Balada Sinyal di Tambora

Shally Pristine 31 Desember 2011

Mata kami saling bertemu. Kami bersitatap. Hanya beberapa jenak namun rasanya berbilang tahun. Saya pun tercekat. Sepertinya momok yang menjadi musuh kampung kami kini ada di hadapan saya, terpisahkan jarak belasan meter saja.

Mulanya, gemerisik daun-daun kering di kejauhanlah yang membuyarkan konsentrasi saya. Langkah saya tertahan. Saya  berhenti bersenandung kemudian memicingkan mata. Saya mencoba mengenali sosok yang berkelebat gesit di antara pokok-pokok pohon jambu yang telantar.

Sepertinya memang dia.

Saya berusaha mengingat keras langkah penyelamatan darurat untuk kondisi seperti ini. Nihil. Maka otak reptil saya lantas mengambil kendali tubuh untuk balik kanan. Seribu langkah kaki ini segera memburu jalan kampung terdekat, sedapat mungkin tanpa bersuara agar tidak dikejar.

Saya berhasil mencapai tujuan dengan napas terengah dan kaki lemas. Ada seorang murid saya di sana, Anto yang sedang bermain dengan sepedanya. Dia heran penyebab pasal napas saya demikian tersengal. "TADI IBU GURU KETEMU BABI!" jerit saya.

***

Babi hutan memang musuh kami, masyarakat Unit Transmigrasi SP3 Kecamatan Tambora. Babi hutan dibenci terutama karena menjadi hama tanaman nomor satu, seisi kebun dan ladang kena sikat. Selain itu, mereka juga menjadi pengganggu utama warga saat beraktivitas di luar rumah selepas gelap, termasuk saat kami harus 'mencari sinyal'.

Wilayah timur laut Tambora, tempat saya tinggal, terbilang terlambat berkembang dibandingkan bagian lain dari gunung ini. Karenanya, wilayah ini menjadi tujuan transmigrasi yang digalakkan pemerintah. Ada lima unit transmigrasi yang didirikan di sini sejak 2001. Mulai dari SP 1 sampai SP 5,  semuanya merupakan program pemerintah daerah alias transmigrasi lokal.

Di kawasan ini pula sinyal telepon jadi barang mewah. Jika Anda bermotor dari ibukota kecamatan menyusuri Jalan Lintas Tambora ke arah timur, sinyal telepon hilang selepas melewati Unit Transmigrasi SP2.  Sinyal baru muncul kembali sekitar 50 km kemudian bila Anda tiba di dusun Katupa. Sisanya menjadi blank spot yang tak terjangkau.

Padahal ada sekitar 500 kepala keluarga (KK) yang berdiam di tujuh dusun sepanjang blank spot tadi. Alhasil, aliran informasi bagai mampet bila menuju desa kami. Ditambah lagi, siaran televisi hanya bisa ditangkap lewat parabola, barang kelewat mewah bagi penduduk desa kami yang nyaris seluruhnya menerima jatah raskin.

Contoh teranyar, saat stasiun televisi nasional ramai mengabarkan terjadi pijaran api setinggi 10 meter dari kawah Gunung Tambora pada Oktober lalu, kami tak tahu sama sekali. Padahal, saat itu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMB) menyatakan gunung berapi teraktif di Pulau Sumbawa tersebut tengah dalam status Siaga karena peningkatan kekerapan aktivitasnya.

Hal itu pasalnya, puncak gunung tak terlihat dari dusun kami. Terhalang bumbungan anak gunung yang kakinya kami diami. Tanpa telekomunikasi, kabar itu segera menguap tanpa sempat mampir di telinga warga. Saya baru mendengar berita tersebut saat pergi ke kota kecamatan dua hari kemudian. Berderet surel dan pesan masuk ke telepon saya menanyakan kabar keselamatan.

Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Mengingat, dusun saya dan enam dusun lainnya termasuk daerah rawan aliran lahar bila Tambora sampai benar meletus. Berdasar cerita sesepuh, letusan dahsyat Tambora pada 1815 baru redam gejolaknya setelah isi perut si gunung dimuntahkan ke laut lewat lereng barat dan timur laut gunung, lokasi saya.

Syukurnya tidak ada kejadian buruk yang menyusul, Si Gunung pun telah kembali tenang.

Memang, dibanding para 'fakir sinyal' lain di timur laut Tambora, penduduk SP 3 terbilang beruntung. Pasalnya, ada secercah sinyal yang tertangkap di tebing dekat pantai dusun kami. Di tebing inilah saya menggantungkan pengharapan untuk berkomunikasi, mulai dari koordinasi seputar tugas sebagai Pengajar Muda atau sekedar menebus rindu kepada yang jauh. :D

Tebing ini pula yang jadi tempat saya menjebol mampetnya komunikasi tradisional via pos dalam program sahabat pena ala Pengajar Muda II, yakni Jejaring Anak Indonesia (JAI). Maklum, karena lokasi tugas kami yang terletak di tubir-tubir wilayah Indonesia, surat para murid baru bisa tersampaikan setelah sekian bulan, belum lagi ketika menunggu balasan. Anak-anak kami sempat keburu bosan.

Untunglah ada tebing sinyal. Saya mengetik ulang surat mereka dan mengambil fotonya lalu mengirimkan isinya lewat email ke teman Pengajar Muda yang saya tuju dari tebing itu. Setelah email diterima, teman saya bisa membacakannya kepada murid-muridnya lalu mereka pun membalasnya. Teman saya pun melakukan strategi bypass yang sama. Hasilnya, banyak waktu terhemat.

Demikianlah suka-duka mengais komunikasi di Tambora. Walau hanya selewat sinyal yang mampir tapi demikian berharga dalam menggeliatkan kegiatan pendidikan di tempat kami. Hanya saja, saya harus ingat untuk tetap waspada. Awas babi!


Cerita Lainnya

Lihat Semua