15 kilometer. Bahwa para tengkulak mempermainkan harga kacang mede di tingkat petani, hanya Rp 6.000 per kilogram karena tidak ada angkutan yang murah bagi petani untuk menjualnya ke tempat yang lain. 

Bahwa bukit gundul yang kakinya tertoreh-toreh aliran air hujan merupakan bukti nyata erosi. Bahwa banjir yang menghanyutkan jembatan-jembatan penting tadi terjadi akibat penebangan hutan yang tak terkendali. Bahwa amblasnya jalan yang terabrasi air laut antara Labuan Kananga dan Sona'e terjadi karena tak ada lagi hutan bakau untuk meredam hempasan gelombang.

Bahwa fungsi fisik pemerintah nyaris absen di Oi Marai, kantor dusun dan puskesmas pembantu jadi bangunan berhantu tanpa guna. Bahkan sekadar kursi dan meja penanda aktivitas formal pun tak ada. Bahwa aktivitas SD tempat saya bertugas yang jadi penanda terakhir denyut keberadaan pemerintah masih terasa di Oi Marai.

Senarai "bahwa" yang saya rasakan sendiri itu  InsyaAllah akan menjadi pengetahuan berharga di masa depan dan dapat mempererat tenun kebangsaan Indonesia, saling menyadarkan bahwa kita semua bernaung dalam cita-cita yang sama.

***

Umumnya masyarakat Bima tercengang ketika mendengar ada PM yang ditempatkan di Tambora. Mereka spontan berujar, "kalembo ade ya nak." Keterpencilan dan keterbatasan fasilitas di kecamatan ini membuat mereka bereaksi demikian. Sudah jadi pemeo umum bahwa PNS yang dimutasi ke Tambora berarti tengah "dihukum" oleh atasannya.

Setahun ke depan akan jadi pekerjaan besar bagi saya dan teman-teman untuk membuktikan kepada masyarakat Tambora maupun Bima bahwa tidak perlu alasan untuk melakukan hal-hal baik. (shally pristine)

PS: Kalembo ade adalah ungkapan khas Bima, arti harfiahnya "lapangkan hati". Secara luas, ucapan ini bisa dipakai untuk meminta diri, permisi, bahkan berterima kasih.


Cerita Lainnya

Lihat Semua