Ketika Aku Diam

Arum Puspitarini Darminto 16 Desember 2011

25 Oktober 2011

Pada hari itu, saat aku pertama kali mengajar sebagai wali kelas IV, aku berada di depan sebelas pasang mata dengan pandangan polosnya. Aku berdiri di depan mereka, dengan berbekal buku besar yang terbuka di atas meja, berisi RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran) untuk satu hari saja. Gagap, canggung, kaku memang aku rasakan. Tidak heran aku banyak menemui kegagalan pada pengaturan kelas. Anak-anak yang berlarian ketika aku mengajarkan temannya, lemparan-lemparan batu marak di dalam kelas sebagai permainan ‘tembak-tembakan’ ala mereka, belum lagi anak-anak yang saling memukul hingga tidak pernah terlewatkan ada ada yang menangis setiap harinya.

Anak-anak ini hanya 11 orang saja. Saya mengaku kalah. Kelelahan selalu dirasakan sepulang sekolah setelah setengah hari bersama mereka. Ya, mereka anak-anak yang terbisa berbicara dengan berteriak seperti urat tengggokan yang hampir putus, anak-anak yang lebih senang berada di kebon dari pada di sekolah, anak-anak yang lebih memilih dipukul daripada mengerjakan tugas. Anak-anak itu terlihat seperti anak-anak yang kemasukan setan. Setelah beberapa kali aku dibuat kalah oleh mereka, kali ini...

 Aku harus memenangkan perhatian mereka.

Aku pernah bernyanyi, “ayo duduk..ayo duduk..semua..semua” sampai rasanya dada ini sesak. Ini betulan. Aku terus bernyanyi sampai anak-anak mengikuti instruksiku, namun gagal. Kenapa aku bilang gagal? Karena aku sudah bernyanyi sampai lebih dari 10 kali! Aku lalu berfikir aku harus memakai strategi manajemen kelas yang lain. Berhitung dari angka 1. Hasilnya bukan membuat anak duduk, malahan membuat mereka semakin berlari sambil berhitung mengikuti hitunganku. Aku lalu tertawa kecil di dalam hati, “sungguh strategi yang salah, Arum! Hahaha”

Strategi lainnya, aku menghitung mundur. Lumayan hasilnya. Ada dua anak yang tersadar untunk duduk, sebelum kata “satu” aku ucapkan. Untuk meminta anak-anak duduk saja sudah tiga strategi yang aku jalankan dalam satu waktu. Aku masih merasakan kelelahan. Berarti aku belum memenangkan pertandingan.

Satu hari di akhir Oktober, aku pernah mengalami situasi terkacau. Benar-benar tidak ada yang mengikuti instruksi. Tidak ada nyanyian lagi yang bisa aku andalkan, tidak ada sinyal-sinyal panggilan lagi yang bisa membuat mereka semua mengikuti instruksi. Strategiku terakhir adalah diam. Aku berdiri di depan kelas, melipat tangan. Memperhatikan anak-anakku satu demi satu. Aku jadikan momen ini untuk banyak mengambil napas. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mendinginkan hati yang sedang panas. Strategi ini mulai keliatan hasilnya. Satu anakku mulai melihat ke arahku. Melihat ada yang berbeda dari ibu gurunya. Lalu ia kembali ke bangku, terdiam. Aku tersenyum ke arahnya. Arti tanda terima kasih.

Aku lulu duduk di bangku guru. Masih dengan pandangan ke anak-anakku yang berhamburan. Butuh kesabaran agar strategi ini berhasil. Ketika satu anak ada yang menyadari perilakuku berbeda, mulailah strategi ini berjalan dengan baik. Anak itu lalu memperingati teman-temannya yang lain. Menjalarlah kondisi saling mengingatkan di antara mereka, “heh ibu guru su diam saja itu di muka. Ose diam sudah,” begitu peringatan dari anak-anakku yang mulai terlihat manis.hehe aku memang butuh 15 menit untuk mendapatkan perhatian mereka, tapi setidaknya aku sudah berhasil.

Strategi diam dan berbicara dengan suara pelan ini aku rasakan paling bermanfaat. Pertama untuk kebaikan diriku sendiri. Dengan diam, aku berusaha mengontrol emosiku, meredam amarah, mendinginkan otak dan hati sehingga bisa berfikir tentang strategi apa yang aku jalankan berikutnya. Dengan diam juga, aku berusaha untuk rileks, menginstirahatkan suaraku yang sudah mulai serak, menahan air mata yang rasanya ingin meledak dan aku yakin kalau aku tidak mampu menahannya yang keluar bukanlah air mata tapi air terjun (ini memang berlebihan). Kedua untuk kebaikan anak-anakku. Mereka tidak harus mendapatkan pukulan agar mengikuti perintah guru. Mereka harus diajarkan sadar pada lingkungan. Peka terhadap sekitar. Memahami apa yang dirasakan oleh orang lain yang akhirnya membuat mereka jadi individu yg empati.

Kita tidak perlu terus berlari untuk sampai ke tempat kita. Jangan lupa untuk istirahat jika sudah merasa lelah. Pikiran yang tenang, hati yang damai, akan menghasilkan pengambilan keputusan yang tepat. Ternyata aku hanya butuh diam. Bukan bernyanyi apalagi berteriak. Diam beberapa saat, mendapatkan perhatian anak-anak, mengingatkan mereka kembali tentang peraturan kelas, mengingatkan mereka tentang kesepakatan bersama dan kami kembali belajar. Tak lama kemudian, kelas kembali ribut. Keributan yang mencerdaskan, mereka berdiskusi dan berdebat memutuskan prediksi hasil sebuah percobaan di kelompok mereka.

Dan ibu guru pun tersenyum. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua