Berbeda

Shally Pristine 16 Desember 2011

Mudah saja bagi kita bicara keragaman, toh sejak lahir hidup kita sudah warna-warni. Misalnya saya yang punya paman dari suku Batak, sepupu penganut Protestan taat, guru favorit beretnis Cina, bertahun-tahun bersekolah di jalan yang sama dengan vihara yang saban hari sengit menguarkan aroma dupa bakar dan dengungan doa, dan sebagainya.

Pun dengan urusan keindonesiaan. Ayah saya orang Minang dengan campuran Deli, ibu saya orang Melayu dengan darah Bangka dan Belitung yang totok. Kakak ipar saya keturunan Arab, sementara sedari lahir saya besar di Tatar Sunda. Setelah lulus saya mencari penghidupan di Jakarta, melting pot segala keragaman Nusantara.

Bagi saya, mungkin bagi kalian juga, tidak ada alasan untuk tidak menjadi Indonesia. Karena di sini lah tempat semua orang boleh berbeda. Tapi bagi murid-murid kita bisa lain ceritanya. Saya punya pengalaman mirip Putri atau Fara yang berada di masyarakat homogen yang karakternya khas. Kalau istilahnya Bu Yundrie, masyarakat yang fanatik namun tidak taat.

Di Tambora ini, jilbab menjadi semacam keharusan. Jika pergi ke sekolah, kantor atau hajatan, maka hendaknya semua perempuan dewasa berbaju panjang plus penutup kepala. Seragam siswi SMP ke atas wajib disertai jilbab. Beryl pernah disindir di forum umum kecamatan yang dihadiri Bupati Bima karena perkara jilbab ini oleh ustadz bawaan Bupati. Di sini syariah wannabe banget deh. Heu.

Ironisnya, segala "atribut ketakwaan" itu hanya jadi simbol di ranah formal. Jumatan di dusun saya yang berpenduduk sekitar 100 KK tak pernah dihadiri lebih dari 40 jamaah. Belum lagi soal budi pekerti yang seharusnya menjadi cerminan keimanan seseorang. Angka kejahatan remeh temeh saja, macam maling ayam, kambing, sapi, ikan kering, hingga jambu mete, bukan main tingginya.

Seorang murid saya, Subhan, kelas VI cita-citanya menjadi tentara berceloteh ketika sedang bermain, "Saya mau jadi tentara. Saya akan bunuh semua orang Kristen."

Saya  tercekat sejenak lalu bertanya balik. "Kenapa bunuh? Memangnya apa salah orang Kristen?"

Dia menjawab enteng, "Biar ni. Kan orang Kristen. Kalau ada orang Kristen datang tinggal di SP3 (dusun kami) juga akan saya bunuh."

Saya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sebagai pemimpin Madinah sekalipun membiarkan kaum Yahudi dan Nasrani hidup damai di sana. Lagipula beliau melarang siapapun membunuh orang lain, apapun agamanya, bila tanpa hak. Lalu saya tanya Subhan lagi, "Kamu lebih baik hidup sama-sama orang Islam tapi ndak pernah solat terus dia suka curi atau sama orang Kristen tapi baik?"

Subhan terdiam, tak bisa menjawab. Temannya yang lain menimpali bahwa dia lebih pilih bertetangga dengan orang yang baik, terserah agamanya. Pembicaraan kami terputus bel masuk.

Perkara menanggapi email MJ membuat saya butuh waktu lama guna mengendapkan semuanya. Serius. Apalagi, debat soal pluralisme agama belum tuntas benar bagi saya.

Mengaitkan kerukunan hidup beragama dengan nasionalisme pun tidak bisa asal sangkut. Karena, bila menilik sejarah, hubungan perjuangan kemerdekaan erat dengan perang berbendera agama. Misalnya Perang Aceh dikobarkan untuk mengusir kaum kaphee dari Tanah Rencong. Lagipula, langsung bicara soal menjadi Indonesia di Papua mungkin akan sulit, tapi bagaimanapun para PM Fakfak lebih paham.

Namun yang saya lihat, sepertinya memang penyebaran dogma kerap menggunakan bahasa-bahasa entitas beroposisi biner (baik-buruk, iman-kafir, surga-neraka, dosa-pahala, dsb) agar mudah diterima masyarakat awam. Menurut saya, empati bisa jadi titik mula untuk masalah semacam ini, di manapun kita berada. Karena, tidak ada satu solusi seragam untuk kondisi yang beragam.

Memang, latar belakang yang warna-warni membuat kita mudah saja bergaul dengan penganut agama manapun, namun tidak demikian dengan para murid. Saya pun harus menjelma mereka, menyelami alam pikiran bocah 12 tahun yang seumur hidup tak pernah bertemu sesama Indonesia namun memeluk Kristen, atau agama selain Islam. Bagi mereka, sosok orang Kristen adalah penjajah yang jahat.

Tapi jangan habis akal. Jika mereka mulai dengan dalil agama, ada banyak contoh kerukunan antar umat beragama yang bisa dicuplik dari sirah nabawiyah. Mempertemukan mereka dengan sahabat-sahabat se-Indonesianya lewat sahabat pena juga bisa jadi solusi. Kalau kata begawan pedagogi, Paulo Freire, pendidik itu bertugas "menyingkapkan peluang-peluang."

Saya menutup tulisan ini dengan mengutip Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang tercantum di SK-KD PKn. Kutipan ini lumayan keren, membuat saya teringat kalimat pamungkas dari Pandji Pragiwaksono di training dulu, bahwa kita merdeka untuk bersatu.

"Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan --atau nasionalisme-- yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya."

Tabik. Sampai jumpa enam bulan lagi. :)

***

PS: tadinya, tulisan ini dibuat untuk menanggapi catatan MJ alias Maria Jeanindya, PM Fakfak yang berjudul "Kenapa Harus Kristen?" di milis PM II. Akhirnya MJ memuat tulisan itu di blognya, maka demikianpun saya :D


Cerita Lainnya

Lihat Semua