Identitas Bukan Profesi

Anang Setiawan 31 Desember 2011

Tulisan ini saya dedikasikan untuk semua guru dimanapun berada....

“Nak ujian sudah dekat, sudahkah kalian siap menghadapinya?”, “sudah...” jawab anak-anakku serentak,”sudahkah kalian belajar?” ,”sudah.....”lagi-lagi ke 37 anakku yang duduk dibangku kelas Lima SD itu serempak menjawab. Demikianlah aku memulai kelas hari itu, pelajaran Matematika kelas 5 SD, dimana seminggu lagi anak-anaku akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah. Jadilah hari itu aku mengadakan latihan sederhana dengan mengerjakan soal-soal Ujian tahun sebelumnya, yang mana soal-soal tersebut tidak jauh berbeda dengan soal-soal ujian tahun ini.

Soal latihan ujianpun sudah dibagikan, waktunya adalah 60 menit untuk mengerjakan 20 soal pilihan ganda tersebut. Lima menit pertama aku keliling kelas untuk mengecek sejauh mana muridku mengerjakan, namun belum satu soalpun berhasil mereka kerjakan, kekhawatirankupun bertambah ketika 20 menit kemudian kulihat tak seorangpun siswa mengerjakan soal dengan benar. Dari situ perasaanku sebagai guru sudah tak menentu, ada perasaan bersalah, kecewa dan sedih melihat kondisi anak-anak yang demikian. Setelah waktu habis semua anak mengumpulkan jawaban masing-masing dan kelaspun berakhir.

Perasanku kembali berkecamuk ketika memeriksa hasil latihan tersebut. Dari 20 soal rata-rata anak-anak hanya bisa mengerjakan 3 soal, itupun soal mengenai kecepatan yang sudah 2 minggu ini aku ajarkan berulang-ulang karena anak-anak masih kesusahan memahaminya. Oyaa…sekedar Informasi aku adalah Pengajar Muda yang baru bertugas 1 Bulan disini. Pelajaran Matematika untuk kelas 5 inipun baru aku pegang 1 bulan dimana sebelumnya dipegang oleh guru setempat. Dalam 1 bulan aku hanya mampu mengajarkan 2 materi yakni mengenai satuan ukur jarak dan kecepatan. Soal-soal mengenai itulah yang mampu mereka kerjakan dalam soal latihan ujian yang tadi kita selenggarakan.

“Ada yang salah disini”. Itulah yang ada dalam pikiranku saat itu, awalnya aku mengira mungkin kemampuan anak-anak yang masih kurang, mungkin slowlearner atau sejenisnya. Namun dugaanku itu terbantahkan ketika aku meneliti lagi masih ada soal yang bisa mereka kerjakan yakni tentang kecepatan, meskipun butuh waktu dua minggu bagiku untuk membuat mereka paham. Akhirnya untuk mencari kepastian aku mengadakan Ujian matematika ulang. Soalnya aku buat sendiri dan materinyapun adalah materi-materi yang sudah aku ajarkan yakni mengenai satuan jarak dan kecepatan. Sepuluh soal esai aku buat dan waktu yang aku berikan adalah 45 menit. Alhasil 60 % siswa mendapatkan nilai diatas 60, bahkan ada siswa yang mendapatkan nilai bulat 100.

Dari kejadian itu aku masih tetap berfikir “Ada yang salah di sini”, ya memang ada yang salah. Namun kesalahan itu bukanlah terletak pada siswa. Karena buktinya mereka mampu mengerjakan apa yang telah aku ajarkan. Akhirnya aku kembali instrospeksi diri, apa kira –kira yang salah dan kurang?

Setelah melalui proses perenungan yang panjang dan mendalam akhirnya aku berfikir mungkin cara mengajar kita sebagai TIM Guru yang salah, sehingga siswa tidak memahami apa yang kita ajarkan, Mungkin kita TIM guru yang kurang sabaran sehingga ketika siswa belum mengerti kita tetap melanjutkan materi demi tercapainya target pengajaran. Mungkin kita TIM Guru yang kurang perhatian sehingga tidak tau apa yang diinginkan siswa untuk memudahkan mereka dalam belajar, Atau mungkin kita kekurangan media?

Itu mungkin saja tapi yang lebih tepat kitalah TIM Guru yang kurang kreatif, karena sebenarnya media apapun yang ada disekitar kita bisa digunakan sebagai media ajar yang menarik.

Setelah merenung aku menjadi semakin sadar dan semakin takut dengan peran yang aku ambil sekarang yaitu GURU. Karena guru adalah sumber informasi yang sangat dipercaya anak-anak melebihi orang tuanya sendiri, ketika Guru salah mentranfer ilmu maka salahlah ilmu yang dimiliki sang anak yang mengakibatkan kesesatan bagi mereka. Dan Guru adalah “Role Model” bagi para siswa, apa saja yang dilakukan oleh Guru dalam kehidupan sehari-hari pasti akan dicontoh anak didiknya, sekecil dan sesederhana apapun hal yang diperbuatnya.

Untuk yang satu ini aku punya pengalaman menarik tersendiri. Alkisah aku adalah guru baru di desa sungai cingam ini. Dan murid-muridku adalah pribadi-pribadi yang sangat antusias dengan hal-hal baru, termasuk juga dengan guru baru sepertiku. Setiap hari disekolah anak-anak hebat ini selalu mengerumuniku dan berebut menggandeng tanganku, dari tatap matanya dan riang tawanya seolah-olah berkata”ayo pak tunjukkan kami sesuatu yang baru, sesuatu yang kami belum tau, karena kami adalah gelas setengah kosong yang haus ilmu untuk memenuhi dahaga otakku”. Bahkan setiap melihat aku melintas dijalanan mereka akan berebut menyapaku dengan teriakan keras “PAK ANANG”.

Karena aku sering berkendara dengan motor maka akupun membalas sapaan mereka dengan melambaikan tangan kiriku (tangan kananku harus memegang gas yang tak bisa dilepas saat berkendara) sambil berteriak “HALOOO”. Seminggu setelah aku berada disini anak-anak masih tetap antusias menyapaku, namun kali ini ada yang berbeda,  mereka tak lagi meneriakkan “PAK ANANG” secara keras-keras. Kini mereka menyapaku dengan cara melambaikan tangan kiri dan berteriak “HALO PAAAKKK”. Dari kejadian itu aku menjadi tau apa yang dimaksud bahwa guru adalh “Role Model”.

Dan semua ini menyadarkanku akan betapa penting dan betapa besarnya tanggung jawab yang aku pikul sebagai seorang Role Model bagi anak-anakku yaitu menjadi seorang GURU.

Guru.... Selama ini banyak yang menganggapnya hanya sekedar profesi, yang mana untuk menjalankannya hanya bermotivasikan gaji. Namun tidaklah demikian menurutku. Guru bagiku adalah sebuah IDENTITAS yang melekat pada diriku. Jadi semua tindak-tanduk ku haruslah sesuai dengan peranku yakni seorang GURU, yang dalam falsafah jawa itu “DIGUGU LAN DITIRU” (dipatuhi kata-katanya dan diikuti perbuatannya).


Cerita Lainnya

Lihat Semua